Mojowarno! Ya, ini wilayah di selatan Jombang yang dulu merupakan salah satu pusat kebudayan dan perkembangan agama Kristen tertua di Jawa. Sampai saat inipun perkembangan agama Kristen di wilayah ini cukup signifikan. Boleh dikata, hampir fivety-fivety jumlahnya dengan pemeluk Islam. Namun, jangan ditanya bagaimana harmonisasi, toleransi dan pluralitas kehidupan keberagamaan masyarakat Mojowarno. Selama ini belum pernah terdengar adanya gesekan antar pemeluk agama yang berbeda itu. Justru saya menilai, Indonesia perlu “belajar” banyak dari Mojowarno tentang bagaimana tata cara kehidupan beragama yang baik itu.
Kembali ke SMS teman saya tadi. Saya menduga bahwa teman saya menilai saudara-saudaranya yang Kristen di Mojowarno itu sebagai orang “kafir” dan melanjutkan penilaian terhadap saya sebagai orang “kafir” juga karena berdekatan dengan Mojowarno. Padahal, saya adalah Muslim (setidaknya di KTP saya tertera agama Islam), dan saya tak pernah menyoal dengan “aliran” keislaman saya, kecuali bahwa saya merasa baru beberapa “cangkul” saja menggali nilai-nilai Islam. Dan, kalaupun teman saya menyebut saya ini “kafir”, saya tidak akan marah. Saya sadar dengan sesadar-sadarnya bahwa saya baru “mencangkul” dan “cangkulan” saya masih terlalu dangkal. Dan, Insya Allah saya tidak akan pernah membalas dengan “mengkafirkan” teman saya itu. Dalam risalah suci yang saya pahami, orang Kristen bukanlah orang kafir sebab mereka juga ber-Tuhan, terlepas Tuhan-nya siapa, itu urusan mereka dan bukan urusan saya. Mereka punya koridor, punya teks dan konteks, punya “ladang” sendiri, yang saya tak berhak mengacak-acak ladangnya itu.
Namun demikian, dengan adanya SMS kawan saya itu, sungguh saya sangat berterima kasih. Betapa tidak, SMS-nya itu telah menggugah dan membantu mengasah “mata cangkul” saya kembali agar lebih tajam menggali, menembus kedalaman, menguak rahasia “ladang” Ilahi. Demikian juga, dia telah ikut mengampelas syahadat saya yang semakin lama semakin berkarat ini. Sebenarnya, ini bukan kali pertama saya mendapat mendapat “ucapan” seperti itu. Saya seringkali mendapat “ucapan” seperti itu dari kawan-kawan saya yang lain, yang “lebih soleh dan soleha”. Kata “kafir” juga sering saya dengar dari Ustadz Abu Bakar Baasyir ketika beberapa kali mengikuti tablighnya. Pernah juga diajak seorang kawan yang aktivis di sebuah pengajian kampus yang ketika itu pembicaranya mantan rocker kenamaan tahun 1980-an dimana dalam ceramahnya seringkali terdengar kata “kafir”. Entah berapa kali dia menyebut kata-kata itu. Yang jelas, saya agak merinding dan sedikit minder dengan keagamaan saya.
Sebagai akhir dari tulisan ini, terkait dengan “kekafiran” yang seperti kawan menyebutnya, saya jadi teringat “tafsir mbeling” dari Cak Nun perihal “kafir” ini yang dimasukkan dalam wilayah penghayatan La Ilaha, yaitu bagian awal dari syahadat muslim yang bermakna “tidak ada Tuhan”. Sebelum seorang muslim memiliki keberanian untuk mengucapkan Illallah (hanya Allah), maka terlebih dulu ia harus mengenali persis La Ilaha, “yang bukan Tuhan yang mana saja”. Yang tidak dinomersatukan apa saja. Kalau kita sudah menemukan dan meyakini bahwa dalam kehidupan ini tak ada yang pantas dituhankan, baik itu Raja, Presiden, Ulama, atau tokoh-tokoh apapun, termasuk uang, harta benda dan kekuasaan, maka kita akan menemukan kehidupan ini sunyi. Semuanya lemah sebagaimana kita. Batu, pepohonan, segala makhluk, termasuk kita, semuanya lemah, lemah sehingga tidak memiliki kepantasan untuk dituhankan. Tidak memiliki kelayakan untuk dijunjung paling tinggi, untuk dibela sampai mati. Dengan itu kita menemukan Illallah, hanya Allah, yang memiliki kedudukan, kekuatan dan fungsi semacam itu.
Jadi, mudah-mudahan “kekafiran” saya ini benar-benar menjadi “cangkulan” awal saya untuk terus berproses menggali menemukan Illallah. Semoga!
