Foto: Tinkstock
…..cinta itu anugerah, maka berbahagialah
sebab kita sengsara, bila tak punya cinta….
(Doel Soembang)
(Doel Soembang)
MEMBACA tulisan Apa Itu Cinta-nya seorang kawan blogger, saya jadi tergerak untuk mengayunkan “cangkul”, menggali kembali “pelajaran cinta” yang setidaknya pernah saya peroleh ketika di awal-awal jaman ngampus heula, mendapat materi mata kuliah Ilmu Budaya Dasar.
Dalam “pelajaran cinta” yang saya pahami, cinta mengandung unsur perasaan dan tindakan aktif dan rasa cinta itu bisa muncul secara tiba-tiba, bisa datang meskipun tanpa diundang. Itu mungkin yang menginspirasi sebuah lagu Jawa, Cintaku Sekonyong-Konyong Koder, yang dilantunkan Didi Kempot. Namun, cinta juga bisa ngacir tanpa diusir atau bahkan terus tumbuh dan berkembang hingga menebar Virus-Virus Cinta (istilah Dewi-Dewi) ke segala penjuru mata angin.
Dan yang terpenting, mencintai itu juga memerlukan pemahaman, strategi, dan perjuangan. Dengan cara demikian akan ada proses menuju kesejatian cinta, dimana kesejatian cinta itu mendengar apa yang tidak dikatakan, dan mengerti apa yang tidak dijelaskan.
Mendefinisikan cinta itu tidaklah mudah, tergantung dari pengalaman bathin individu dan dari perspektif mana cinta itu definisikan. Namun demikian, ada “konsensus umum”, bahwa cinta mempunyai peran penting, baik dalam membangun kohesi kehidupan masyarakat maupun manusia dengan Tuhannya.
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah mengatakan bahwa cinta itu bisa menyucikan akal, mengenyahkan kekhawatiran, mendorong untuk berpakaian yang rapi, makan yang baik-baik, memelihara akhlak yang mulia, membangkitkan semangat, mengenakan wewangian, memperhatikan pergaulan yang baik, menjaga adab dan kepribadian. Tapi cinta juga merupakan ujian bagi orang-orang yang shalih dan cobaan bagi ahli ibadah.
Sementara itu, Sigmund Freud menyebutkan bahwa pada dasarnya manusia itu mempunyai dua insting, yakni insting cinta dan insting benci. Insting cinta itu baik karena manusia peduli dan mencintai sesamanya demi menjaga keselamatan, kesejahteraan dan kebahagiaan orang lain. Namun insting cinta juga sekaligus membawa insting benci kalau sikap cintanya terhadap orang lain itu disertai dengan keinginan memiliki apa yang dicintainya itu. Dengan keinginan memiliki, maka terjadilah sikap menguasai apa yang dicintai. Sikap menguasai itu bisa dilakukan dengan berbagai cara, termasuk melakukan Rekayasa Cinta (istilah Camelia Malik) atau bahkan penindasan.
Dalam manifestasinya, cinta dapat diungkapkan dengan simbol-simbol tertentu, misalnya bunga, cokelat, warna, boneka, puisi, lagu, dan sebagainya. Meskipun demikian, aplikasi dari mencintai itu tidaklah semudah membalik telapak tangan, atau semudah menulis dan menganalisis dalam blog seperti ini.
Cinta seorang petani, bisa dimanifestasikan dengan tetap menjaga harmoni cinta dengan tanah, air, tanaman dan lingkungan sekitar bahkan lingkungan globalnya. Petani “menyayangi” tanah dengan mengolah sebaik-baiknya, menjaga kesuburannya, serta tidak mengeksploitasinya. Demikian juga cintanya terhadap tanaman, petani merawat dengan sebaik-baiknya sesuai dengan pemahaman ilmu agronomi yang dipahami agar tanaman tetap tumbuh-kembang dengan baik yang kelak akan memberikan banyak harapan (panen).
Petani yang setia “bercinta” dengan lumpur dan terik mentari sepanjang hari di sawah-ladang pun juga karena cintanya terhadap keluarga. Tak ada kebahagiaan selain kebahagiaan memberi atas nama cinta, termasuk kebahagiaan memberi nafkah keluarganya.
Mendefinisikan cinta itu tidaklah mudah, tergantung dari pengalaman bathin individu dan dari perspektif mana cinta itu definisikan. Namun demikian, ada “konsensus umum”, bahwa cinta mempunyai peran penting, baik dalam membangun kohesi kehidupan masyarakat maupun manusia dengan Tuhannya.
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah mengatakan bahwa cinta itu bisa menyucikan akal, mengenyahkan kekhawatiran, mendorong untuk berpakaian yang rapi, makan yang baik-baik, memelihara akhlak yang mulia, membangkitkan semangat, mengenakan wewangian, memperhatikan pergaulan yang baik, menjaga adab dan kepribadian. Tapi cinta juga merupakan ujian bagi orang-orang yang shalih dan cobaan bagi ahli ibadah.
