Seperti buku di samping ini, buku Bahasa Indonesia Bacaan Jilid 3a. Seingat saya, buku seperti ini ada dua jenis, selain ada jenis bacaan ada juga --dengan jilid yang sama-- khusus membahas struktur atau tata bahasa. Buku ini mengingatkan jejak saya ketika kelas 3 SD. Setiap memulai pelajaran Bahasa Indonesia, guru saya selalu meminta membaca cerita di dalam buku ini kepada siswa secara bergiliran di depan kelas. Satu siswa membaca di depan kelas dengan suara keras, sementara siswa yang lain menyimaknya. Biasanya guru saya akan mengoreksi bila ada bacaan yang tak tepat (terutama intonasi ketika "berhadapan" dengan tanda koma, titik, tanda seru, tanda tanya, dan sebagainya). Dari bacaan ini kemudian "berpindah" ke buku jenis struktur. Di buku struktur itu, siswa dijelaskan "tata bahasa" yang bersumber dari bacaan sebelumnya. Itu yang sedikit saya ingat dari buku ini.
Demikian juga dengan perpustakaan sekolah, meskipun koleksi di sekolah dasar dulu tak terlalu banyak, dan dengan ruang baca yang tak terlalu luas, tetapi sedikit banyak buku-buku yang tersedia itu bisa menjadi pelepas dahaga membaca kami yang memang jauh dari “peradaban” kota. Buku yang saya baca pertama kali –saya lupa judulnya—adalah buku cerita bergambar, lebih tepatnya buku gambar bercerita, karena banyak gambarnya dari pada deretan kata-katanya, yang menceritakan dua ekor anak ayam yang berebut cacing di atas jembatan kayu. Karena saling tarik-menarik dan tak ada yang mau mengalah, akhirnya dua ekor anak ayam itupun terjatuh dari jembatan dan masuk air akibat tarik-menarik dan cacing yang ditarik untuk diperebutkan itu putus. Pesan terakhir dari buku itu adalah, jangan serakah dan jangan suka bertengkar. Kalau tak salah, ketika itu saya baru naik ke kelas 2 SD pada pertengahan tahun 1985.
Buku-buku semacam itulah setidaknya yang menjadi “pengantar” saya untuk sedikit suka membaca buku-buku hingga saat ini. Bagi saya buku mempunyai kekuatan tersendiri, meskipun secara langsung sulit digambarkan dan diceritakan seperti apa kekuatan buku itu. Setidaknya buku bagi saya menjadi semacam terapi rasa minder dalam kehidupan saya terutama di masa-masa anak-anak dan masa-masa peralihan. Selain itu, buku yang saya beli dan baca, punya rekam jejak tersendiri, bukan hanya isi atau kontennya yang saya ingat, tetapi banyak “peristiwa-peristawa” atau “kondisi-kondisi” lain yang melingkupinya. Setiap membeli dan/atau membaca buku, saya selalu teringat perasaan bathin saya ketika membeli dan/atau membaca buku, kejadian apa ketika saya membaca buku, dan bahkan dimana saya membeli buku itu, termasuk harganya, selalu saya ingat. Namun, hampir semua buku yang saya baca dan beli adalah buku-buku ringan dan sederhana kontennya, jarang saya membaca buku-buku “berat”. Kenapa? Setidaknya menyesuaikan dengan kemampuan daya beli dan daya cerna yang pas-pasan ini.
Sampai saat ini, setidaknya ada 2 penulis yang karya-karya bukunya sangat enjoy ketika saya membacanya, buku-buku yang ditulis dengan bahasa yang sederhana. Pertama, Emha Ainun Nadjib. Karya-karya Cak Nun (panggilan Emha Ainun Nadjin) yang sudah dibukukan mencapai puluhan buku. Kebanyakan buku-bukunya merupakan kompilasi dari artikel-artikel, esai-esai, puisi ataupun cerpennya yang telah lebih dulu beredar di surat kabar. Saya menyukai tulisannya karena bahasanya lugas dan mudah saya cerna. Novelnya Gugat Kiai Sudrun adalah salah satu novel yang saya baca “sekali duduk”, dengan kata lain saya membaca tanpa jeda (kecuali ngemil dan minum) sampai tuntas. Hanya ada beberapa novel yang saya membacanya “sekali duduk”. Selain Novelnya Cak Nun ini, ada novel Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis, novel Di Bawah Lindungan Ka’bah karya Buya Hamka, juga novel Ayat-Ayat Cinta-nya Habiburahman yang diterbitkan sekitar akhir 2003 lalu. Khusus novel Ayat-Ayat Cinta ini, karena saya tak bisa membaca cepat, saya membacanya sekitar 7 jam dari jam 21.00 sampai janm 4.00 menjelang subuh. Sementara untuk novel-novel semacam karya Umar Kayam, Iwan Simatupang, Ahmad Tohari, Remy Silado, Y.B. Mangunwijaya, Wisran Hadi, dan sebagainya, saya membacanya secara “estafet”, terkadang memakan waktu berminggu-minggu.
Karya tulis Cak Nun lain yang telah saya baca dan koleksi adalah yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas beberapa tahun terkahir, yaitu yang berjudul Kiai Bejo, Kiai Untung, Kiai Hoki, Demokrasi La Roiba Fih, dan Jejak Tinju Pak Kiai.
Saya menyukai tulisan-tulisan Cak Nun ini karena spontanitas, kebijakan dan kelembutannya dalam mengupas suatu permasalahan. Selain itu bahasanya yang sederhana, lugas, apa adanya, egaliter, bahkan terkadang “menohok” dan “memprovokasi” otak dan hati, juga yang lebih menarik, saya belum pernah menemukan tulisan Cak Nun dengan memakai bahasa orang lain (kutipan apalagi tinjauan pustaka).
Koleksi karya-karya Cak Nun yang lain diantaranya berjudul: Folklore Madura, Istriku Seribu, Kerajaan Indonesia, Tidak Jibril Tidak Pensiun, Pelajaran Dari Desa, Dari Pojok Sejarah: Renungan Perjalanan Emha Ainun Nadjib, Kagum Pada Orang Indonesia, Mati Ketawa Cara Refotnasi, Cahaya Maha Cahaya, Demokrasi Tolol Versi Saridin, Markesot Bertutur, Bola-Bola Kultural, dan Indonesia Bagian Dari Desa Saya.
Kemudian penulis yang kedua adalah Abdurahman Wahid. Terlepas dari segala kontroversinya, bagi saya karya-karya Gus Dur mudah dicerna dan enjoy ketika membacanya dan saya lebih memahami kepribadian Gus Dur dari karya-karya ini. Sebagian besar buku-buku Gus Dur juga merupakan kumpulan tulisannya di berbagai media masa. Buku terakhir yang sempat saya "jamah" adalah Islamku, Islam Anda, Islam Kita. Buku yang terbit tahun 2006 ini juga merupakan kumpulan tulisan di berbagai media massa. Bahasannya cukup luas dan spontanitas dalam menanggapi permasalahan yang muncul. Tanpa pandang bulu, agama, keyakinan, etnis, warna kulit, posisi sosial apapun Gus Dur seolah memeberikan "pembelaan" pada orang-orang yang dianggapnya menjadi korban. Dari mulai penyanyi bergoyang ngebor, Abu Bakar Ba'asyir, hingga masalah-masalah sosil kemasyarakatan lainnya. Buku ini juga membahas masalah pluralitas dalam melihat Islam dan kehidupan, dengan bersandar pada etika dan spiritualitas, termasuk untuk mengelola dunia yang terus bergerak ke arah tanpa batas.
