Sayangnya, harga yang fantastik ini tak diimbangi dengan tingkat produktivitas. Tahun ini, tingkat produktivitas cengkeh di Wonosalam hanya sekitar 5 % dari kapasitas produksi yang sebenarnya bisa dicapai. Ini disebabkan karena "inflasi" hujan sepanjang tahun 2010 lalu yang berpengaruh pada siklus bunga tanaman cengkeh. Tak hanya tanaman cengkeh saja yang terkena imbasnya, komoditas penting lainnya di Wonosalam seperti Kakao, Kopi dan Durian juga ikutan "mogok" berbunga, kalaupun berbunga tak sampai menjadi buah.
Pada bulan Juni seperti ini, biasanya panen raya sudah dimulai. Bahkan sejak bulan April petani melakukan persiapan dengan membeli tangga-tangga dari bambu sebagai sarana pemetikan. Tak ketinggalan, para tengkulak dan juragan-juragan cengkeh mulai "gentayangan" menebar rupiah kepada para petani. Biasanya mereka menebas atau membeli secara borongan bunga-bunga cengkeh yang masih di pohon atau terkadang memberi uang pinjaman untuk kemudian minta dibayar dengan cengkeh dengan harga pasar berlaku.
Sebenarnya, melonjaknya harga cengkeh pernah juga terjadi pada tahun 2001 dan 2002 lalu. Tidak hanya harganya yang tinggi ketika itu, tingkat produktivitas juga sangat tinggi. Setelah petani dicengkeram oleh "neo kolonial" BPPC (Badan Penyanggah Pembelian Cengkeh) sejak awal 1990-an, harga cengkeh memang sangat turun drastis, bahkan ketika itu biaya petik dan ongkos produksi lainnya sulit tertutupi oleh harga yang rendah itu.
Namun, sejak huru-hara dan hura-hura politik dan ketika BPPC dibubarkan tahun 1998, harga cengkeh mulai membaik. Petani di Wonosalam pun semakin bergairah untuk "menyehatkan" kembali tanamannya agar berbunga lebih lebat. Itu terjadi antara tahun 1998-2002. Hasilnya memang luar biasa, ketika tahun 2001-2002 harga per kilogram menembus angka Rp. 100.000,- sampai Rp. 110.000,- tingkat produktivitas tanaman mencapai angka lebih dari 80 %.
Bahkan di tahun itu, akibat harga cengkeh yang melambung, tingkat konsumsi warga meningkat drastis terutama untuk barang-barang otomotif dan elektronik. Pantauan penulis ketika itu, pembelian kendaraan bermotor yang dilakukan oleh warga Wonosalam secara tunai untuk satu tipe, satu jenis dan satu merek produk motor dalam beberapa bulan itu mencapai sekitar 250 unit. Ini belum kendaraan untuk tipe, jenis dan merek lain.
Namun demikian, disamping tingkat konsumsi yang meningkat, tingkat kriminal juga meningkat. Penjarahan cengkeh terjadi dimana-mana, terutama dilakukan oleh orang-orang dari luar Wonosalam. Sampai ada penjarah dari luar daerah yang "menyerbu" secara massal membawa truk. Tentu saja warga ketika itu tak tinggal diam. Di salah satu desa sempat terjadi perlawanan oleh warga dengan membakar truk para penjarah. Mereka tak terima kalau pohon-pohon cengkeh mereka dijarah secara membabi buta. Bagi masyarakat, pohon cengkeh yang rata-rata usianya lebih dari 30 tahun adalah nadi kehidupan mereka. Itu makanya mereka mempertahankannya dari para penjarah yang kebanyakan menjarah dengan memotong ranting dan pohonnya. Padahal, untuk menanam pohon cengkeh hingga siap petik memerlukan waktu bertahun-tahun.
Tak hanya itu, dengan harga yang tinggi itu, merekapun mampu "menyewa" polisi dan secara swadaya membentuk pasukan keamanan cengkeh (PASKENCENG). Dana diambilkan dari para petani yang dipungut beberapa persen dari hasil penjualan. Efeknya memang langsung terasa, intensitas penjarahan dan tindakan kriminal lainnya bisa ditekan, meskipun begitu kegiatan ini juga memakan tumbal, seorang anggota polisi hilang yang sampai sekarang belum ditemukan!
3 Komentar
Semoga lebih sejahtera bagi para petani cengkeh
BalasHapusSAMA DI KOLAKA ,,HARGA SEKARANG NEMBUS 132.000 PERKILO....
BalasHapussmoga sama sama dapatnya, baik itu tungkalak maupun petaninya, sehingga dpt mengangkat perekonomian didaerah tersebut
BalasHapusThanks for your visiting and comments!