DULU ada seorang kawan yang ketika akan ikut mudik ke Jombang, hal pertama yang dipertanyakannya adalah makanan apa yang enak dan khas di Jombang? Pertanyaan yang kelihatan sederhana tetapi sulit bagi saya untuk bisa menjawabnya dengan segera. Bagi saya butuh hastabrata sebelum melakukan “penerawangan” dengan metode mutakhir untuk dapat menemukan literatur-literatur makanan enak dan khas di Jombang.
Bagaimana tidak, sebagai anak kost selepas SMP tahun 1993 lalu, bagi saya ada makanan yang bisa dimakan saja sudah sebuah karunia yang luar biasa enaknya. Ini malah membedakan makanan itu enak atau tidak enak. Bagai mengurai simpul-simpul benang kusut.
Di Jombang, meskipun tak ada rumah makan atau restaurant sekelas KFC, McD, atau HC seperti di dekat Air Mancur yang ada di Bogor dan kota-kota besar lainnya, namun bukan berarti di Jombang tak ada makanan-makanan enak. Di Jombang banyak sekali jenis-jenis makanan yang menggugah selera seperti halnya di kota-kota lain. Persoalannya, makanan apa yang khas yang sekaligus bisa menunjukkan “identitas nJombang”, itu yang membuat saya tambah bingung lagi.
Ada Nasi Pecel tetapi masih kalah tenar dengan Pecel Madiun meskipun penjual Nasi Pecel di Jombang jumlahnya seabrek dari kelas emperan sampai kelas depot atau cafe. Bahkan mata belum melek beneran atau pagi-pagi buta kita akan mudah mendapatkan Nasi Pecel. Kaum ibu dan si mbok-mbok dengan sepeda onthel banyak yang menjajakan Nasi Pecel ke kompleks-kompleks perumahan, tempat kost dan ngetem di beberapa ruas jalan. Di Jombang penjual Nasi Pecel banyak yang ngetem di perempatan Jalan Wahid Hasyim persis dekat Rumah Sakit Umum Daerah. Sedangkan yang tempat berjualannya permanen yang paling enak menurut lidah saya ada di Depot Giri Jaya di Jalan Merdeka. Lauknya cukup komplet dan kebersihannya cukup terjamin.
“Kring kring kring, cel pecel, pecele Mas!” Itu kata-kata yang sering saya dengar dulu dari ibu-ibu dan si mbok-mbok penjual Nasi Pecel keliling setiap pagi dengan sepeda onthelnya ketika melintas di depan asrama pondokan saya.
Lalu di Jombang juga ada Soto, tetapi masih kalah meng-Indonesia dengan Soto Lamongan meskipun di Jombang ada Soto Pak Loso yang menurut lidah saya lebih enak dari pada Soto Lamongan yang ada di kawasan Lingkar Kampus Darmaga Bogor yang rasanya gak ngalor gak ngidul itu.
Berikutnya Sate. Di Jombang dulu ada Sate Ringin Contong, sebab berjualannya di sekitar Ringin Contong. Kemudian juga Sate H. Faqih di kawasan Pesantren Tebu Ireng, di seberang PG Tjoekir yang pernah diulas oleh Raja Wisata Kuliner, Bondan Winarno. Namun kedua jenis sate tersebut masih kalah mendunia dengan Sate Madura. Terkait dengan Sate Madura ini, dulu ada guyonan kawan sekamar asrama pondok yang asli Sumenep Madura. Mengapa pesawat jarang terbang ke Madura? Jawabnya, sebab kalau terbang ke Madura, pesawat sering terjebak asap di udara Madura karena penjual Sate Madura sedang membakar sate! Ini saking banyaknya penjual sate di Madura.
Makanan berikutnya adalah Bakso. Bakso masih kalah tenar dengan aneka Bakso Malang (di Jombang ada Bakso Bakar Malang dan Bakso Cak Man Malang) atau Bakso Solo. Namun di Jombang sebenarnya ada bakso yang sangat terkenal dan cukup legendaris (setidaknya saya mengenalnya dan sering mencicipinya sejak saya kanak-kanak), yaitu Bakso Nuklir yang “digawangi” Haji Sumarto alias Cak To Nuklir yang berada persis di seberang RSK atau Rumah Sakit Kristen Mojowarno. Dulu ketika saya masih SD (1984-1990), saya sering mendengar promosi Bakso Nuklir lewat Radio Khusus Pemerintah Daerah (RKPD) Jombang. Disebut Bakso Nuklir sebab baksonya memang ukurannya jumbo dan rasanya tak sekadar “nendang” tetapi “meledak” dahsyat, sedahsyat letusan bom nuklir.