Lebih dari itu, yang sangat saya suka adalah semangat dan produktivitas menulisnya. Meskipun ada halangan secara fisik, Gus Dur tetap menuangkan pemikiran-pemikiran dalam bentuk tulisan pendek atau esai yang dimuat di berbagai media massa. Bahkan ketika sakit dan tergelatak di pembaringan pun Gus Dur masih sempat menulis dengan mendiktekan kepada asistennya.
Selain buku dari dua penulis yang telah saya sebutkan di atas, ada beberapa judul buku yang masih saya ingat, tentu saja dengan rekam jejak atau pengalaman-pegalaman bathin bereda yang mengitari ketika membacanya. Buku-buku tersebut di antaranya:
[1] Hujan Bulan Juni. Buku kumpulan puisi karya Sapardi Djoko Damono terbitan PT. Gramedia Widiasarana Indonesia tahun 1994 saya beli pada bulan Maret 1998 seharga Rp 7.000. Saya membeli di toko buku Gramedia Jl. Basuki Rahmat Surabaya, yang kata orang-orang, ini merupakan toko buku Gramedia pertama di Surabaya. Sejak tahun 1998-an saya memang terbiasa “nongkrong” di sini, ketika itu bentuk bangunannya seperti rumah biasa yang tempatnya nyelempit, terselip di antara belantara gedung-gedung tinggi Kota Surabaya. Saya memilih toko ini karena di toko ini juga menyediakan rak khusus untuk buku-buku “cuci gudang” yang dijual dengan harga miring. Saat ini toko ini telah berubah 180 derajat, menjadi Gramedia Expo, yang tak sekadar toko buku, tetapi juga menjadi bangunan serbaguna.
Saya mengoleksi buku ini karena ada dua puisi yang bagi saya yang sangat berkesan, yaitu puisi yang berjudul Hujan, Jalak, dan Daun Jambu:
Hujan turun semalaman.
Paginya jalak berkicau dan daun jambu;
mereka tak mengenal gurindam dan peribahasa,
tapi menghayati adat kita yang purba,
tahu kapan harus berbuat sesuatu
agar kita, manusia, merasa bahagia.
Mereka tidak pernah bisa menguraikan
hakikat kata-kata mutiara,
tapi tahu kapan harus berbuat sesuatu,
agar kita merasa tidak sepenuhnya sia-sia.
Berikutnya, puisi Sapardi yang sangat berkesan dan juga sering dibaca kawan-kawan saya ketika mengalami “kemabukan” adalah yang berjudul Aku Ingin:
aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
Selain buku puisi ini, buku puisi yang sangat saya sukai adalah buku karya Wiji Thukul, penyair yang sampai sekarang hilang entah kemana sejak orde baru lalu dengan judul [2] Aku Ingin Jadi Peluru. Dalam buku ini, ada satu puisinya yang sangat berkesan dan memberi spirit tersendiri yang berjudul Peringatan:
jika rakyat harus pergi
ketika penguasa pidato
kita harus hati-hati
barangkali mereka putus asa
kalau rakyat sembunyi
dan berbisik-bisik
ketika membicarakan masalahnya sendiri
penguasa harus waspada dan belajar mendengar
bila rakyat tidak berani mengeluh
itu artinya sudah gawat
dan bila omongan penguasa
tidak boleh dibantah
kebenaran pasti terancam
apabila usul ditolak tanpa ditimbang
suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
dituduh subversive dan mengganggu keamanan
maka hanya ada satu kata: lawan!
“Hanya ada satu kata, lawan!” yang saya yakin kalimat ini lebih kita kenal dari pada sang penyairnya sendiri. Kalimat ini semacam “kalimat api” yang menjadi simbol perlawanan orang-orang kecil yang tertindas. Buku terbitan tahun 2000 dan saya beli tahun 2000 juga, isinya hampir semuanya berupa puisi “kerakyatan” dengan bahasa yang lugas, apa adanya dengan pemaknaan yang tanpa bercabang atau beranak-pinak. Buku dengan kata pengantar almarhum Munir dengan ketebalan 176 ini, seolah mengetengahkan kehidupan sang penyair. Ia adalah penyair yang gigih dalam memperjuangkan hidup dan gagasan-gagasannya yang diyakininya. Ia juga dengan tepat menggambarkan keterwakilan kelas soisalanya. Pilihannya untuk bergabung dengan kalangan kecil seperti petani, kaum buruh dan masyarakat miskin lainnya semakin meneguhkan keyakinannya bahwa keadaan miskin bukanlah semata-mata karena takdir Tuhan, tetapi karena keserakahan kekuasaan politik dan modal yang melahap habis semuanya.
[3] Pers Indonesia: Berkomunikasi dalam Masyarakat Tidak Tulus. Buku setebal 490 halaman terbitan Penerbit Buku Kompas pada Oktober 2001 karya Jakob Oetama, dengan editor Sularto dan pengantar pengantar Ignas Kleden ini, merupakan salah satu buku yang diterbitkan untuk menyambut hari ulang tahun ke-70 Jakob Oetama. Saya mendapatkan buku ini gratis pada acara buka puasa bersama dan jumpa penulis Kompas Jawa Barat pada bulan Oktober 2006.
Bagi saya isi buku ini sangat spesial. Sedikit banyak saya menggali dunia persuratkabaran yang masalahnya ternyata tak hanya terkait dengan surat kabar itu sendiri, tetapi juga masalah-masalah di luar surat kabar. Masyarakat dengan ragam budaya, agama, sosila-ekonomi perlu diperhatiakan dalam membangun pers yang sehat. Selain itu, persuratkabaran dalam suatu negara akan selalu dipengaruhi oleh pikiran dasar dan orientasi pokok yang sedang berlaku dalam masyarakatnya. Pers tidak hanya melaporkan pembangunan, namun yang lebih penting juga mampu memberikan sumbangsih berapa pendapat dan sumbangan pemikirannya lainnya tentang model pembangunan.
[4] Sayap-Sayap Patah. Salah satu karya Kahlil Gibran ini pernah menjadi buku favorit saya antara tahun-tahun 1998-2000. Entah mengapa saya menyukai karyanya ini. Saya telah membaca karya-karyanya kalau tak salah lebih dari 20-an buku. Namun begitu, saya hanya memiliki dua judul saja. Sebagian besar pinjam (dipinjami) teman yang juga suka membaca karya Kahlil Gibran. Bersama buku The Prophet, buku Sayap-Sayap Patah ini merupakan salah satu karya Kahlil Gibran yang sangat fenomenal. Dalam buku ini mengisahkan cinta yang dikekang oleh aturan masyarakat yang tamak dan kejam. Dengan bahasa yang khas dan penuh metafora-metafora yang melangit.
