PADA hari Sabtu lalu (24/01), ketika saya melakukan perjalanan “napak tilas” menggunakan jasa KRL kelas ekonomi jurusan Bogor–Jakarta, suasana gerbong kereta sepertinya tak banyak berubah seperti jaman baheula ketika saya masih tinggal di Bogor. Sumpek, panas, banyak pengamen, pengemis, pedagang asongan yang mondar-mandir menawarkan beranekaragam barang dagangan, mulai pulsa, boneka, mainan anak-anak, buah-buahan, koran, buku, permen, pembersih telinga, amplop dan sebagainya. Ya, gerbong kereta tak ubahnya pasar berjalan yang menawarkan segala kebutuhan kita sehari-hari. Tak ketinggalan pula, dan ini yang menjadi perhatian saya, penyapu dalam gerbong kereta. Entah mengapa tiba-tiba saja perasaan (sok) sentimentil saya muncul. Kasihan, iba, ketakberdayaan, ingin menangis, sedih dan gundah berkecamuk dalam dada ketika melihatnya.
Dengan bermodal sapu lidi dan kantong plastik bekas pewangi, seorang ibu paruh baya dengan menggendong bayinya (atau bayi pinjaman, wallahualam!) beraksi membersihkan aneka sampah di dalam gerbong kereta, dari ujung ke ujung dalam satu gerbong, berpindah dari satu gerbong ke gerbong lainnya, sembari tangan kirinya menyangga bayinya dan menyodorkan kantong plastik, berharap lemparan recehan sebagai imbalan “jasa kebersihan” dari para penumpang kereta.
Potret buram seperti ini bukanlah hal baru. Beberapa tahun yang lalu sudah ada. Bahkan anak-anak seusia SD pun banyak yang melakukannya. Tidak hanya di kereta jarak pendek seperti KRL, tetapi juga banyak dilakukan di atas kereta api jarak jauh khususnya kelas ekonomi.
Bukan tanpa sebab mereka melakukan itu. Sepertinya faktor ekonomilah yang menjadi penyebab utama mereka “bekerja” di atas kereta. Demikian juga “keterlantaran” mereka dari pihak yang seharusnya “memelihara” mereka sesuai dengan amanat konstitusi, membuat mereka tak berdaya dan tak punya banyak pilihan.
Sementara di luar sana, para calon pemimpin negeri ini masih ribut berebut kursi. Bersaing obral janji dan ramai-ramai memasang gambar wajahnya tanpa punya rasa estetika dan etika ekologi, memaku dan menggantungkan begitu saja gambar-gambar wajahnya di pepohonan, bergelayutan di pohon tak ubahnya yang di Ragunan.
Saya tak tahu sampai kapan ibu itu menyapu. Kereta juga masih terus melaju, dan calon pemimpin kita pun terus merayu. Saya makin membisu, terbayang di kampung sana wajah-wajah Pak Jan, Yu Ton, Yu Nah, Mbok Ti, Guk Din, Guk No, yang tak kalah tegar bergelut di ladang meskipun kulit mulai keriput dan wajahnya sering nyaprut!
5 Komentar
itulah kenapa di bogor saya tumbuh kurus dan di malang saya bisa tumbuh sehat dan lebih "berbobot" :)
BalasHapusaku pernah beberapa kali naik kereta ekonomi dari surabaya ke jombang.. menemui pemandangan serupa.
BalasHapussumpah, rasanya emang pingin nangis karena gak tega.
aku sangat menghargai pekerjaan dia...
mendingan seperti itu, daripada cuman ngemis...
Kasian mereka Kang.... Oh ya, jadi teringat bapak2 tua yg aq temui minggu lalu berjualan balon karet di depan sebuah toko waralaba. Bekerja sekuat tenaga meski usia sudah cukup renta. Terus terang miris juga saat melihatnya...
BalasHapusmereka dibiarkan oleh kepala stasiun neh.
BalasHapustukang sapu yang pegawai pjka mana?
demi mendapat uang halal mereka berjuang dgn keprihatinan..
BalasHapuskunjungi juga pengalaman sy sob :)
http://fe4ther.blogspot.com/2011/10/sedikit-cerita-tentang-pengalaman-yang.html
Thanks for your visiting and comments!