MASIH ingat Mafia Berkeley? Ini adalah kalimat pertama yang sangat “menggelitik” dalam salah satu topik yang ditulis Revrisond Baswir dalam buku ini. Mafia Berkeley didefinisikan sebagai sekelompok ekonom yang dibina pemerintah Amerika untuk membelokkan arah perekonomian Indonesia ke jalan ekonomi pasar neoliberal. Padahal menurutnya, mempercayakan pemulihan ekonomi kepada para ekonom Berkeley akan sia-sia saja bahkan akan mengundang bahaya. Karena sebenarnya mereka tak mempunyai kesaktian mumpuni kecuali keadaan yang memungkinkan mereka untuk “berprestasi”.
Sewindu sudah bangsa ini diterpa badai krisis dan meskipun telah berganti-ganti presiden, tetap saja terpuruk dalam jurang krisis. Boleh jadi krisis ekonomi yang tak kunjung usai ini akibat ulah mafia-mafia tersebut sejak orde sebelumnya. Satu dekade lalu kita masih menepuk dada ketika tingkat pertumbuhan Indonesia dianggap keajaiban. Namun sekarang, jangankan menepuk dada mengucapkan kata “tidak” terhadap pihak asing pun lidah terasa kelu.
Indonesia, sebuah negeri yang penuh ironi. Mempunyai undang-undang dasar yang “dahsyat” untuk kesejahteraan rakyatnya, tapi justru bingung menerjemahkannya. Negeri yang mempunyai aset luar biasa melimpah, tapi tidak sedikit rakyatnya yang pingsan dan mati terinjak gara-gara berebut dana 300 ribu rupiah. Pun demikian di penjuru nusantara banyak bayi-bayi yang mati kelaparan dan kurang gizi. Sementara banyak pejabat pembuat kebijakan dan pemodal yang dekat kekuasaan terus menggelumbungkan pundi-pundinya, membuat agenda-agenda tersendiri untuk mengeruk keuntungan dengan menggadaikan aset bangsa, dengan dalih privatisasi maupun ketidakmampuan anak bangsa dalam mengelola aset bangsa.
Buku Mafia Berkeley dan Krisis Ekonomi Indonesia yang merupakan kumpulan artikel di berbagai surat kabar yang ditulis Revrisond Baswir ini mencoba mengkritisi keterpurukan bangunan ekonomi bangsa akibat kebijakan yang tidak tepat. Di awal-awal tulisannya, penulis menguraikan tentang kegagalan pembangunan yang diawali dengan pengadopsian konsep-konsep pembangunan, dimana konsep tersebut diterapkan secara mentah-mentah. Orientasi dari konsep tersebut adalah pertumbuhan ekonomi tanpa mewaspadai ancaman rezim modal internasional semacam IMF dan Bank Dunia. Akibatnya Indonesia berada pada posisi yang terdikte. Kondisi ini juga didukung dengan keterlenaan para pembuat dan pemikir kebijakan yang berkiblat pada “madzab” Berkeley yang cenderung meliberalkan perekonomian.
Kerja sama Indonesia-IMF menjadi salah satu catatan menarik dalam buku ini. Salah satu yang patut diperhatikan adalah kebijakan dalam melakukan privatisasi BUMN. Privatisasi sengaja dipaksakan IMF seolah sebagai jalan lurus menuju neoliberalisme dan neokolonialisme. Pelaksanaan privatisasi di Indonesia tampak dilakukan secara manipulatif dan menyederhanakan pengertiannya sehingga berdampak pada peranan negara yang terbatas sebagai penyelenggara perekonomian. Mengaburkan kaitannya dengan agenda-agenda ekonomi neoliberal yang lain dan transformasi besar perekonomian Indonesia menuju sistem ekonomi neoliberal (hal. 151). Tak dapat disangkal, kebijakan ini hanya akan dimanfaatkan oleh pemodal asing serta para konglomerat yang telah berhasil mengamankan kekayaan pribadinya, meskipun perusahaan yang go pubic telah dinyatakan kolaps.
Nah, poin yang dapat dipetik dari buku ini adalah bahwa pemerintah harus segera “putus hubungan” dengan IMF. Kenapa? Karena jeratan IMF telah menurunkan kedaulatan ekonomi, berjalan lamban dengan hasil minimal, menelan biaya sosial-ekonomi yang mahal. Sementara Korea Selatan dan Thailand, tidak sampai dua tahun telah melepaskan diri dari IMF. Bahkan, Malaysia pada awal krisis secara tegas menolak untuk dibantu IMF. Mereka tidak ingin di bawah cengkeraman “tangan” IMF, karena tak ingin kedaulatan ekonominya dikendalikan lembaga internasional tersebut. Mereka tak ingin menggadaikan nasionalisme ekonominya. Namun Indonesia, yang –katanya– punya sistem ekonomi Pancasila, justru terjebak dalam jaring-jaring IMF, dan ternyata gagal memulihkan kondisi perekonomian.