Karena karya Kahlil Gibran ini, saya mempunyai pengalaman yang mungkin unik dan lucu. Dulu ada seorang kawan yang sedang kasmaran menulis surat cinta yang kemudian disodorkan ke saya untuk saya edit sebelum dikirimkan ke gadis yang diincarnya, kebetulan gadis yang diincarnya adalah kawan SMP saya dan saat itu satu fakultas dengan saya. Dengan agak terheran-heran, saya pun terpaksa menerima naskahnya itu untuk saya “bongkar”. Selidik punya selidik, kata-kata dan bahasanya hampir 80 % adalah kata-kata Kahlil Gibran. Saya pun meng-“interograsi”-nya, benarkah kalimat dalam surat-suratnya itu kalimatnya sendiri? Tanpa panjang lebar saya “interograsi”, dia membenarkan apa yang saya tanyakan. Akhirnya dia pun mengakui bahwa itu kalimat dalam buku-buku Kahlil Gibran dan dia bahkan menunjukkan kalai dirinya juga mengoleksi puluhan buku-buku karya Kahlil Gibran. Koleksinya mencapai sekitar 30-an buku, ada yang terbitan lama dan baru, bahkan ada yang judulnya yang sama namun dengan edisi dan penerbit yang berbeda. Surat hasil editan saya itupun akhirnya dipercayakan ke saya untuk disampaikan ke gadis yang juga kawan saya itu. Hasilnya, saya tak tahu. Kemudian kawan saya yang lagi kasamaran itupun membuat surat lagi yang kedua, dan lagi-lagi saya dipercaya menjadi “editor”-nya sekaligus “tukang pos”-nya. Hasilnya yang kedua ini diberitahukan ke saya. Hasilnya, DITOLAK ! :)
[5] Jejak Pangan; Sejarah, Silang Budaya, dan Masa Depan. Buku karya Andreas Maryoto, seorang wartawan Kompas dengan latar pendidikan Fakultas Teknologi Pertanian ini terasa mencerahkan dengan jejak lapang dan teori yang diramu dengan bahasa jurnalistik yang enak dibaca. Memang tulisan dalam buku ini telah dimuat di harian Kompas sehingga nuansa spontanistasnya sangat terasa. Namun begitu, tak mengurangi rasa “kekiniannya” dan “kedalaman” pembahasannya, karena masalah-masalah yang dikemukakan hingga kini masih menjadi problem besar bangsa agraris ini. Membaca buku ini bagi saya juga seolah mendapat amunisi barus. Betapa tidak, topik yang dibahas ini tak jauh dari kehidupan saya, lingkungan petani dan pertanian dengan segala pernak-perniknya.
Buku terbitan Penerbit Buku Kompas tahun 2009 ini tak hanya membahasa masalah pangan itu sendiri, tetapi juga menyangkut sejarah dan budaya yang melingkupi permasalahan pangan manusia. Seperti diungkapkan penulis, bahwa perjalanan evolusi manusia dari Australopithecus sp menjadi manusia modern atau Homo sapiens, meninggalkan jejak perubahan pada cara-cara mereka mencari dan mengolah pangan. Perubahan revolusioner adalah saat manusia menemukan api sehingga sumber pangan yang keras seperti biji-bijian bisa dikonsumsi.
Buku ini saya dapatkan di Toko Buku Gramedia di Kota Maumere (mungkin ini Gramedia satu-satunya di Pulau Flores), Flores, NTT ketika saya “semedi” di sana beberapa bulan sekitar bulan Juli 2010 lalu. Ini setelah saya mendpat kiriman honor menulis dari salah satu koran di Jawa Timur. Kebiasaan saya ketika tulisan dimuat dikoran dan jika mendapat kiriman honor, maka honor itu selain untuk menraktir ala kadarnya teman-teman, juga untuk membeli buku. Dulu di kampung, selain saya belikan buku, juga saya belikan majalah anak-anak yang bekas (tertinggal 2-3 edisi, biar dapat banyak) kemudian saya bagikan ke anak-anak di kampung.
Buku ini juga mengilhami saya untuk mecari literatur tentang pangan yang termuat dalam serat centhini. Ya, saya memang belum pernah mendapatkan dan membaca "kitab klasik" ini. Dengar-dengar dari orang-orang tua, serat centhini lebih banyak mengeksplore masalah seksualitas. Namun, kata Andreas Maryoto dalam buku ini, ternyata serat centhini juga membahas masalah kuliner dan pangan lokal orang-orang (Jawa) terdahulu, meskipun proporsinya masih kalah dengan masalah seksualitas.
Terkait buku semacam ini ada juga buku karya JA. Noertjahyo, dengan bukunya yang berjudul [6] Dari Ladang Sampai Kabinet: Menggugat Nasib Petani. Buku yang juga diterbitkan Penerbit Buku Kompas tahun 2006 ini lebih kaya akan data-data statistik ekonomi dan pertanian di banding dengan buku Andreas Marwoto. Namun begitu, cara penyampian sama-sama mengalir khas bahasa jurnalistik, karena buku ini juga merupakan kumpulan tulisan-tulisan jurnalistiknya.
Selain isinya yang memang dekat dengan dunia saya (sosial ekonomi pertanian), saya juga sangat tertarik dengan sampul dari buku ini, sampai-sampai saya jadikan foto profil di "blog rame-rame" ini :). Buku ini pun saya peroleh dengan harga yang sangat murah, hanya Rp 10.000,- dari harga umumnya sekitar Rp. 45.000,-. Bukan buku bajakan atau fotokpi, tetapi karena saya membelinya pada tahun 2007 lalu saat pameran di Gedung Kompas Surabaya (Kompas Edisi Jawa Timur). Rata-rata buku yang dijual antara Rp. 10.000,- sampai Rp. 15.000,-, bahkan buku A Development Manifesto-nya Mubyarto pun di jual dengan harga Rp. 5.000,-!
Dari dua penulis buku inilah saya terinspirasi untuk menulis juga tentang dunia saya ini, meskipun dengan kajian yang sangat sederhana dan bahasa yang masih "belepotan". Sebenarnya ada juga penulis lain dengan tema seperti ini, yang tulisannya juga enak dibaca, yaitu FX. Rahardi dengan bukunya Petani Berdasi. Saya sempat membacanya di perpustakaan dan belum sempat mengoleksinya sendir.
[7] Superfreakonomics: Pendinginan Global, Pelacur Patriotik dan Mengapa Pengebom Bunuh Diri Harus Beli Asuransi Jiwa. Buku terjemahan dari judul yang sama setebal 288 halaman karya Steven D. Levitt dan Stephen J. Dubner terbitan Gramedia Pustaka Utama tahun 2010 ini terasa istimewa. Dua penulis “gila” ini mengajak kita dengan memakai kacamata ilmu ekonomi untuk melihat berbagai hal yang mungkin luput dari para analisis ekonom kebanyakan.
Saya tak terlalu sulit memahami “bahasa ekonomi” yang digunakan karena saya sempat familiar beberapa tahun dengan buku-buku ilmu ekonomi. Namun, yang membuat saya “senyum-senyum sendiri”, geleng-geleng kepala dan manggut-manggut adalah analisis penulis terhadap dunia prostitusi. Mereka membuat kesimpulan analisisnya dimana penghasilan tahunan seorang pekerja seks komersial (PSK) pada 2009 hanyalah seperlima dari yang diterima pada 1910 (setelah dikonversi ke harga sekarang). Penyebabnya bukan karena melemahnya libido para pria sehingga menyebabkan turunnya permintaan (demand), tetapi lebih disebabkan oleh para PSK yang telah mengaplikasikan strategi diskriminasi harga dan potongan harga.
Masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan aneh dan nyeleneh lainnya dalam buku ini. Bagi pembaca yangbukan dari latar belakang pendidikan ekonomi pun saya yakin tak akan sulit memahaminya.