Selanjutnya ada Sego Sadhukan. Ini mungkin khas Jombang, tetapi kayaknya tak etis menjamu tamu jauh dengan Sego Sadhukan atau kalau di kawasan Malioboro Ngayogjakarta Hadiningrat disebut sebagai Nasi Kucing. Makan Sego Sadhukan bisa menjadi alternatif jika memang kantong benar-benar kering dan perut benar-benar keroncongan.
Sego Sadhukan adalah nasi bungkus yang isinya sekepal nasi, ada mie, lauk tahu-tempe diiris kecil-kecil, dan kadang-kadang ada ikan terinya. Sadhukan artinya tendangan, mungkin karena porsinya yang minimalize itulah dinamakan Sego Sadhukan, sekali tendang langsung bisa mencelat jauh atau sekali santap langsung habis. Dulu di kawasan Simpang Tiga atau Pertigaan Tugu Adipura dan juga sekitar Stasiun dan Alun-alun kalau malam hari Sego Sadhukan mudah didapatkan. Karena harganya murah maka sangat cocok bagi anak kost yang uangnya pas-pasan.
Then, the next badhokan di Jombang yang sempat saya ingat dan mungkin paling enak dan unik adalah makanan yang di masa kecil sering saya santap, yaitu Soto Dok. Ya, Soto Dok ini tak jauh beda dengan makanan sejenis soto lainnya, bahan dasarnya tetap dari daging. Namun sepertinya ada bahan tambahan atau racikan yang agak beda dengan soto lainnya. Soto Dok rasanya lebih “seksi” sebab kuahnya tak terlalu mblenek seperti jenis soto lainnya. Dan yang tak pernah terlupakan, ada taogenya yang menjadi “aksesoris” Soto Dok dan mungkin ini membuat beda dengan soto lainnya.
Dinamakan Soto Dok karena penjualnya melayani pembeli dengan cara yang unik yaitu setelah menuang kecap dari botol ke dalam mangkuk langsung meletakkan kembali botol kecap dengan cara yang keras seperti menggebrak atau membanting botol kecap ke meja hingga menimbuklan bunyi: DOK! Pembeli pemula atau yang tak biasa tentu akan kaget dan mengira penjualnya kasar.
Dulu, ketika masih kecil saya seringkali diajak orang tua ke Pasar Lama Mojoagung, pasar di kampungnya Ustadz Abu Bakar Ba’asyir (sekarang sudah dipindah 1 km ke arah barat). Di pasar itulah saya seringkali diajak andok menikmati Soto Dok. Seingat saya, stand atau tempat berjualannya permanen di tengah-tengah pasar. Penataannya, kursi panjang mengelilingi meja panjang dan lebar yang di atas meja ditaruh berbagai abrakan atau perkakas termasuk panci penjerang kuah, tempat nasi dan lainnya. Bentuknya tetap mirip penjual soto keliling yang dipikul, apalagi pikulan atau alat pemikul masih ditata sedemikian rupa di atas meja. Bentuk pikulan-nya yang terbuat dari bambu dan berhias rotan melengkung dan memanjang, terkesan mirip sekali lengkungan atap Rumah Minang.
Selain itu, di sepanjang Jalan Wahid Hasyim kawasan Jombang kota dulu juga banyak penjual Soto Dok, biasanya menjelang petang penjual Soto Dok kaki lima mulai menggelar dagangannya. Apalagi di Pujasera atau Kebonrojo, dulu banyak juga yang penjual Soto Dok. Kebetulan selama hampir dua tahun, tahun 1993-1995, saya indekost di seberang Pujasera, tepatnya di dekat pintu gerbang sebelah utara Pujasera. Jadi dulu setidaknya tahu persis jenis makanan yang dijual di situ, terutama jenis makanan yang murah!
Demikian juga, dulu di Jalan Pattimura tepat di seberang SMP Negeri I Jombang atau SMK Negeri 3 (dulu STM Negeri Jombang), juga ada penjual Soto Dok yang buka tenda setelah maghrib, yang harganya ketika tahun 1995-1996 Rp. 400,- plus Es Teh Rp. 150,-. Cukup terjangkau, apalagi Jalan Pattimura merupakan salah satu kawasan sekolah yang ramai dan padat, jadi banyak pelanggan dari anak sekolah yang indekost di sekitar situ.
Beberapa waktu yang lalu, saya juga mendapati penjual Soto Dok di Jakarta, iseng-iseng tanya ke penjualnya, ternyata penjualnya orang Jombang juga, tapi saya lupa Jombang mana dia berasal. Sementara di Kota Surabaya juga banyak penjual Soto Dok meskipun yang jualan bukan orang Jombang.
