“Dikenal sebagai kota santri, dengan lebih dari 110 ponpes, masih belum menjamin Jombang bebas prostitusi. Aktivitas esek-esek setidaknya bisa ditemui di Dusun Klubuk, Desa Sukodadi, Kecamatan Kabuh. Hasil pantauan di lapangan, Sabtu (11/8), menyebutkan, di tepi Jl Raya Ploso (Jombang)- Babat (Kabupaten Lamongan), terdapat beberapa warung yang masing-masing menyediakan sejumlah kamar berikut pekerja seks komersial (PSK)”.
Demikian berita yang sempat saya baca di harian Surya Online edisi Minggu, 12 Agustus 2007, beberapa waktu yang lalu. Sudah cukup lama memang, meskipun letupan-letupan syaraf di kepala meledak, selaksa ledakan petasan di bulan Ramadhan, untuk sekadar mengomentarinya.
Demikian berita yang sempat saya baca di harian Surya Online edisi Minggu, 12 Agustus 2007, beberapa waktu yang lalu. Sudah cukup lama memang, meskipun letupan-letupan syaraf di kepala meledak, selaksa ledakan petasan di bulan Ramadhan, untuk sekadar mengomentarinya.
Saya pun sesungguhnya tak tega untuk mempostingkannya, apalagi ketika itu bulan puasa. Jangan-jangan nanti terkena sweeping karena ngomongin yang “beginian”, seperti saudari-saudari kita yang menjadi PSK yang di mana-mana seringkali di-sweeping, diobyak-obyak, karena dianggap tidak menghormati bulan Ramadhan. Padahal, bulan Ramadhan tetap saja terhormat meskipun manusia sejagad mblunat tak menghormatinya.
Setidaknya berita itu merangsang gairah dan hasrat saya untuk mengingat-ingat kawasan yang dulu merupakan kawasan “X” yang sempat saya kenal di Jombang, namun “sayangnya” tak sempat saya kunjungi!
Bagi orang Jombang, yang berbudaya arek dengan sifatnya yang terkenal egaliter, blak-blakan, apa adanya, bahkan kadang juga aneh-aneh cenderung nyeleneh, berita seperti ini tidaklah terlalu mengagetkan, biasa saja. Toh aktivitas prostitusi konon setua usia manusia, jadi ada sejak zaman baheula dan tak hanya ada di Jombang saja. Prostitusi terjadi di mana-mana, namun semuanya menampakkan wajah yang dilematis. Di satu sisi ia dimaki-maki dan dibenci, namun di sisi lain ia di cari-cari dan dinikmati.
Diakui atau tidak, kita pada umumnya menganggap bahwa pelacuran, dalam berbagai bentuk modus operandinya, merupakan perbuatan yang tidak terpuji dan terkutuk. Sebatas itukah anggapan kita? Apakah kita merasa lebih terhormat dari mereka? Apakah kita hanya pandai mengutuk dan memaki-maki? Apa tidak lebih baik bila kita, para anggota masyarakat yang merasa diri “terhormat”, meneliti pula kemungkinan adanya kesalahan sikap hidup kita yang mungkin secara sadar dan atau tidak sadar, justru memberi dorongan kepada perbuatan yang bersifat prostitusional itu.
Ya, bisa jadi karena keserakahan cara berekonomi kita, keserakahan cara berkebudayaan kita, keserakahan cara berpolitik kita, dan berbagai keserakahan-keserakahan kita lainnya, sehingga membuat mereka yang tak bisa serakah tetapi gelap mata, menyingkir membentuk komunitas “peradaban baru”.
Kembali ke Jombang. Di Jombang setidaknya dulu ada beberapa kawasan “X” yang cukup terkenal, semisal saja Kayen di Kecamatan Mojowarno, Tunggorono, Weru dan sekitar Terminal Lama, serta sepanjang jalan di depan Bulog. Namun, sekarang kawasan-kawasan itu sepertinya sudah berubah 180 derajat.
Kayen sudah ditutup dari kegiatan transaksi birahi ini. Tungorono telah menjadi kawasan perdagangan yang sibuk khusus barang bekas (pasar loak) dan pasar hewan. Kemudian, Terminal Lama telah lama menjadi kawasan pertokoan Simpang Tiga. Demikian juga dengan kawasan di depan Bulog telah menjadi kawasan rumah-toko “Ruko Cempaka Mas” yang sangat mewah dibanding kawasan sejenis di Jombang. Lalu dikemanakan para “penghuni”-nya? Entahlah.
Namun, saya mempunyai catatan beberapa berita tentang masalah lokalisir PSK di Jombang yang kala itu menjadi ajang perdebatan di kalangan anggota dewan yang terhormat. Saya masih ingat bahwa letupan ide untuk melokalisir PSK ini pertama kali muncul sekitar 2000 lalu dari wakil DPRD Kabuapaten Jombang waktu itu, Slamet Sumarto (Jawa Pos, 28 Juni 2001, Halaman Jatim), dengan mengajukan wilayah Wonosalam sebagai alternatifnya. Kemudian setahun berikutnya, ada lontaran lagi dari Ketua Fraksi PDIP, Gunawan Wibisono, yang mengusulkan bahwa lokalisasi PSK yang pas di Wonosalam atau Kabuh (Radar Mojokerto, 14 Agustus 2002).
Nah, jangan-jangan geliat prostitusi atau orang-orang nJombang lebih akrab dengan kata persenukan ini akibat dari perdebatan wakil-wakil kita yang (katanya) terhormat yang dahulu kala mengusulkan kawasan Kabuh menjadi kawasan “legal” untuk persenukan ini.