[8] Sejarah Pemikiran Ekonomi: Sang Maestro Teori-Teori Ekonomi Modern. Membaca buku semacam ini, dulu sempat malas dan tak ada ketertarikan. Betapa tidak, untuk membaca buku-buku seperti ini saya harus mengerutkan dahi untuk menyelesaikan sampai bab terakhirnya. Setidaknya, karena keterpaksaanlah saya membaca buku-buku sejarah pemikiran ekonomi (SPE), terpaksa membuat makalah dan menghadapi UTS-UAS. Meminjam istilah dosen saya dulu, hanya untuk menenangkan bathin.
Namun, setelah saya “tak wajib” lagi membaca buku SPE, justru saya “menemukan” buku ini di sebuah toko. Ini akibat “keisengan” saya melihat-lihat lagi rak buku-buku perkuliahan. Sekadar mengingat mata kuliah yang sempat saya ambil beberapa tahun lalu, saya pun mengambil buku setebal 563 halaman karya Mark Skousen ini dan memulai dengan membaca review di back cover-nya. Ini kebiasaan saya ketika melihat buku baru, menimbang dari review di cover back dan/atau kata pengantarnya, kalau menarik, baru saya memutuskan untuk membelinya.
Dari membaca paragraf pertama dari tiga paragraf di cover back-nya, saya benar-benar “kepincut” untuk membelinya dan segera membacanya di rumah. Ya, buku ini tak seperti buku-buku SPE yang pernah saya baca beberapa tahun lalu. Isi, bahasa dalam buku ini benar-benar liquid dan enak dibaca. Seperti diungkapkan penulisnya sendiri bahwa sejarah ekonomi modern itu seperti kisah dengan plot yang cerdas, yang setara dengan plot kisah novel historis terbaik. Alur ceritanya adalah kisah tentang perjuangan manusia mencari kekayaan dan kemakmuran dan pencarian model ekonomi yang bisa memenuhi kebutuahan manusia.
[9] Rasulullah is My Doctor. Buku ini merupakan buku kesehatan yang sangat saya sukai akhir-akhir ini. Buku terbitan Sinergi Publishing ini saya peroleh sekitar sebulan setelah diterbitkan (Oktober 2010) di salah satu toko buku di Jombang. Ditulis oleh Jerry D. Gray, orang Amerika Serikat kelahiran Jerman pada 24 Desember 1960. Buku ini setidaknya lebih meyakinkan saya akan metode pengobatan ala Nabi Muhammad sekaligus semakin melunturkan keyakinan saya (tidak sampai anti) terhadap pengobatan dewasa ini. Ini menyangkut pengalaman pengobatan saya.
Beberapa tahun lalu saya cek up kesehatan ke sebuah klinik yang “dikomandani” seorang dokter senior di Kota P. Saya diagnosis ada gangguan saluran darah (kalau tidak salah istilahnya seperti itu) yang ke ginjal, sehingga menyebabkan pinggang dan kaki sebelah kiri sering sakit kemeng. Saya disarankan oleh dokter itu menghubungi RS di dekat klinik dokter itu untuk operasi dengan membedah sisi kiri perut saya minimal 8 cm panjang sayatnnya. Beberapa hari berikutnya saya datang ke rumah sakit rujukan dokter itu. Seperti umumnya, menuju bagian administrasi dan mengisi formulir pendaftaran plus periksa awal (diambil sampel darah saya) sekaligus mengisi formulir semacam “surat pernyataan” kalau saya siap di operasi dan telah ada persetujuan dari saya dan orang tua saya. Saya pun menunggu antrian untuk dipanggil. Beberapa saat kemudian saya dipanggil masuk ruangan. Saya diperiksa oleh seseorang wanita dan laki-laki (saya kira dia dokternya). Tensi, detak nadi dan ¬tetek bengek lainnya, kata pemeriksa itu memungkinkan saya untuk dioperasi hari itu.
Tanpa ba bi bu si laki-laki yang saya kira dokter itu mengeluarkan jarum suntik dan mengisinya dengan cairan yang saya tak mengerti. Saya pun bertanya pada laki-laki pemeriksa yang berpakaian serba putih itu yang saya pikir dia dokternya, kurang lebihnya begini:
“Saya akan diapakan Dok?”
“Anda akan disuntik dengan bius?”
“Lho, kok sederhana sekali? Terus reaksi biusnya bagaimana? Tenaga medisnya yang lain dan peralatannya mana? Kok di ruangan ini banyak pasien sakit jadi satu? Kayaknya ini bukan ruangan khusus operasi ya? Apa Anda ini dokter yang mau mengoperasi?”
“Reaksi biusnya tidak menyeluruh hanya setengah badan. Nanti operasinya di ruangan khusus sekaligus menunggu dokternya. Saya bukan dokternya, saya mantri yang ditugaskan membius saja”.
Dari situ saya mulai kurang percaya dengan paramedis ini. Katanya, dokter yang akan melakukan pembedahan akan datang pada jam 11, sementara saat saya kan dibius baru sekitar jam 9. Jadi, dua jam lagi saya harus menunggu dokter datang dengan kondisi saya dibius. Akhirnya, dengan agak kesal saya meminta pembiusan ditunda dulu sampai dokternya datang. Jam 11 ternyata dokternya belum datang. Saya masih sabar menunggu. Berkali-kali saya bertanya minta penjelasan. Jam 12 belum datang juga. Hampir setiap jam saya bertanya dan bertanya. Hingga akhirnya jam 16 dokter itu belum datang dan saya memutuskan untuk tidak jadi dioperasi. Saya tak bisa membayangkan jika seandainya jam 9 pagi itu saya dibius dan dokternya tak jadi datang.
Di perjalanan kembali ke rumah, saya mulai berpikir mencari cara penyembuhan alternatif saja. Saya trauma dengan perlakuan di rumah sakit itu. Sampai rumah saya langsung searching dan hunting berbagai informasi tentang pengobatan alternatif. Saya pun mulai tertarik dengan pengobatan ala Nabi Muhamad, bekam, pegambilan darah dengan cara disedot. Tak sulit bagi saya menemukan ahli bekam di Jombang. Di kota ini banyak sekali terapis atau ahli bekam yang berpraktif memberi layanan bekam secara profesional. Setelah pertama kali dibekam, badan saya terasa enakan, dua minggu berikutnya saya bekam lagi. Berikutnya sebulan sekali selama tiga bulan pertama. Sejak saat itu sakit di pinggang dan kaki kiri saya tak muncul lagi. Kemudian di bulan-bulan berikutnya hingga saat ini saya tetap bekam 2- 3 bulan sekali.
Kurun waktu sekitar 2,5 tahun ini, saya intens mencari dan membaca berbagai literatur kesehatan ala nabi ini. Salah satunya ya buku ini, Rasullullah is My Doctor karya Jerry D. Gray. Yang menarik dari buku ini dibanding dengan buku-buku lainnya yang sejenis, bukan saja karena penulisnya yang orang Amerika, tetapi ulasannya benar-benar mampu membuka mata dan hati saya tentang dunia kesehatan dewasa ini. Dalam ulasannya selain memberi kritik yang menohok pada metode pengobatan “modern” saat ini, juga memberikan alternatif pengobatan yang murah dan aman menurut pengalaman hidupnya dan hasil penelusurannya dengan fakta-fakta yang nyata. Bagaimana dia mengurai “kesesatan” metode pengobatan saat ini, termasuk “kesesatan” imunisasi merupakan lahan bisnis baru di dunia kesehatan.
Itulah beberapa buku yang sempat saya ingat-ingat dan membuat ingatan saya kemana-mana. Dan yang jelas, buku bagi saya itu sangat penting, meskipun membelinya kadang tak terlalu penting.