Nah, beberapa waktu yang lalu ada grenengan yang saya dengar, kalau Soto Dok ini akan ditetapkan menjadi makanan khas Jombang. Bahkan Bupati Jombang, dengar-dengar mau membuat Perdanya, disamping Perda Ludruk (bukan Ludruk Perda) sebagai upaya untuk melestarikan kesenian Ludruk yang memang cikal bakalnya dari Jombang. Saya kurang begitu jelas Perda tentang Soto Dok nanti seperti apa, dan pelaksanaannya nanti bagiamana, namanya juga masih grenengan.
Namun yang jelas tujuan seperti itu sangat baik untuk memperkenalkan salah satu jenis kuliner Jombang untuk lebih mengindonesia. Mungkin juga dari Soto Dok ini bisa mencari “identitas nJombang” yang selama ini masih remeng-remeng. “Pengakuan” atas Soto Dok sebagai makanan khas Jombang setidaknya akan mendukung wisata Jombang dan terutama secara ekonomi, akan mampu meningkatkan perekonomian warga Jombang, setidaknya bagi penjual Soto Dok dan petani-peternak. Lho, kok petani-peternak? Ya, sebab yang dijual adalah nasi dan bahan dasar utama Soto Dok adalah daging, jadi jangan dilupakan petani-peternaknya!
11 Komentar
hey, Thank sudah menulis posting ini. sebagai sesama jombang, saya juga mengalami masalah serupa. selalu bingung ketika harus menjawab, yang mana makanan khas jombang. kalau begitu, mulai sekarang kita kampanyekan saja, soto dok sebagai milik jombang. hehehee
BalasHapussalam.
BalasHapuswah ulasannya mak nyus, lumayan rinci.
Masalah soto dok mau di jadikan makanan khas jombang? wah bisa2 rame sama orang lamongan dong...
Masih soal soto, dulu di sekitar jln a. yani ada soto yang enak, orang2 sih menyebutnya soto cak dar.
Kembali ke makanan khas jombang, emang susah nyebutinnya.
Tapi bisa ga ya Jenang Kelapa Muda di claim sbg makanan khas Jombang???
salam kenal...
BalasHapusluar biasa,lengkap bener. ada tutorial gimana caranya jadi penulis yang baik ???
q harus banyak belajar dari sang ahli.
wah dulu koq ga ada yang bikin katalog tentang kebudayaan ya ???
klo ada, enak, biar ga ada yang asal klaim.
klo bikin katalognya sekarang, malah jadi masalah baru....
q tertarik dg tulisan ini, q asli jombang tp q urang mnegenal jombang,,,
BalasHapustiap d tanya kesenian,makanan,minuman,snack,dll selalu bingung menjawab,,,,
* Sate Ringin Contong, masih ada, namanya sate pak Slamer, sekarang berada di belakang toko Samaniya, dan sudah buka cabang di depan Polres Jombang dan di Ploso,
BalasHapus* Kalau kikil lodeh, Mojosongo itu mungkin khas, karena belum pernah ketemu di luar Jombang, yang ada hanya murni kikil seperti di rumah makan padang,
Kikil yang campur lodeh, belum pernah ketemu diluar Jombang
Soto Dok ini kayaknya pernah ada di wisata kuliner di tv deh...
BalasHapusJombang byk makanan khasnya ya... ini malah yg byk dicari lho...
Betul mbak, malah kalau tak salah sudah diperdakan sbg makanan khas daerah
HapusSaya sering makan soto dhok di pojokan itu mas
BalasHapusTerima kasih infonya
Salam hangat dari Surabaya
salam kembali Pakde, semoga selalu mencintai produk pangan daerah :)
HapusSelamat pagi Mas Junaedi...
BalasHapusSoto dok versi Jombang itu mulai kapan ada perrrtama kali Mas? heheh sekedar pendapat pribadi, sebelum Pemda setempat menetapkan soto dok sebagai makanan khas, apakah tidak sebaiknya melakukan survey mendalam siapa tau ada daerah lain yang sudah duluan mengenal dan atau mempopulerkan soto dok.
Seingat saya, dari pengalaman pribadi ketika masih kecil. Sekitar tahun 1987-1988 soto dok sudah ada di Malang di seberang GOR Pulosari yang sekarang GOR telah beralih fungsi menjadi swalayan besar. Namanya kalau tidak salah Soto Lamongan M'Said. Ciri uniknya juga sama setelah menuangkan kecap asin ke mangkuk, kemudian botol tsb dibanting/diletakkan dengan kuat ketika meletakkan kembali...
enak itu
BalasHapusThanks for your visiting and comments!