PONARI Putera Petir! Mungkin ini julukan yang cocok bagi bocah kelas 3 asal Desa Balungsari, Kecamatan Megaluh, Kabupaten Jombang yang akhir-akhir ini menghiasi media massa cetak maupun elektronik karena ”kesaktiannya” yang diperoleh setelah petir menyambar. Mirip cerita dalam komik jaman dulu, Gundala Putera Petir yang mendapat “kesaktian” setelah petir menyambar. Dengan “kesaktiannya” itu, Ponari mengobati puluhan ribu pasien, baik dari Jombang maupun luar Jombang. Pengobatannya dilakukan dengan cara mencelupkan batu itu ke dalam air lalu airnya diminum oleh pasien-pasiennya. Mungkinkah kombinasi air dan batu itu mengandung mineral dan kimia tertentu yang berkhasiat menyembuhkan? Masih perlu penelitian dari para ahli tentunya.
Meskipun sampai saat ini (14/02) telah menelan empat korban jiwa akibat antrian panjang dan sebelumnya telah berkali-kali dihentikan sementara, namun pengobatan ala Ponari ini sampai kini masih terus berlangsung dan diminati banyak orang. Ketika pengobatan ini dihentikan dan Ponari dievakuasi pun, kerumunan massa masih antri di sekitar rumahnya. Beberapa media melansir jika pasien semakin tak terkontrol. Bahkan ada yang bertindak lebih nyeleneh lagi dengan meminum air yang tertampung dari tenda yang dipasang di rumah Ponari. Termasuk juga ada yang mempercayai ”kesaktian” air di sumur di sekitar rumah Ponari, padahal di sekitar sumur banyak dibangun kandang ternak yang tentu saja mempengaruhi kualitas air.
Fenomena Mohammad Ponari ini pun akhirnya memicu beragam opini. Para ulama mengkawatirkan terjadinya perilaku syirik dengan mempercayai batu. Sosiolog menghubungkannya dengan sosio-kultur mayoritas masyarakat kita dengan hal-hal yang dianggap diluar normal atau supranatural. Psikolog berpendapat bahwa sugesti memegang peranan penting dalam hal ini. Sedangkan paramedis menyebut fenomena ini tak masuk nalar medis!
Namun demikian, setidaknya dari fenomena Ponari ini kita bisa memetik pelajaran lain, bisa semakin membuka mata hati kita, bahwa masih banyak saudara-saudara kita yang hidup dengan tekanan-tekanan yang bertubi-tubi. Tak hanya tekanan ekonomi tetapi juga tekanan-tekanan politik dan kebudayaan, yang semua tekanan-tekanan itu membuat dan menambah kepusingan-kepusingan hidup.
Dalam masalah pelayanan kesehatan, tak sedikit masyarakat kita yang tak kuasa mengakses pelayanan kesehatan yang berkualitas akibat berbagai hal. Meskipun pemerintah telah memberi berbagai keringanan, bukan berarti masyarakat dengan mudah untuk mendapatkan keringanan itu. Rumah sakit dan balai-balai pengobatan terlalu mewah bagi kebanyakan masyarakat kita. Dokter-dokter pun banyak yang ngecer praktek diberbagai tempat, meskipun masih ada dokter-dokter yang profesianal idealis, ramah dan lebih mengedepankan hati nuraninya (sekitar 2 bulan yang lalu saya menjadi korban penelantaran pelayanan rumah sakit swasta yang katanya cukup elit di kota P, yang dokternya ngecer seperti ini).
