Gus Dur, sebagai cucu dari Hasyim Asy’ari pendiri pesantren Tebu Ireng dan anak dari Wahid Hasyim Menteri Agama termuda jamannya Soekarno, Gus Dur tumbuh dan dibesarkan oleh kultur pesantren yang unik dan kompleks. Mengenyam pendidikan tinggi di Universitas Al Azhar, Kairo dan di Irak menjadikan menguasai bahasa Ibu, Arab, Inggris, Jerman dan Perancis, serta menunjukkan keluasan wawasan, tingkat keilmuan maupun pergaulannya. Kelahiran Denanyar, 4 Agustus 1940 ini dikenal humoris, humanis dan pluralis.
Sementara Cak Nur, putra pertama dari Abdul Madjid, pemilik dan guru Madrasah Al Wathaniyah, ini lahir di Desa Mojoanyar, Kecamatan Bareng, Jombang bagian selatan pada tanggal 17 Maret 1939. Alumni pesantren Gontor, Ponorogo, dan rampung dari Fakultas Adab atau Sastra dan Budaya IAIN Jakarta, kemudian melanjutkan studi di Universitas Chicago selama 6 tahun, lulus cum laude dengan disertasi Ibn Taymiyya on Kalam and Falsafa. Sebelum ke Gontor pernah menghabiskan waktunya di pesantren Darul ‘Ulum Jombang, sebuah pesantren yang sangat kental dengan nilai-nilai ke-NU-annya yang berada sekitar 5 km di timur kota Jombang.
Seringkali masyarakat kita menyebut Cak Nur dan Gus Dur sebagai tokoh yang kontroversial. Namun, dua pendekar Jombang ini seringkali tak ambil pusing dengan penyebutan dan “identifikasi” yang dilakukan oleh (sebagian) masyarakat. Lebih dari itu, sumbangsih terhadap peradaban bangsa ini adalah kemampuan mereka menjembatani pemahaman ilmu pengetahuan “Barat” dengan ilmu pengetahuan “Timur” di ladang kebudayaan, ladang politik, maupun ladang pemikiran keislaman. Mereka, masing-masing berdiskusi serius mengenai berbagai masalah agama, sosial dan politik dengan berbagai kalangan lintas agama, suku dan budaya. Juga, keduanya adalah penulis produktif yang sangat hingga akhir hayatnya dan menerbitkan buku-buku.
Meskipun untuk kalangan ulama Islam yang “tradisional” telaah dan pendapat ketiganya sering disalah-tanggapi, bahkan dicap kontroversial alias nyleneh. Wacana memang bisa dan biasa mengundang pro kontra. Buat ketiganya tentulah semuanya, segalanya, diawali niat baik. Ijtihad penting untuk membuka lebih luas wawasan keagamaan dan keberagamaan umat Islam di Indonesia dari kejumudan. Nabi Muhammad SAW menyatakan umat kita bakal terbagi dalam belasan kelompok, dan semua itu sebenarnya sudah dilandasi semangat “perbedaan adalah rahmat.”
Telaah Cak Nur tentang sekularisasi dan pluralisme beroleh reaksi keras terutama dari kalangan masyarakat Islam yang menganut paham tekstualis literalis pada sumber ajaran Islam. Demikian pula ketika Cak Nur menyatakan “Islam Yes, Partai Islam No?”, sementara waktu itu sebagian masyarakat Islam sedang gandrung untuk berjuang mendirikan kembali partai-partai yang berlabelkan (sok) Islam.
Ingat mencuatnya perdebatan saat Gus Dur melontarkan wacana “Assalamu’alaikum boleh diganti dengan Selamat pagi?” tentulah memiliki latar belakang pemahaman yang mumpuni. Demikian pun, ketika Gus Dur menolak masuk dalam organisasi ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia). Tidak hanya menolak bahkan menuduh organisasi kaum ‘elit Islam’ tersebut sama dengan organisasi sektarian.
Buku yang enak dibaca, khususnya buat pembaca (Jombang) yang ingin lebih mengenal dua pendekarnya yang telah malang melintang menghentakkan dunia “kependekaran” ini!
3 Komentar
pendekar = pendek irunge mekar...wkwkwk
BalasHapusSaya pingin baca pak.. tapi lum punya bukunya :)
BalasHapusmereka yg membaca pemikiran beliau kadangkala tdk se maqom jadinya memandang beliau dari sudut yg negatif atau sempit :-)
BalasHapus(sekedar ninggalin jejak via koment)
Thanks for your visiting and comments!