Kembali ke SMS teman saya tadi. Saya menduga bahwa teman saya menilai saudara-saudaranya yang Kristen di Mojowarno itu sebagai orang “kafir” dan melanjutkan penilaian terhadap saya sebagai orang “kafir” juga karena berdekatan dengan Mojowarno. Padahal, saya adalah Muslim (setidaknya di KTP saya tertera agama Islam), dan saya tak pernah menyoal dengan “aliran” keislaman saya, kecuali bahwa saya merasa baru beberapa “cangkul” saja menggali nilai-nilai Islam. Dan, kalaupun teman saya menyebut saya ini “kafir”, saya tidak akan marah. Saya sadar dengan sesadar-sadarnya bahwa saya baru “mencangkul” dan “cangkulan” saya masih terlalu dangkal. Dan, Insya Allah saya tidak akan pernah membalas dengan “mengkafirkan” teman saya itu. Dalam risalah suci yang saya pahami, orang Kristen bukanlah orang kafir sebab mereka juga ber-Tuhan, terlepas Tuhan-nya siapa, itu urusan mereka dan bukan urusan saya. Mereka punya koridor, punya teks dan konteks, punya “ladang” sendiri, yang saya tak berhak mengacak-acak ladangnya itu.
Namun demikian, dengan adanya SMS kawan saya itu, sungguh saya sangat berterima kasih. Betapa tidak, SMS-nya itu telah menggugah dan membantu mengasah “mata cangkul” saya kembali agar lebih tajam menggali, menembus kedalaman, menguak rahasia “ladang” Ilahi. Demikian juga, dia telah ikut mengampelas syahadat saya yang semakin lama semakin berkarat ini. Sebenarnya, ini bukan kali pertama saya mendapat mendapat “ucapan” seperti itu. Saya seringkali mendapat “ucapan” seperti itu dari kawan-kawan saya yang lain, yang “lebih soleh dan soleha”. Kata “kafir” juga sering saya dengar dari Ustadz Abu Bakar Baasyir ketika beberapa kali mengikuti tablighnya. Pernah juga diajak seorang kawan yang aktivis di sebuah pengajian kampus yang ketika itu pembicaranya mantan rocker kenamaan tahun 1980-an dimana dalam ceramahnya seringkali terdengar kata “kafir”. Entah berapa kali dia menyebut kata-kata itu. Yang jelas, saya agak merinding dan sedikit minder dengan keagamaan saya.
Sebagai akhir dari tulisan ini, terkait dengan “kekafiran” yang seperti kawan menyebutnya, saya jadi teringat “tafsir mbeling” dari Cak Nun perihal “kafir” ini yang dimasukkan dalam wilayah penghayatan La Ilaha, yaitu bagian awal dari syahadat muslim yang bermakna “tidak ada Tuhan”. Sebelum seorang muslim memiliki keberanian untuk mengucapkan Illallah (hanya Allah), maka terlebih dulu ia harus mengenali persis La Ilaha, “yang bukan Tuhan yang mana saja”. Yang tidak dinomersatukan apa saja. Kalau kita sudah menemukan dan meyakini bahwa dalam kehidupan ini tak ada yang pantas dituhankan, baik itu Raja, Presiden, Ulama, atau tokoh-tokoh apapun, termasuk uang, harta benda dan kekuasaan, maka kita akan menemukan kehidupan ini sunyi. Semuanya lemah sebagaimana kita. Batu, pepohonan, segala makhluk, termasuk kita, semuanya lemah, lemah sehingga tidak memiliki kepantasan untuk dituhankan. Tidak memiliki kelayakan untuk dijunjung paling tinggi, untuk dibela sampai mati. Dengan itu kita menemukan Illallah, hanya Allah, yang memiliki kedudukan, kekuatan dan fungsi semacam itu.
Jadi, mudah-mudahan “kekafiran” saya ini benar-benar menjadi “cangkulan” awal saya untuk terus berproses menggali menemukan Illallah. Semoga!
6 Komentar
Masya Allah.... Semoga cuman guyonan, tapi kok nemen yo.....!
BalasHapuskata ayah klo bercanda jangan bawa2agama Oom..bahaya!
BalasHapustapi dah minta maaf tuh Oom anju-nya...asal jangan sampe ktauan wartawan aj deh.. :)Oom Jun ntar bisa rame!
Assalamu'alaikum...
BalasHapuskang junaedi benar, apa ada jaminan surga bagi kyai, haji, kuli bangunan? (Berbicara tentang agama)
kafir itu kan tergantung dimana kita tinggal,,kalo di indonesia yang kafir ya non muslim (mungkin)kalo di inggris yang kafir ya kita.
BalasHapusweh segitunya ya..tp bs jd yg ngirimi sms sdh tahu respon pak jun..
BalasHapusweh sampe sgitunya...
BalasHapusThanks for your visiting and comments!