Demikian juga dengan perpustakaan sekolah, meskipun koleksi di sekolah dasar dulu tak terlalu banyak, dan dengan ruang baca yang tak terlalu luas, tetapi sedikit banyak buku-buku yang tersedia itu bisa menjadi pelepas dahaga membaca kami yang memang jauh dari “peradaban” kota. Buku yang saya baca pertama kali –saya lupa judulnya—adalah buku cerita bergambar, lebih tepatnya buku gambar bercerita, karena banyak gambarnya dari pada deretan kata-katanya, yang menceritakan dua ekor anak ayam yang berebut cacing di atas jembatan kayu. Karena saling tarik-menarik dan tak ada yang mau mengalah, akhirnya dua ekor anak ayam itupun terjatuh dari jembatan dan masuk air akibat tarik-menarik dan cacing yang ditarik untuk diperebutkan itu putus. Pesan terakhir dari buku itu adalah, jangan serakah dan jangan suka bertengkar. Kalau tak salah, ketika itu saya baru naik ke kelas 2 SD pada pertengahan tahun 1985.
Buku-buku semacam itulah setidaknya yang menjadi “pengantar” saya untuk sedikit suka membaca buku-buku hingga saat ini. Bagi saya buku mempunyai kekuatan tersendiri, meskipun secara langsung sulit digambarkan dan diceritakan seperti apa kekuatan buku itu. Setidaknya buku bagi saya menjadi semacam terapi rasa minder dalam kehidupan saya terutama di masa-masa anak-anak dan masa-masa peralihan. Selain itu, buku yang saya beli dan baca, punya rekam jejak tersendiri, bukan hanya isi atau kontennya yang saya ingat, tetapi banyak “peristiwa-peristawa” atau “kondisi-kondisi” lain yang melingkupinya. Setiap membeli dan/atau membaca buku, saya selalu teringat perasaan bathin saya ketika membeli dan/atau membaca buku, kejadian apa ketika saya membaca buku, dan bahkan dimana saya membeli buku itu, termasuk harganya, selalu saya ingat. Namun, hampir semua buku yang saya baca dan beli adalah buku-buku ringan dan sederhana kontennya, jarang saya membaca buku-buku “berat”. Kenapa? Setidaknya menyesuaikan dengan kemampuan daya beli dan daya cerna yang pas-pasan ini.
Sampai saat ini, setidaknya ada 2 penulis yang karya-karya bukunya sangat enjoy ketika saya membacanya, buku-buku yang ditulis dengan bahasa yang sederhana. Pertama, Emha Ainun Nadjib. Karya-karya Cak Nun (panggilan Emha Ainun Nadjin) yang sudah dibukukan mencapai puluhan buku. Kebanyakan buku-bukunya merupakan kompilasi dari artikel-artikel, esai-esai, puisi ataupun cerpennya yang telah lebih dulu beredar di surat kabar. Saya menyukai tulisannya karena bahasanya lugas dan mudah saya cerna. Novelnya Gugat Kiai Sudrun adalah salah satu novel yang saya baca “sekali duduk”, dengan kata lain saya membaca tanpa jeda (kecuali ngemil dan minum) sampai tuntas. Hanya ada beberapa novel yang saya membacanya “sekali duduk”. Selain Novelnya Cak Nun ini, ada novel Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis, novel Di Bawah Lindungan Ka’bah karya Buya Hamka, juga novel Ayat-Ayat Cinta-nya Habiburahman yang diterbitkan sekitar akhir 2003 lalu. Khusus novel Ayat-Ayat Cinta ini, karena saya tak bisa membaca cepat, saya membacanya sekitar 7 jam dari jam 21.00 sampai janm 4.00 menjelang subuh. Sementara untuk novel-novel semacam karya Umar Kayam, Iwan Simatupang, Ahmad Tohari, Remy Silado, Y.B. Mangunwijaya, Wisran Hadi, dan sebagainya, saya membacanya secara “estafet”, terkadang memakan waktu berminggu-minggu.
Karya tulis Cak Nun lain yang telah saya baca dan koleksi adalah yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas beberapa tahun terkahir, yaitu yang berjudul Kiai Bejo, Kiai Untung, Kiai Hoki, Demokrasi La Roiba Fih, dan Jejak Tinju Pak Kiai.
Saya menyukai tulisan-tulisan Cak Nun ini karena spontanitas, kebijakan dan kelembutannya dalam mengupas suatu permasalahan. Selain itu bahasanya yang sederhana, lugas, apa adanya, egaliter, bahkan terkadang “menohok” dan “memprovokasi” otak dan hati, juga yang lebih menarik, saya belum pernah menemukan tulisan Cak Nun dengan memakai bahasa orang lain (kutipan apalagi tinjauan pustaka).
Koleksi karya-karya Cak Nun yang lain diantaranya berjudul: Folklore Madura, Istriku Seribu, Kerajaan Indonesia, Tidak Jibril Tidak Pensiun, Pelajaran Dari Desa, Dari Pojok Sejarah: Renungan Perjalanan Emha Ainun Nadjib, Kagum Pada Orang Indonesia, Mati Ketawa Cara Refotnasi, Cahaya Maha Cahaya, Demokrasi Tolol Versi Saridin, Markesot Bertutur, Bola-Bola Kultural, dan Indonesia Bagian Dari Desa Saya.
Kemudian penulis yang kedua adalah Abdurahman Wahid. Terlepas dari segala kontroversinya, bagi saya karya-karya Gus Dur mudah dicerna dan enjoy ketika membacanya dan saya lebih memahami kepribadian Gus Dur dari karya-karya ini. Sebagian besar buku-buku Gus Dur juga merupakan kumpulan tulisannya di berbagai media masa. Buku terakhir yang sempat saya "jamah" adalah Islamku, Islam Anda, Islam Kita. Buku yang terbit tahun 2006 ini juga merupakan kumpulan tulisan di berbagai media massa. Bahasannya cukup luas dan spontanitas dalam menanggapi permasalahan yang muncul. Tanpa pandang bulu, agama, keyakinan, etnis, warna kulit, posisi sosial apapun Gus Dur seolah memeberikan "pembelaan" pada orang-orang yang dianggapnya menjadi korban. Dari mulai penyanyi bergoyang ngebor, Abu Bakar Ba'asyir, hingga masalah-masalah sosil kemasyarakatan lainnya. Buku ini juga membahas masalah pluralitas dalam melihat Islam dan kehidupan, dengan bersandar pada etika dan spiritualitas, termasuk untuk mengelola dunia yang terus bergerak ke arah tanpa batas.
Lebih dari itu, yang sangat saya suka adalah semangat dan produktivitas menulisnya. Meskipun ada halangan secara fisik, Gus Dur tetap menuangkan pemikiran-pemikiran dalam bentuk tulisan pendek atau esai yang dimuat di berbagai media massa. Bahkan ketika sakit dan tergelatak di pembaringan pun Gus Dur masih sempat menulis dengan mendiktekan kepada asistennya.
