Persoalannya sampai sekarang di Indonesia masih banyak kita temukan kasus bencana kelaparan dan kurang gizi, seperti di Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, Papua. Bahkan, beberapa wilayah di Jawa Barat yang dekat dengan Jakarta pun tak luput dari bencana ini.
Kasus-kasus seperti ini mengindikasikan bahwa kita belum mencapai ketahanan pangan. Padahal, dalam Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia) dinyatakan bahwa pemenuhan pangan rakyat merupakan salah satu bagian dari hak asasi manusia (HAM). Dengan demikian negara harus bertanggungjawab memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya. Sebab, jika tidak, negara telah melanggar HAM rakyatnya.
Kondisi tidak tahan pangan ini muncul bukan tanpa sebab. Beberapa penyebabnya, antara lain telah terjadi ketimpangan kebijakan makro dan mikro ekonomi di mana perhatian pada kepentingan industri jauh lebih besar daripada sektor pertanian sebagai penghasil pangan. Selain itu, juga pembangunan pertanian yang bias perkotaan sehingga ada kecenderungan mengabaikan pemenuhan kebutuhan pangan bekualitas terutama untuk masyarakat petani yang sebagian besar di desa.
Runtuhnya bangunan nilai sosial yang salah satunya disebabkan oleh pemerintahan sentralistik yang mengabaikan partisipasi masyarakat serta tumbuhnya kehidupan ekonomi kapitalis juga menjadi sebab. Sikap gotong royong, tolong-menolong dan mampu memberi bantuan kepada yang tidak mampu semakin pudar di masyarakat. Di samping itu, adanya kelembagaan yang mengatur pengadaan beras secara nasional (Bulog) juga menjadi salah satu penyebab melemahnya sistem cadangan pangan masyarakat yang telah tumbuh lebih dulu di masyarakat semacam lumbung pangan di desa.
Tertinggal
Selain itu adanya rice oriented dalam membangun ketahanan pangan sehingga menyingkirkan sumber pangan lain-meskipun beras awalnya tidak terlalu "akrab" dengan kelompok masyarakat tertentu- menciptakan pandangan bahwa pangan identik dengan beras. Akibatnya, semua kebijakan tercurah untuk mencapai swasembada beras. Inovasi dan pengembangan teknologi pangan lainnya menjadi tertinggal. Akibat berikutnya adalah kebijakan diversifikasi pangan menjadi sulit digulirkan.
Oleh karena itu, upaya mengurangi ketergantungan terhadap komoditas beras perlu dilakukan melalui substitusi beras dengan komoditas lain yang dapat diproduksi secara lokal. Kita mempunyai banyak pangan alternatif. Ada talas bogor atau ketela cilembu yang sangat populer itu, serta umbi-umbian lain yang tumbuh subur di seluruh penjuru Jawa Barat yang pemanfaatannya dapat lebih dioptimalkan.
Juga tak kalah pentingnya, Jawa Barat mempunyai potensi perikanan yang luar biasa, bahkan konsumsi ikan lebih tinggi dibandingkan daerah lain (Kompas edisi Jawa Barat, 04/05/2006). Upaya meningkatkan produktivitas pangan lokal seperti ini diperlukan dalam rangka kemandirian pangan, bahkan kalau bisa dalam hal ketersediaan pangan melebihi kebutuhan konsumsinya.
Ketahanan pangan sebenarnya tidak sepenuhnya ditentukan oleh ketersediaan pangan yang melimpah, tetapi dengan terpenuhinya pangan rumah tangga yang berarti kecukupan pangan yang merata, terjangkau, baik dalam jumlah, mutu, maupun keamanan. Dalam hal itu, akses kecukupan pangan lebih menentukan ketahanan pangan daripada ketersediaannya.
Sementara itu, dalam memantapkan ketahanan pangan yang mencakup dimensi produksi, ketersediaan, konsumsi dan harga serta status gizi antarwaktu dan wilayah, informasi mengenainya sangat bermanfaat sebagai dasar perencanaan, prediksi dan evaluasi serta intervensi kebijakan pangan. Pemerintah harus mengembangkan sistem informasi ketahanan pangan yang akurat. Ini juga untuk meminimalkan kesimpangsiuran data seperti kasus impor beras bebarapa waktu lalu.
Swasembada
Ketahanan pangan nasional selama ini dicapai melalui kebijakan swasembada pangan dan stabilitas harga yang diindikasikan dengan adanya kemampuan menjamin harga dasar yang ditetapkan melalui pengadaan pangan dan operasi pasar. Namun, saat ini yang terpenting dalam masalah ketahanan pangan adalah lebih dipusatkan pada akses masyarakat untuk memperoleh pangan dengan meningkatkan kegiatan masyarakat sehingga dapat meningkatkan pendapatan, bukan lagi mengejar swasembada komoditas per komoditas meskipun ini juga perlu. Kita tidak ingin bangsa ini menjadi pasar produk-produk impor yang sebenarnya bisa kita produksi sendiri dengan biaya yang lebih bersaing.
Khudori (2005) menjelaskan bahwa kelaparan yang terjadi ketika pangan melimpah lebih disebabkan oleh kesalahan mendefinisikan ketahanan pangan. Ketahanan pangan sesungguhnya tidak ditentukan oleh ketersediaan pangan yang melimpah, tetapi oleh terpenuhinya pangan rumah tangga yang berarti tercukupinya pangan yang merata dan terjangkau, baik dalam jumlah, mutu maupun keamanan. Dalam hal itu, akses kecukupan pangan lebih menentukan ketahanan pangan daripada ketersediaannya.
Dengan demikian sistem ketahanan pangan dikatakan mantap apabila telah mampu memberikan jaminan bahwa semua kalangan masyarakat setiap saat pasti memperoleh makanan yang cukup sesuai dengan norma gizi untuk kehidupan yang sehat dan produktif.
*Artikel ini telah dimuat di harian Kompas Edisi Jawa Barat, 6 Mei 2006.
0 Komentar
Thanks for your visiting and comments!