Demikian juga, meskipun telah ribuan pusat kesehatan masyarakat dibangun, bukan berarti masyarakat mendapat jaminan pelayanan kesehatan yang memadai. Tentang hal ini, saya jadi teringat penyair Wiji Thukul, penyair yang hilang sejak gonjang-ganjing reformasi lebih dari satu dasawarsa lalu, dengan penggalan bait-bait dari salah satu syairnya, ”Reportase dari Puskesmas”:
...................................................
di ruang tunggu terjejal yang sakit pagi itu
sakit gigi mules mencret demam semua bersatu
jadi satu menunggu
o ya pagi itu seorang tukang kayu
sudah tiga hari tak kerja
kakinya merah bengkak gemetar
”menginjak paku!” katanya, meringis
puskesmas itu demokratis sekali, pikirku
sakit gigi, sakit mata, mencret, kurapan, demam,
tak bisa tidur, semua disuntik dengan obat yang sama
ya semua disuntik dengan obat yang sama
ini namanya sama rata sama rasa
ini namanya setiap warga negara mendapatkan haknya
semua yang sakit diberi obat yang sama!
(Wiji Thukul, 1986, Reportase dari Puskesmas dalam Aku Ingin Jadi Peluru, Indonesia Tera, 2000).
Demikian juga, kita boleh-boleh saja mengkhawatirkan pengobatan ala Ponari ini sebagai sesuatu yang syirik. Tak ada yang salah untuk saling mengingatkan dalam ”menjaga hati” ini. Namun begitu, jangan lantas kita dengan mudah dan gegabah menuduh ini-itu sebagai sesuatu yang syirik dan harus diberangus. Bukankah syirik itu ada pada sikap hati kita? Bukankah akan lebih bijak jika kita mencari penyebab mengapa suadara-saudara kita berduyun-duyun berperilaku seperti ini?
Dan seumpama perilaku seperti ini dikatakan syirik, apakah tidak lebih syirik bagi para pemuja kekuasaan yang seharusnya menciptakan ”ruang” bagi yang dikuasainya. Bukan justru mempersempit atau bahkan menghapus ”ruang” yang dikuasainya sehingga yang dikuasainya itu mencari ”ruang-ruang lain”, termasuk ”ruang” yang tercipta oleh Ponari ini.
Kehidupan ini luas dan penuh banyak kemungkinan-kemungkinan, dan sudah selayaknya diperlukan keluasan, keluwesan, dan keleluasaan pandang untuk menimbang kemungkinan-kemungkinan itu. Dan mungkin saja Ponari dan batunya adalah sedikit dari banyaknya kemungkinan-kemungkinan itu. Wallahualam bishowab!
Fenomena Mohammad Ponari ini pun akhirnya memicu beragam opini. Para ulama mengkawatirkan terjadinya perilaku syirik dengan mempercayai batu. Sosiolog menghubungkannya dengan sosio-kultur mayoritas masyarakat kita dengan hal-hal yang dianggap diluar normal atau supranatural. Psikolog berpendapat bahwa sugesti memegang peranan penting dalam hal ini. Sedangkan paramedis menyebut fenomena ini tak masuk nalar medis!
Namun demikian, setidaknya dari fenomena Ponari ini kita bisa memetik pelajaran lain, bisa semakin membuka mata hati kita, bahwa masih banyak saudara-saudara kita yang hidup dengan tekanan-tekanan yang bertubi-tubi. Tak hanya tekanan ekonomi tetapi juga tekanan-tekanan politik dan kebudayaan, yang semua tekanan-tekanan itu membuat dan menambah kepusingan-kepusingan hidup.
Dalam masalah pelayanan kesehatan, tak sedikit masyarakat kita yang tak kuasa mengakses pelayanan kesehatan yang berkualitas akibat berbagai hal. Meskipun pemerintah telah memberi berbagai keringanan, bukan berarti masyarakat dengan mudah untuk mendapatkan keringanan itu. Rumah sakit dan balai-balai pengobatan terlalu mewah bagi kebanyakan masyarakat kita. Dokter-dokter pun banyak yang ngecer praktek diberbagai tempat, meskipun masih ada dokter-dokter yang profesianal idealis, ramah dan lebih mengedepankan hati nuraninya (sekitar 2 bulan yang lalu saya menjadi korban penelantaran pelayanan rumah sakit swasta yang katanya cukup elit di kota P, yang dokternya ngecer seperti ini).