Selain buku dari dua penulis yang telah saya sebutkan di atas, ada beberapa judul buku yang masih saya ingat, tentu saja dengan rekam jejak atau pengalaman-pegalaman bathin bereda yang mengitari ketika membacanya. Buku-buku tersebut di antaranya:
[1] Hujan Bulan Juni. Buku kumpulan puisi karya Sapardi Djoko Damono terbitan PT. Gramedia Widiasarana Indonesia tahun 1994 saya beli pada bulan Maret 1998 seharga Rp 7.000. Saya membeli di toko buku Gramedia Jl. Basuki Rahmat Surabaya, yang kata orang-orang, ini merupakan toko buku Gramedia pertama di Surabaya. Sejak tahun 1998-an saya memang terbiasa “nongkrong” di sini, ketika itu bentuk bangunannya seperti rumah biasa yang tempatnya nyelempit, terselip di antara belantara gedung-gedung tinggi Kota Surabaya. Saya memilih toko ini karena di toko ini juga menyediakan rak khusus untuk buku-buku “cuci gudang” yang dijual dengan harga miring. Saat ini toko ini telah berubah 180 derajat, menjadi Gramedia Expo, yang tak sekadar toko buku, tetapi juga menjadi bangunan serbaguna.
Saya mengoleksi buku ini karena ada dua puisi yang bagi saya yang sangat berkesan, yaitu puisi yang berjudul Hujan, Jalak, dan Daun Jambu:
Hujan turun semalaman.
Paginya jalak berkicau dan daun jambu;
mereka tak mengenal gurindam dan peribahasa,
tapi menghayati adat kita yang purba,
tahu kapan harus berbuat sesuatu
agar kita, manusia, merasa bahagia.
Mereka tidak pernah bisa menguraikan
hakikat kata-kata mutiara,
tapi tahu kapan harus berbuat sesuatu,
agar kita merasa tidak sepenuhnya sia-sia.
Berikutnya, puisi Sapardi yang sangat berkesan dan juga sering dibaca kawan-kawan saya ketika mengalami “kemabukan” adalah yang berjudul Aku Ingin:
aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
Selain buku puisi ini, buku puisi yang sangat saya sukai adalah buku karya Wiji Thukul, penyair yang sampai sekarang hilang entah kemana sejak orde baru lalu dengan judul [2] Aku Ingin Jadi Peluru. Dalam buku ini, ada satu puisinya yang sangat berkesan dan memberi spirit tersendiri yang berjudul Peringatan:
jika rakyat harus pergi
ketika penguasa pidato
kita harus hati-hati
barangkali mereka putus asa
kalau rakyat sembunyi
dan berbisik-bisik
ketika membicarakan masalahnya sendiri
penguasa harus waspada dan belajar mendengar
bila rakyat tidak berani mengeluh
itu artinya sudah gawat
dan bila omongan penguasa
tidak boleh dibantah
kebenaran pasti terancam
apabila usul ditolak tanpa ditimbang
suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
dituduh subversive dan mengganggu keamanan
maka hanya ada satu kata: lawan!
“Hanya ada satu kata, lawan!” yang saya yakin kalimat ini lebih kita kenal dari pada sang penyairnya sendiri. Kalimat ini semacam “kalimat api” yang menjadi simbol perlawanan orang-orang kecil yang tertindas. Buku terbitan tahun 2000 dan saya beli tahun 2000 juga, isinya hampir semuanya berupa puisi “kerakyatan” dengan bahasa yang lugas, apa adanya dengan pemaknaan yang tanpa bercabang atau beranak-pinak. Buku dengan kata pengantar almarhum Munir dengan ketebalan 176 ini, seolah mengetengahkan kehidupan sang penyair. Ia adalah penyair yang gigih dalam memperjuangkan hidup dan gagasan-gagasannya yang diyakininya. Ia juga dengan tepat menggambarkan keterwakilan kelas soisalanya. Pilihannya untuk bergabung dengan kalangan kecil seperti petani, kaum buruh dan masyarakat miskin lainnya semakin meneguhkan keyakinannya bahwa keadaan miskin bukanlah semata-mata karena takdir Tuhan, tetapi karena keserakahan kekuasaan politik dan modal yang melahap habis semuanya.
[3] Pers Indonesia: Berkomunikasi dalam Masyarakat Tidak Tulus. Buku setebal 490 halaman terbitan Penerbit Buku Kompas pada Oktober 2001 karya Jakob Oetama, dengan editor Sularto dan pengantar pengantar Ignas Kleden ini, merupakan salah satu buku yang diterbitkan untuk menyambut hari ulang tahun ke-70 Jakob Oetama. Saya mendapatkan buku ini gratis pada acara buka puasa bersama dan jumpa penulis Kompas Jawa Barat pada bulan Oktober 2006.
Bagi saya isi buku ini sangat spesial. Sedikit banyak saya menggali dunia persuratkabaran yang masalahnya ternyata tak hanya terkait dengan surat kabar itu sendiri, tetapi juga masalah-masalah di luar surat kabar. Masyarakat dengan ragam budaya, agama, sosila-ekonomi perlu diperhatiakan dalam membangun pers yang sehat. Selain itu, persuratkabaran dalam suatu negara akan selalu dipengaruhi oleh pikiran dasar dan orientasi pokok yang sedang berlaku dalam masyarakatnya. Pers tidak hanya melaporkan pembangunan, namun yang lebih penting juga mampu memberikan sumbangsih berapa pendapat dan sumbangan pemikirannya lainnya tentang model pembangunan.
[4] Sayap-Sayap Patah. Salah satu karya Kahlil Gibran ini pernah menjadi buku favorit saya antara tahun-tahun 1998-2000. Entah mengapa saya menyukai karyanya ini. Saya telah membaca karya-karyanya kalau tak salah lebih dari 20-an buku. Namun begitu, saya hanya memiliki dua judul saja. Sebagian besar pinjam (dipinjami) teman yang juga suka membaca karya Kahlil Gibran. Bersama buku The Prophet, buku Sayap-Sayap Patah ini merupakan salah satu karya Kahlil Gibran yang sangat fenomenal. Dalam buku ini mengisahkan cinta yang dikekang oleh aturan masyarakat yang tamak dan kejam. Dengan bahasa yang khas dan penuh metafora-metafora yang melangit.
Karena karya Kahlil Gibran ini, saya mempunyai pengalaman yang mungkin unik dan lucu. Dulu ada seorang kawan yang sedang kasmaran menulis surat cinta yang kemudian disodorkan ke saya untuk saya edit sebelum dikirimkan ke gadis yang diincarnya, kebetulan gadis yang diincarnya adalah kawan SMP saya dan saat itu satu fakultas dengan saya. Dengan agak terheran-heran, saya pun terpaksa menerima naskahnya itu untuk saya “bongkar”. Selidik punya selidik, kata-kata dan bahasanya hampir 80 % adalah kata-kata Kahlil Gibran. Saya pun meng-“interograsi”-nya, benarkah kalimat dalam surat-suratnya itu kalimatnya sendiri? Tanpa panjang lebar saya “interograsi”, dia membenarkan apa yang saya tanyakan. Akhirnya dia pun mengakui bahwa itu kalimat dalam buku-buku Kahlil Gibran dan dia bahkan menunjukkan kalai dirinya juga mengoleksi puluhan buku-buku karya Kahlil Gibran. Koleksinya mencapai sekitar 30-an buku, ada yang terbitan lama dan baru, bahkan ada yang judulnya yang sama namun dengan edisi dan penerbit yang berbeda. Surat hasil editan saya itupun akhirnya dipercayakan ke saya untuk disampaikan ke gadis yang juga kawan saya itu. Hasilnya, saya tak tahu. Kemudian kawan saya yang lagi kasamaran itupun membuat surat lagi yang kedua, dan lagi-lagi saya dipercaya menjadi “editor”-nya sekaligus “tukang pos”-nya. Hasilnya yang kedua ini diberitahukan ke saya. Hasilnya, DITOLAK ! :)
[5] Jejak Pangan; Sejarah, Silang Budaya, dan Masa Depan. Buku karya Andreas Maryoto, seorang wartawan Kompas dengan latar pendidikan Fakultas Teknologi Pertanian ini terasa mencerahkan dengan jejak lapang dan teori yang diramu dengan bahasa jurnalistik yang enak dibaca. Memang tulisan dalam buku ini telah dimuat di harian Kompas sehingga nuansa spontanistasnya sangat terasa. Namun begitu, tak mengurangi rasa “kekiniannya” dan “kedalaman” pembahasannya, karena masalah-masalah yang dikemukakan hingga kini masih menjadi problem besar bangsa agraris ini. Membaca buku ini bagi saya juga seolah mendapat amunisi barus. Betapa tidak, topik yang dibahas ini tak jauh dari kehidupan saya, lingkungan petani dan pertanian dengan segala pernak-perniknya.