Sementara itu, Sigmund Freud menyebutkan bahwa pada dasarnya manusia itu mempunyai dua insting, yakni insting cinta dan insting benci. Insting cinta itu baik karena manusia peduli dan mencintai sesamanya demi menjaga keselamatan, kesejahteraan dan kebahagiaan orang lain. Namun insting cinta juga sekaligus membawa insting benci kalau sikap cintanya terhadap orang lain itu disertai dengan keinginan memiliki apa yang dicintainya itu. Dengan keinginan memiliki, maka terjadilah sikap menguasai apa yang dicintai. Sikap menguasai itu bisa dilakukan dengan berbagai cara, termasuk melakukan Rekayasa Cinta (istilah Camelia Malik) atau bahkan penindasan.
Dalam manifestasinya, cinta dapat diungkapkan dengan simbol-simbol tertentu, misalnya bunga, cokelat, warna, boneka, puisi, lagu, dan sebagainya. Meskipun demikian, aplikasi dari mencintai itu tidaklah semudah membalik telapak tangan, atau semudah menulis dan menganalisis dalam blog seperti ini.
Cinta seorang petani, bisa dimanifestasikan dengan tetap menjaga harmoni cinta dengan tanah, air, tanaman dan lingkungan sekitar bahkan lingkungan globalnya. Petani “menyayangi” tanah dengan mengolah sebaik-baiknya, menjaga kesuburannya, serta tidak mengeksploitasinya. Demikian juga cintanya terhadap tanaman, petani merawat dengan sebaik-baiknya sesuai dengan pemahaman ilmu agronomi yang dipahami agar tanaman tetap tumbuh-kembang dengan baik yang kelak akan memberikan banyak harapan (panen).
Petani yang setia “bercinta” dengan lumpur dan terik mentari sepanjang hari di sawah-ladang pun juga karena cintanya terhadap keluarga. Tak ada kebahagiaan selain kebahagiaan memberi atas nama cinta, termasuk kebahagiaan memberi nafkah keluarganya.
Sedangkan dalam konteks kehidupan birokrasi, menggali makna cinta harus lebih dalam, lebih komprehensif dan lebih holistik. Mengutip Cak Nun, “clean government”, adalah manifestasi cinta kemanusiaan, universal, dalam skala nasional, dimana sejumlah orang yang digaji oleh rakyat karena dipercaya untuk menjalankan mekanisme penyejahteraan seluruh rakyat, berkewajiban menciptakan pemerintahan yang bersih. Pemerintahan yang korup adalah pengingkaran atas profesionalisme politik, sekaligus pengkhianatan cinta. Kepala Negara atau Wakil Rakyat diberi “ruang” oleh rakyat dengan tugas agar mereka menciptakan “ruang” bagi rakyat. Jika keduanya hanya berperan merepotkan rakyat, hanya menjadi “perabot”, dimana rakyat yang harus terus menerus menampung perilakunya dan memakhlumi kesalahan-kesalahan, itu adalah bentuk disharmoni cinta.
Nah, bagaimana dengan kehidupan cinta kita, apakah penuh dengan rekayasa dan atau bahkan telah terjadi disharmoni cinta?
Maumere-Flores, 15 Maret 2008
10 Komentar
cinta yang tulus akan melahirkan berjuta kebaikan..
BalasHapuspostingan yang mencerahkan, aku juga lagi belajar memelihara cinta dan membiarkannya terus tumbuh dan tumbuh...
cinta kepada semua
wah ...mas bro penggemar d kempot juga koyoe.podo .
BalasHapusbagus sob tulisane.
ku tunggu dikau ke rumahku.
arek nganjuk
cinta itu penuh misteri. datangnya g di duga2 tiba2 datang sendiri. nice share gan. mampir ya http://pirlyyyy-dot-com.blogspot.com/2012/01/sewa-ruang-kantor-jakarta-murah.html
BalasHapusSalam kenal dan sukses selalu
BalasHapusSalam
Ejawantah's Blog
yang paling enak mencintai dan juga dicintai mas,,, btw suka tentang artikel cinta kamu ini sangat-sangat menginspirasi,,,, salam kenal ya
BalasHapusKalau cinta digali sama tukang cangkul kok jadi keren yaa... hehehe...
BalasHapusBagi saya cinta paling utama adalah pd diri sendiri. Bukan dalam artian egoisme. setelah mencintai diri sendiri kita akan dng mudah mencintai Allah, alam semesta dan kehidupan
BalasHapusya mendefinisikan cinta itu gak mudah.. yang enak adalah jd obyek penerima cinta hehehe..
BalasHapusKeren sob
BalasHapuswww.kiostiket.com
Kata Rhoma Irama, "Hidup tanpa cinta bagai taman tak berbunga."
BalasHapusThanks for your visiting and comments!