Tak hanya umat Kristen (Protestan) yang menyaksikan acara ini, banyak warga non-kristiani juga menyaksikan acara ini. Bahkan, sejak seminggu sebelum acara ini digelar, juga diadakan pameran atau bazar di lapangan sebelah bangunan gereja, yang pesertanya dari masyarakat umum, bahkan didomiasi dari para pelaku UMKM muslim yang ada di Jombang. Tentu ini sebuah “dialog ekonomi” dan “dialog sosial” yang baik di antara pemeluk agama yang berbeda.
Perayaan unduh-unduh sendiri dimulai sekitar pukul 05.30 pagi hari. Diawali dengan karnaval atau pawai kendaraan hias yang datang dari berbagai desa atau blok yang ada di Mojowarno, seperti desa atau blok Mojodukuh, Mojowangi, Mojoroto, Mojojejer, Mojowarno, dan dari Rumah Sakit Kristen Mojowarno, menuju GKJW. Uniknya, kendaraan hias yang dibuat pawai dihiasi dengan berbagai hasil bumi dan ternak, seperti untaian padi, buah-buahan, umbi-umbian, sayur-sayuran dan hasil rojo koyo (ternak), seperti domba dan ayam. Di samping itu, ada juga yang membuat replika atau patung onta yang dinaiki orang yang sebagian besar terbuat dari untaian padi. Selain hiasan hasil bumi dan ternak, juga diikutkan pula berbagai hasil kerajinan dan lukisan.
Kendaraan hias tersebut dalam perjalanan menuju gereja diarak oleh jemaat masing-masing blok, mulai dari anak-anak, tua-muda, laki-laki-perempuan, berbaur berjalan beriringan mengikuti iring-iringan kendaraan hias. Ada juga yang mengiringi dengan membawa peralatan musik yang diangkut truk yang telah dimodifikasi menjadi seperti panggung berjalan yang di atasnya ditaruh berbagai macam peralatan musik beserta sound system-nya. Di atas “panggung” itulah mereka nge-band, bernyanyi dan menari sambil mengikuti iring-iringan kendaraan hias. Selain pawai kendaraan hias, unduh-unduh kali ini juga dimeriahkan dengan atraksi drumband, barongsai, dan tak ketinggalan kudalumping dengan berbagai aksi debus-nya.
Setelah semua berkumpul di halaman gereja, dilakukan peribadatan di gereja utama yang dihadiri jemaat yang tak hanya datang dari Mojowarno atau Jombang saja, tetapi ada juga yang datang dari kota-kota lain seperti Jogjakarta, Solo, Salatiga, Semarang, Pati, Probolinggo, Malang, Surabaya bahkan ada yang datang dari Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Seperti Pak Tukijan, salah satu jemaat dari Jogjakarta yang datang bersama rombongannya sebanyak 50 orang dalam satu bus yang tiba di Mojowarno dini hari sebelumnya. Ia datang ke Mojowarno tidak hanya tahun ini saja, tetapi tahun-tahun sebelumnya juga datang karena keunikan acara unduh-unduh yang tahun ini telah beusia berusia 130 tahun atau dimulai sejak tahun 1881 seiring dengan berdirinya gereja. Mereka, para jemaat luar kota ini umumnya tak hanya mengikuti prosesi peribadatan, tetapi juga mengikuti proses pelelangan produk-produk yang dijadikan hiasan dalam perayaan unduh-unduh. Pelelangan sendiri dilakukan setelah pelaksanaan peribadatan di dalam gereja. Pelaksanaannya tidak dilakukan di halaman atau di area gereja, tetapi dilakukan di panggung yang berada di lapangan di luar (samping) gereja yang juga menjadi area pameran atau bazar sejak seminggu sebelumnya.
Selain jemaat dari berbagai daerah, tampak juga beberapa bule yang berseliweran, yang entah mengikuti prosesi peribadatannya atau hanya jalan-jalan menikmati keunikan arak-arakan dalam perayaan unduh-unduh ini. Perayaan unduh-unduh memang telah menjadi agenda pariwisata di Jombang, jadi sangat dimungkinkan jika dihadiri wisatawan dari luar daerah maupun mancanegara. Acara ini pun diliput berbagai media elektronik dan cetak. Ada banyak kamera yang menyorot dari berbagai stasiun televisi nasional dan lokal. Juga jurnalis berbagai media cetak nasional dan lokal, tak terkecuali ada pewarta dengan berkaos biru tua dengan tulisan “KOMPAS” di dada, yang mondar-mandir dan sesekali menyorotkan handycam-nya dan mencatat di booknote -nya.
Yang tampak lain daripada yang lain dan luar biasanya acara ini adalah ketika memasuki halaman atau areal gereja, tak ada pemeriksaan terhadap peserta maupun penonton umum. Ini sungguh luar biasa, ditengah banyaknya kecurigaan ancaman keamanan yang melanda Indonesia akhir-akhir ini, terutama yang dikait-kaitkan dengan berbagai urusan agama, di sini malah tak ada pemeriksaan. Bahkan personel keamanan (polisi) yang bertugas, lebih pada pengaturan lalulintas kendaraan umum dan ketertiban jalannya arak-arakan.
Ya, inilah unduh-unduh di Mojowarno Jombang, tradisi Kristen yang tetap bertahan hingga sekarang, tetap semarak, tetap aman, meskipun berada di Kota Santri, Kota 1001 Pesantren!
2 Komentar
Belajar pluralisme bisa dimulai dari sini. Rukun iku luwih apik tinimbang gak rukun :)
BalasHapusWah aku kemarin hadir juga loh pakde hehehe. Btw aku keganggu sama rombongan patrolnya. Ramai sih tp arak2nya jadi kalah pamor gitu.
BalasHapusThanks for your visiting and comments!