Buku terbitan Penerbit Buku Kompas tahun 2009 ini tak hanya membahasa masalah pangan itu sendiri, tetapi juga menyangkut sejarah dan budaya yang melingkupi permasalahan pangan manusia. Seperti diungkapkan penulis, bahwa perjalanan evolusi manusia dari Australopithecus sp menjadi manusia modern atau Homo sapiens, meninggalkan jejak perubahan pada cara-cara mereka mencari dan mengolah pangan. Perubahan revolusioner adalah saat manusia menemukan api sehingga sumber pangan yang keras seperti biji-bijian bisa dikonsumsi.
Buku ini saya dapatkan di Toko Buku Gramedia di Kota Maumere (mungkin ini Gramedia satu-satunya di Pulau Flores), Flores, NTT ketika saya “semedi” di sana beberapa bulan sekitar bulan Juli 2010 lalu. Ini setelah saya mendpat kiriman honor menulis dari salah satu koran di Jawa Timur. Kebiasaan saya ketika tulisan dimuat dikoran dan jika mendapat kiriman honor, maka honor itu selain untuk menraktir ala kadarnya teman-teman, juga untuk membeli buku. Dulu di kampung, selain saya belikan buku, juga saya belikan majalah anak-anak yang bekas (tertinggal 2-3 edisi, biar dapat banyak) kemudian saya bagikan ke anak-anak di kampung.
Buku ini juga mengilhami saya untuk mecari literatur tentang pangan yang termuat dalam serat centhini. Ya, saya memang belum pernah mendapatkan dan membaca "kitab klasik" ini. Dengar-dengar dari orang-orang tua, serat centhini lebih banyak mengeksplore masalah seksualitas. Namun, kata Andreas Maryoto dalam buku ini, ternyata serat centhini juga membahas masalah kuliner dan pangan lokal orang-orang (Jawa) terdahulu, meskipun proporsinya masih kalah dengan masalah seksualitas.
Terkait buku semacam ini ada juga buku karya JA. Noertjahyo, dengan bukunya yang berjudul [6] Dari Ladang Sampai Kabinet: Menggugat Nasib Petani. Buku yang juga diterbitkan Penerbit Buku Kompas tahun 2006 ini lebih kaya akan data-data statistik ekonomi dan pertanian di banding dengan buku Andreas Marwoto. Namun begitu, cara penyampian sama-sama mengalir khas bahasa jurnalistik, karena buku ini juga merupakan kumpulan tulisan-tulisan jurnalistiknya.
Selain isinya yang memang dekat dengan dunia saya (sosial ekonomi pertanian), saya juga sangat tertarik dengan sampul dari buku ini, sampai-sampai saya jadikan foto profil di "blog rame-rame" ini :). Buku ini pun saya peroleh dengan harga yang sangat murah, hanya Rp 10.000,- dari harga umumnya sekitar Rp. 45.000,-. Bukan buku bajakan atau fotokpi, tetapi karena saya membelinya pada tahun 2007 lalu saat pameran di Gedung Kompas Surabaya (Kompas Edisi Jawa Timur). Rata-rata buku yang dijual antara Rp. 10.000,- sampai Rp. 15.000,-, bahkan buku A Development Manifesto-nya Mubyarto pun di jual dengan harga Rp. 5.000,-!
Dari dua penulis buku inilah saya terinspirasi untuk menulis juga tentang dunia saya ini, meskipun dengan kajian yang sangat sederhana dan bahasa yang masih "belepotan". Sebenarnya ada juga penulis lain dengan tema seperti ini, yang tulisannya juga enak dibaca, yaitu FX. Rahardi dengan bukunya Petani Berdasi. Saya sempat membacanya di perpustakaan dan belum sempat mengoleksinya sendir.
[7] Superfreakonomics: Pendinginan Global, Pelacur Patriotik dan Mengapa Pengebom Bunuh Diri Harus Beli Asuransi Jiwa. Buku terjemahan dari judul yang sama setebal 288 halaman karya Steven D. Levitt dan Stephen J. Dubner terbitan Gramedia Pustaka Utama tahun 2010 ini terasa istimewa. Dua penulis “gila” ini mengajak kita dengan memakai kacamata ilmu ekonomi untuk melihat berbagai hal yang mungkin luput dari para analisis ekonom kebanyakan.
Saya tak terlalu sulit memahami “bahasa ekonomi” yang digunakan karena saya sempat familiar beberapa tahun dengan buku-buku ilmu ekonomi. Namun, yang membuat saya “senyum-senyum sendiri”, geleng-geleng kepala dan manggut-manggut adalah analisis penulis terhadap dunia prostitusi. Mereka membuat kesimpulan analisisnya dimana penghasilan tahunan seorang pekerja seks komersial (PSK) pada 2009 hanyalah seperlima dari yang diterima pada 1910 (setelah dikonversi ke harga sekarang). Penyebabnya bukan karena melemahnya libido para pria sehingga menyebabkan turunnya permintaan (demand), tetapi lebih disebabkan oleh para PSK yang telah mengaplikasikan strategi diskriminasi harga dan potongan harga.
Masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan aneh dan nyeleneh lainnya dalam buku ini. Bagi pembaca yangbukan dari latar belakang pendidikan ekonomi pun saya yakin tak akan sulit memahaminya.
[8] Sejarah Pemikiran Ekonomi: Sang Maestro Teori-Teori Ekonomi Modern. Membaca buku semacam ini, dulu sempat malas dan tak ada ketertarikan. Betapa tidak, untuk membaca buku-buku seperti ini saya harus mengerutkan dahi untuk menyelesaikan sampai bab terakhirnya. Setidaknya, karena keterpaksaanlah saya membaca buku-buku sejarah pemikiran ekonomi (SPE), terpaksa membuat makalah dan menghadapi UTS-UAS. Meminjam istilah dosen saya dulu, hanya untuk menenangkan bathin.
Namun, setelah saya “tak wajib” lagi membaca buku SPE, justru saya “menemukan” buku ini di sebuah toko. Ini akibat “keisengan” saya melihat-lihat lagi rak buku-buku perkuliahan. Sekadar mengingat mata kuliah yang sempat saya ambil beberapa tahun lalu, saya pun mengambil buku setebal 563 halaman karya Mark Skousen ini dan memulai dengan membaca review di back cover-nya. Ini kebiasaan saya ketika melihat buku baru, menimbang dari review di cover back dan/atau kata pengantarnya, kalau menarik, baru saya memutuskan untuk membelinya.