Demikian juga, meskipun telah ribuan pusat kesehatan masyarakat dibangun, bukan berarti masyarakat mendapat jaminan pelayanan kesehatan yang memadai. Tentang hal ini, saya jadi teringat penyair Wiji Thukul, penyair yang hilang sejak gonjang-ganjing reformasi lebih dari satu dasawarsa lalu, dengan penggalan bait-bait dari salah satu syairnya, ”Reportase dari Puskesmas”:
...................................................
di ruang tunggu terjejal yang sakit pagi itu
sakit gigi mules mencret demam semua bersatu
jadi satu menunggu
o ya pagi itu seorang tukang kayu
sudah tiga hari tak kerja
kakinya merah bengkak gemetar
”menginjak paku!” katanya, meringis
puskesmas itu demokratis sekali, pikirku
sakit gigi, sakit mata, mencret, kurapan, demam,
tak bisa tidur, semua disuntik dengan obat yang sama
ya semua disuntik dengan obat yang sama
ini namanya sama rata sama rasa
ini namanya setiap warga negara mendapatkan haknya
semua yang sakit diberi obat yang sama!
(Wiji Thukul, 1986, Reportase dari Puskesmas dalam Aku Ingin Jadi Peluru, Indonesia Tera, 2000).
Demikian juga, kita boleh-boleh saja mengkhawatirkan pengobatan ala Ponari ini sebagai sesuatu yang syirik. Tak ada yang salah untuk saling mengingatkan dalam ”menjaga hati” ini. Namun begitu, jangan lantas kita dengan mudah dan gegabah menuduh ini-itu sebagai sesuatu yang syirik dan harus diberangus. Bukankah syirik itu ada pada sikap hati kita? Bukankah akan lebih bijak jika kita mencari penyebab mengapa suadara-saudara kita berduyun-duyun berperilaku seperti ini?
Dan seumpama perilaku seperti ini dikatakan syirik, apakah tidak lebih syirik bagi para pemuja kekuasaan yang seharusnya menciptakan ”ruang” bagi yang dikuasainya. Bukan justru mempersempit atau bahkan menghapus ”ruang” yang dikuasainya sehingga yang dikuasainya itu mencari ”ruang-ruang lain”, termasuk ”ruang” yang tercipta oleh Ponari ini.
Kehidupan ini luas dan penuh banyak kemungkinan-kemungkinan, dan sudah selayaknya diperlukan keluasan, keluwesan, dan keleluasaan pandang untuk menimbang kemungkinan-kemungkinan itu. Dan mungkin saja Ponari dan batunya adalah sedikit dari banyaknya kemungkinan-kemungkinan itu. Wallahualam bishowab!
10 Komentar
setuju .... aku kasihan liat wajah-wajah penuh harap agar penyakitnya sembuh
BalasHapusPonari tu arek Njombang, nah ciri arek Njombang adalah cerdas, kreatif, aneh dan cekli coy..he..he...
BalasHapushabis Ryan... sekarang ponari.
BalasHapusselanjutnya... apa ya???
ponari..ponari, koq bisa ya kamu lecehkan para dokter itu dengan sebuah batu saja. Bikin pecas Ndase coy..., praktek dokter jadi sepi. Nek ngene, kapan iso mbalik bondone kuliah rek.
BalasHapusapapun itu, kasian kasian juga si ponari...
BalasHapuskayak dieksploitasi...
batu sih keras...
lha ponari juga manusia...
yang paling tidka manusiawi adalah yang memanfaatkan ponari.
BalasHapusOrang kalo sudah "kepepet" kadang malah berpikir "kreatif".. contohnya ya ini.. juga para pasiennya..
BalasHapusKalo Gundala Putera Petir sih aq pernah dengan Kang??? Tapi kalo Ponari baru kali ini... :D
BalasHapusemang tu pasien2 beneran bisa sembuh yaaa ???
BalasHapustpi denger2 ada 2 bocah lain yang juga ngobatin pake batu lo.. tapi ga setenar Mpok Nori....
Aku juga ikut ikutan minum air Ponari, PONARY SWEAT.
BalasHapusThanks for your visiting and comments!