TAK terasa pada tahun 2006 ini usia bangsa kita sudah mencapai 61 tahun. Dekorasi HUT RI Ke-61 tampak menghiasi jalan-jalan, perkantoran, dan rumah-rumah penduduk. Berbagai acara perayaan kemerdekaan dilakukan dan aneka permainan pun dilombakan. Ingar- bingar suasana kemerdekaan menggema hingga ke pelosok negeri agraris ini.
Persoalannya, apa artinya merayakan kemerdekaan bagi bangsa agraris ini jika "pahlawan pangan" alias petani tak pernah merdeka baik secara ekonomi, politik, sosial, budaya, maupun keamanan? Bahkan, untuk urusan perut saja petani masih terjajah oleh pasar luar negeri. Pertanyaan tersebut sangat penting untuk kita refleksikan di Hari Kemerdekaan ini. Realitas menunjukkan bahwa kehidupan petani semakin hari semakin terpuruk akibat harga jual produknya semakin jatuh dibandingkan dengan harga barang-barang industri manufaktur sehingga mengakibatkan berkurangnya pendapatan dan melemahkan daya beli.
Belum lagi lahan pert`nian yang semakin sempit, kebijakan pemerintah yang terlahir, dan infrastruktur lainnya yang cenderung memarjinalkan petani. Padahal, petani merupakan bagian besar dari bangsa ini. Meskipun mayoritas petani kita tidak melek logika ekonomi politik, bukan berarti mereka harus dijadikan bulan-bulanan, dijajah terus-menerus.
Terjajah
Sejarah pertanian kita secara umum memang menunjukkan keterjajahannya. Di zaman Belanda, kebijakan tanam paksa telah merampas hak-hak petani untuk mengolah lahannya. Mereka memaksa petani untuk menanami lahan-lahan pertaniannya dengan komoditas yang laku di pasar internasional.
Lalu pascakemerdekaan, dengan banyaknya kemelut politik ketika itu, pemerintah tak sempat mengurus sektor pertanian. Dampaknya ialah sektor pertanian tak berkembang, pangan rakyatnya pun terbengkalai sehingga kemelut politik semakin menjadi-jadi, bahkan menjadi salah satu penyebab lengsernya pemerintahan Orde Lama.
Lain lagi di era pemerintahan Orde Baru yang sedikit banyak tentu belajar dari pengalaman Orde Lama. Pada awalnya perhatian kepada sektor pertanian terasa sekali. Namun, pada tahap berikutnya pemerintah justru lebih gencar menggalakkan industrialisasi melalui pemusatan perhatian pada pembangunan dengan high technology-nya yang tak mendukung pertanian. Petani pun semakin terkotak-kotak menjadi kelompok yang lemah secara sosial, ekonomi, dan politik. Bahkan, petani pernah dijadikan tumbal politik Orde Baru dengan cap "miring" bila tak sepaham dengan pemerintah.
Bentuk keterjajahan petani yang lebih kejam adalah ketika mereka harus mengikuti program revolusi hijau. Revolusi hijau di satu sisi memang berhasil melipatgandakan produksi pertanian, tetapi di banyak sisi yang lain justru membuat petani semakin bergantung. Revolusi hijau menuntut adanya intensifikasi pertanian dan mengedepankan sisi produksi saja, boros unsur hara, cenderung mengabaikan ekosistem dan budaya lokal.
Revolusi hijau juga memaksa penggunaan input-input produksi semacam benih unggul, pupuk, obat-obatan, ataupun alat-alat pertanian. Persoalannya, sebagian besar input-input produksi semacam ini dikuasai oleh perusahaan-perusahaan besar. Belum lagi masalah distribusi, yang juga dikuasai beberapa kelompok yang dengan mudah mempermainkan harga maupun stok. Jelas petani tak merdeka lagi untuk mendapatkan input-input produksi, dan mudah terombang-ambing.
Petani yang dulu merdeka dengan memakai bibit sendiri, mendaur ulang kotoran ternak sebagai pupuk, dan memanfaatkan yang ada di alam dalam pengendalian hama tidak bisa lagi menjalankan usaha taninya jika tidak bisa membeli benih, serta tidak ada pupuk ataupun obat-obat pertanian. Harga benih, pupuk, ataupun obat-obatan yang terus membubung, sementara harga hasil produksi pertanian relatif tetap, dan keberadaanya yang sering kali langka, membuat nasib petani semakin terpuruk.
Belum lagi hegemoni oleh para tengkulak, cukong, atau mafia dengan segala keunggulan yang dimilikinya dalam menentukan harga produk-produk pertanian. Petani dengan segala keterbatasannya sering kali dirugikan. Bahkan, banyak petani terjerat utang karena ketiadaan modal, terutama di awal musim tanam, sehingga memaksa mereka menerima "uluran tangan" para tengkulak.
Jaminan kemerdekaan
Tentunya dengan persoalan kompleks yang dihadapi petani saat ini, yang diperlukan bukan hanya pendekatan kultural, melainkan juga pendekatan struktural dan politis. Salah satunya adalah memberikan jaminan kemerdekaan dalam rangka menciptakan kemandirian. Jaminan kemerdekaan petani atas kehidupan pribadi dan masa depannya menjadi sangat penting, terutama ketika berhadapan dengan para kapitalis atau bahkan berhadapan dengan tendensi totaliter pemerintah yang ingin mengatur segala sendi kehidupan petani hingga yang terkecil.
Kemerdekaan petani salah satunya terkait dengan kemudahan akses berusaha tani (pupuk dan saprodi lainnya) serta insentif yang mendorong produktivitas, yang dapat berupa harga-harga yang layak. Namun, perlu diperhatikan bahwa mereka bertani tidak hanya sekadar untuk dieksploitasi produktivitasnya saja, tetapi juga harus diperhatikan hak-hak ekonomi, kebudayaan, dan hak meningkatkan kemampuan diri serta kemandiriannya. Petani juga manusia yang harus diperlakukan dengah sungguh-sungguh sebagai manusia.
Seperti kata Soetrisno (2002), hal terpenting yang harus dilakukan adalah memperkuat basis pertanian domestik, yang antara lain dilakukan dengan cara melindungi hak petani atas air dan bibit, menjadikan pengetahuan lokal masyarakat sebagai sentral pembangunan pertanian, dan meningkatkan mutu sumber daya manusia di bidang pertanian.
Dengan demikian, petani akan menikmati kemerdekaannya baik sebagai pribadi maupun anggota masyarakat, termasuk merdeka dalam mengambil keputusan dan menentukan pilihan. Merdeka!
*Artikel ini telah dimuat di harian Kompas Edisi Jawa Barat, 18 Agustus 2006.
1 Komentar
nah baru bs komen...
BalasHapusnice posting
Thanks for your visiting and comments!