Sampai kini peran IMF dengan filosofi yang dipegangnya tak selalu cocok untuk negara berkembang seperti Indonesia. Kebijakan-kebijakan IMF yang meliberalkan perekonomian dengan membuka pasar barang dan modal seluas-luasnya, sistem kurs bebas, mengetatkan APBN, menjual BUMN, dan membatasi intervensi pemerintah, tidak jarang justru bersifat kontra produktif bagi perbaikan ekonomi. Kita lihat saja sekarang bagaimana penghapusan subsidi listrik dan BBM yang merupakan kebutuhan vital, menyebabkan harga-harga barang lain ikut naik, rakyat pun semakin tercekik.
Tak kurang, peraih Nobel Ekonomi 2001, Stiglitz, dan penulis buku Globalization and Its Discontent, yang juga pernah menjadi Wakil Presiden Bank Dunia memberikan kritik bahwa kebijakan IMF dengan model ekonominya yang diterapkan di negara-negara miskin, dibuat tanpa memperhatikan kesiapan sosial, politik, dan kelembagaan sebuah negara. Deretan kejadian yang kita rasakan sehari-hari, mulai dari maraknya gula impor hingga mahalnya BBM, adalah sebagian hasil kebijakan pasar bebas ala IMF.
Dalam konteks model ekonomi pun Leontief (1972) yang juga pernah memperoleh hadiah Nobel Ekonomi, mengatakan bahwa banyak model ekonomi yang tidak mampu menyajikan pengertian yang sistematik tentang struktur dan operasi dari realitas sistem ekonomi, melainkan hanya berdasar pada seperangkat asumsi yang akhirnya menghasilkan kesimpulan yang precisely stated namun tak relevan. Nah!
Sepertinya hal ini sejalan dengan pemikiran Bung Hatta yang diangkat kembali oleh penulis buku ini bahwa penjelasan teori ekonomi hanya mengandung kebenaran sejauh diterapkan berdasar pada asumsinya. Namun karena asumsi teori ekonomi tidak ditemukan dalam realitas ekonomi, penjelasan teori ekonomi itu harus dilihat sebagai tools dalam memahami realitas ekonomi (hal. 249). Dari sinilah maka diperlukan juga politik ekonomi dan politik perekonomian.
Masih banyak “sentilan-sentilan” Revrisond yang terkandung dalam buku ini. Bagaimana dia memotret masalah pendidikan nasional yang di-“privatisasi” dengan BHMN-nya, pemerintah sepertinya tertekan agar menukar sistem pendidikan nasional dengan pertumbuhan ekonomi. Hak-hak anak-anak negeripun terbengkelai, sebab biaya pendidikan terlalu mahal dan tak terjangkau. Padahal satu dari sedikit harapan kita untuk memperbaiki ekonomi adalah dengan memperbaiki sistem pendidikannya. Juga potret korupsi dimana tingkat perkembangannya sangat luar biasa dan dalam melakukan korupsi para penguasa dan pengusaha cenderung bersaudara (hal 223). Di akhir-akhir buku ini, Revrisond memotret pemikiran Bung Hatta yang salah satunya tentang koperasi dimana cita koperasi jauh panggang dari api dengan realitas penyelenggaraannya saat ini.
Membaca buku ini, secara tak langsung kita juga belajar sejarah pemikiran ekonomi di satu sisi (baca: madzab). Meskipun tak ada pemikiran yang memiliki kebenaran mutlak dalam menjelaskan fenomena ekonomi. Pinjam istilah Krisnamurthi (2003) jika terjadi suatu fenomena ekonomi dalam masyarakat dan fenomena itu “tidak atau belum” tercakup dalam buku teks ekonomi, maka bukan berarti fenomena ekonomi itu yang “salah” tetapi mungkin karena buku teks itu belum lengkap dan kurang ‘up-to-date’ makanya selalu ada buku ekonomi baru dan buku teks ekonomi edisi baru. Namun yang terpenting adalah mampu memberi kesejahteraan yang bermartabat bagi manusia dan kemanusiaan.
Buku ini enak dibaca tanpa mengerutkan dahi, sarat dengan kritikan-kritikan namun tetap elegan, realistis, analitis, juga memberikan banyak resep alternatif penyembuhan sekaligus sebagai jalan lain menuju kedaulatan ekonomi, tanpa harus merengek-rengek pada bangsa lain. Pun demikian, tanpa tedeng aling-aling berani “nembak” orang per orang termasuk para “gang” Berkeley. Anda ingin tahu siapa-siapa saja yang termasuk dalam gang Berkeley? Baca saja karya Revrisond ini!
[Bogor, April 2006]
[Bogor, April 2006]
0 Komentar
Thanks for your visiting and comments!