Mungkin kawan-kawan di Jombang bisa menceritakan tentang berbagai aktivitas prostitusi di tanah tempat darah kita pernah tumpah. Mungkinkah semua itu benar adanya diakibatkan oleh “pelacuran sistematis” yang dicipta “para pembuat sistem”? Wallahualambishowab!
Setidaknya berita itu merangsang gairah dan hasrat saya untuk mengingat-ingat kawasan yang dulu merupakan kawasan “X” yang sempat saya kenal di Jombang, namun “sayangnya” tak sempat saya kunjungi!
Bagi orang Jombang, yang berbudaya arek dengan sifatnya yang terkenal egaliter, blak-blakan, apa adanya, bahkan kadang juga aneh-aneh cenderung nyeleneh, berita seperti ini tidaklah terlalu mengagetkan, biasa saja. Toh aktivitas prostitusi konon setua usia manusia, jadi ada sejak zaman baheula dan tak hanya ada di Jombang saja. Prostitusi terjadi di mana-mana, namun semuanya menampakkan wajah yang dilematis. Di satu sisi ia dimaki-maki dan dibenci, namun di sisi lain ia di cari-cari dan dinikmati.
Diakui atau tidak, kita pada umumnya menganggap bahwa pelacuran, dalam berbagai bentuk modus operandinya, merupakan perbuatan yang tidak terpuji dan terkutuk. Sebatas itukah anggapan kita? Apakah kita merasa lebih terhormat dari mereka? Apakah kita hanya pandai mengutuk dan memaki-maki? Apa tidak lebih baik bila kita, para anggota masyarakat yang merasa diri “terhormat”, meneliti pula kemungkinan adanya kesalahan sikap hidup kita yang mungkin secara sadar dan atau tidak sadar, justru memberi dorongan kepada perbuatan yang bersifat prostitusional itu.
Ya, bisa jadi karena keserakahan cara berekonomi kita, keserakahan cara berkebudayaan kita, keserakahan cara berpolitik kita, dan berbagai keserakahan-keserakahan kita lainnya, sehingga membuat mereka yang tak bisa serakah tetapi gelap mata, menyingkir membentuk komunitas “peradaban baru”.
Kembali ke Jombang. Di Jombang setidaknya dulu ada beberapa kawasan “X” yang cukup terkenal, semisal saja Kayen di Kecamatan Mojowarno, Tunggorono, Weru dan sekitar Terminal Lama, serta sepanjang jalan di depan Bulog. Namun, sekarang kawasan-kawasan itu sepertinya sudah berubah 180 derajat.
Kayen sudah ditutup dari kegiatan transaksi birahi ini. Tungorono telah menjadi kawasan perdagangan yang sibuk khusus barang bekas (pasar loak) dan pasar hewan. Kemudian, Terminal Lama telah lama menjadi kawasan pertokoan Simpang Tiga. Demikian juga dengan kawasan di depan Bulog telah menjadi kawasan rumah-toko “Ruko Cempaka Mas” yang sangat mewah dibanding kawasan sejenis di Jombang. Lalu dikemanakan para “penghuni”-nya? Entahlah.
Namun, saya mempunyai catatan beberapa berita tentang masalah lokalisir PSK di Jombang yang kala itu menjadi ajang perdebatan di kalangan anggota dewan yang terhormat. Saya masih ingat bahwa letupan ide untuk melokalisir PSK ini pertama kali muncul sekitar 2000 lalu dari wakil DPRD Kabuapaten Jombang waktu itu, Slamet Sumarto (Jawa Pos, 28 Juni 2001, Halaman Jatim), dengan mengajukan wilayah Wonosalam sebagai alternatifnya. Kemudian setahun berikutnya, ada lontaran lagi dari Ketua Fraksi PDIP, Gunawan Wibisono, yang mengusulkan bahwa lokalisasi PSK yang pas di Wonosalam atau Kabuh (Radar Mojokerto, 14 Agustus 2002).
Nah, jangan-jangan geliat prostitusi atau orang-orang nJombang lebih akrab dengan kata persenukan ini akibat dari perdebatan wakil-wakil kita yang (katanya) terhormat yang dahulu kala mengusulkan kawasan Kabuh menjadi kawasan “legal” untuk persenukan ini.
Mungkin kawan-kawan di Jombang bisa menceritakan tentang berbagai aktivitas prostitusi di tanah tempat darah kita pernah tumpah. Mungkinkah semua itu benar adanya diakibatkan oleh “pelacuran sistematis” yang dicipta “para pembuat sistem”? Wallahualambishowab!
5 Komentar
halah... mbahas kok persenukan di njombang.. sepurane sing akeh cak, wes suwe ra mulih njombang kiyy..
BalasHapussakjane yo kangen karo ambune sawah kabuh.
AKu pernah nulis puisi tentang itu! tapi aku lupa judulnya...Tapi aku nulisnya pas Di Tambi...tau ga ya? tuh Lokalisasi yang deket kandangan...Aku sempet ngeteh di sana...eh....kok ya PSK yang nongol...
BalasHapusTapi namanya juga manusia...dilarang mendirikan Lokalisasi, sekarang malah marak PSK online,...transaksi cepat, mudah dan aman...tinggal pasang Nick yang agak menggugah di MIRV atau YM...exs. Ce-Bokingan-200ribu...Ce-Butuh-Duit...dab bla..bla.///dalam semalam mereka bisa melayni tamu 3 sampai 4 orang (200ribu biasanya 1 kali keluar) ga tau yang keluar apanya...Hahahhahah...
viva la creativa!
BalasHapusmoco tulisanmu aku dadi eling tanah kelahiranku cak , aku arek mblimbing , cedak karo magersari . panggonanku dolin jik cilik biyen . salam
BalasHapusDan akhirnya pun kena gerebek
BalasHapusThanks for your visiting and comments!