Dari membaca paragraf pertama dari tiga paragraf di cover back-nya, saya benar-benar “kepincut” untuk membelinya dan segera membacanya di rumah. Ya, buku ini tak seperti buku-buku SPE yang pernah saya baca beberapa tahun lalu. Isi, bahasa dalam buku ini benar-benar liquid dan enak dibaca. Seperti diungkapkan penulisnya sendiri bahwa sejarah ekonomi modern itu seperti kisah dengan plot yang cerdas, yang setara dengan plot kisah novel historis terbaik. Alur ceritanya adalah kisah tentang perjuangan manusia mencari kekayaan dan kemakmuran dan pencarian model ekonomi yang bisa memenuhi kebutuahan manusia.
[9] Rasulullah is My Doctor. Buku ini merupakan buku kesehatan yang sangat saya sukai akhir-akhir ini. Buku terbitan Sinergi Publishing ini saya peroleh sekitar sebulan setelah diterbitkan (Oktober 2010) di salah satu toko buku di Jombang. Ditulis oleh Jerry D. Gray, orang Amerika Serikat kelahiran Jerman pada 24 Desember 1960. Buku ini setidaknya lebih meyakinkan saya akan metode pengobatan ala Nabi Muhammad sekaligus semakin melunturkan keyakinan saya (tidak sampai anti) terhadap pengobatan dewasa ini. Ini menyangkut pengalaman pengobatan saya.
Beberapa tahun lalu saya cek up kesehatan ke sebuah klinik yang “dikomandani” seorang dokter senior di Kota P. Saya diagnosis ada gangguan saluran darah (kalau tidak salah istilahnya seperti itu) yang ke ginjal, sehingga menyebabkan pinggang dan kaki sebelah kiri sering sakit kemeng. Saya disarankan oleh dokter itu menghubungi RS di dekat klinik dokter itu untuk operasi dengan membedah sisi kiri perut saya minimal 8 cm panjang sayatnnya. Beberapa hari berikutnya saya datang ke rumah sakit rujukan dokter itu. Seperti umumnya, menuju bagian administrasi dan mengisi formulir pendaftaran plus periksa awal (diambil sampel darah saya) sekaligus mengisi formulir semacam “surat pernyataan” kalau saya siap di operasi dan telah ada persetujuan dari saya dan orang tua saya. Saya pun menunggu antrian untuk dipanggil. Beberapa saat kemudian saya dipanggil masuk ruangan. Saya diperiksa oleh seseorang wanita dan laki-laki (saya kira dia dokternya). Tensi, detak nadi dan ¬tetek bengek lainnya, kata pemeriksa itu memungkinkan saya untuk dioperasi hari itu.
Tanpa ba bi bu si laki-laki yang saya kira dokter itu mengeluarkan jarum suntik dan mengisinya dengan cairan yang saya tak mengerti. Saya pun bertanya pada laki-laki pemeriksa yang berpakaian serba putih itu yang saya pikir dia dokternya, kurang lebihnya begini:
“Saya akan diapakan Dok?”
“Anda akan disuntik dengan bius?”
“Lho, kok sederhana sekali? Terus reaksi biusnya bagaimana? Tenaga medisnya yang lain dan peralatannya mana? Kok di ruangan ini banyak pasien sakit jadi satu? Kayaknya ini bukan ruangan khusus operasi ya? Apa Anda ini dokter yang mau mengoperasi?”
“Reaksi biusnya tidak menyeluruh hanya setengah badan. Nanti operasinya di ruangan khusus sekaligus menunggu dokternya. Saya bukan dokternya, saya mantri yang ditugaskan membius saja”.
Dari situ saya mulai kurang percaya dengan paramedis ini. Katanya, dokter yang akan melakukan pembedahan akan datang pada jam 11, sementara saat saya kan dibius baru sekitar jam 9. Jadi, dua jam lagi saya harus menunggu dokter datang dengan kondisi saya dibius. Akhirnya, dengan agak kesal saya meminta pembiusan ditunda dulu sampai dokternya datang. Jam 11 ternyata dokternya belum datang. Saya masih sabar menunggu. Berkali-kali saya bertanya minta penjelasan. Jam 12 belum datang juga. Hampir setiap jam saya bertanya dan bertanya. Hingga akhirnya jam 16 dokter itu belum datang dan saya memutuskan untuk tidak jadi dioperasi. Saya tak bisa membayangkan jika seandainya jam 9 pagi itu saya dibius dan dokternya tak jadi datang.
Di perjalanan kembali ke rumah, saya mulai berpikir mencari cara penyembuhan alternatif saja. Saya trauma dengan perlakuan di rumah sakit itu. Sampai rumah saya langsung searching dan hunting berbagai informasi tentang pengobatan alternatif. Saya pun mulai tertarik dengan pengobatan ala Nabi Muhamad, bekam, pegambilan darah dengan cara disedot. Tak sulit bagi saya menemukan ahli bekam di Jombang. Di kota ini banyak sekali terapis atau ahli bekam yang berpraktif memberi layanan bekam secara profesional. Setelah pertama kali dibekam, badan saya terasa enakan, dua minggu berikutnya saya bekam lagi. Berikutnya sebulan sekali selama tiga bulan pertama. Sejak saat itu sakit di pinggang dan kaki kiri saya tak muncul lagi. Kemudian di bulan-bulan berikutnya hingga saat ini saya tetap bekam 2- 3 bulan sekali.
Kurun waktu sekitar 2,5 tahun ini, saya intens mencari dan membaca berbagai literatur kesehatan ala nabi ini. Salah satunya ya buku ini, Rasullullah is My Doctor karya Jerry D. Gray. Yang menarik dari buku ini dibanding dengan buku-buku lainnya yang sejenis, bukan saja karena penulisnya yang orang Amerika, tetapi ulasannya benar-benar mampu membuka mata dan hati saya tentang dunia kesehatan dewasa ini. Dalam ulasannya selain memberi kritik yang menohok pada metode pengobatan “modern” saat ini, juga memberikan alternatif pengobatan yang murah dan aman menurut pengalaman hidupnya dan hasil penelusurannya dengan fakta-fakta yang nyata. Bagaimana dia mengurai “kesesatan” metode pengobatan saat ini, termasuk “kesesatan” imunisasi merupakan lahan bisnis baru di dunia kesehatan.
Itulah beberapa buku yang sempat saya ingat-ingat dan membuat ingatan saya kemana-mana. Dan yang jelas, buku bagi saya itu sangat penting, meskipun membelinya kadang tak terlalu penting.
5 Komentar
Dari semua puisi yang ditampilkan, saya paling suka punya Wiji Tukul. Saya juga baca bukunya yang itu pasca hilangnya dia dari dunia sastra...Kok bisa ya metafor dan idiom-idiomnya segar dan dahsyat? Sederhana tapi memukau....
BalasHapusbener mas walank, lugas tanpa makna yg bercabang. Mugnya dihias dulu ya :)
Hapuswah pertamax neh ane? haha....dapet mug gratis...atau rantang juga boleh :D
BalasHapusKoreksi dikit gan..., buku pelajaran th 80 an tulisan smpul blkangnya: "BUKU INI MILIK NEGARA DIPINJAMKAN KEPADA MURID UNTUK DIBAWA PULANG PELAJARILAH ISINYA RAWATLAH BAIK-BAIK TAHUN DEPAN ADIKMU YANG AKAN MENGGUNAKAN BUKU INI"
BalasHapusKeren. Ajek menulisnya mas...
BalasHapusThanks for your visiting and comments!