ISENG-iseng saya memasukkan nama kampung halaman saya ke mesin pencari google, hasilnya beraneka macam. Pertama, kasus gorok leher yang dilakukan warga tetangga saya yang jarak rumahnya sekitar tiga ratus meter dari rumah orang tua saya, dimana sang penggorok ini (suaminya) melakukan tindakan penggorokan kepada istrinya sendiri. Yang saya tahu, korban atau si istri ini pekerjaannya sehari-hari setiap pagi adalah berjualan jamu gendong dan aneka penganan tradisional yang dijajakan dengan membawa bokor. Hampir setiap pagi simbok saya membeli dagangannya.
Kedua, kasus tewasnya beberapa pemuda akibat minuman keras di suasana hari lebaran tahun 2008 lalu. Ketika berita ini muncul kebetulan ketika itu saya masih berada di kampung halaman. Pendapat beberapa masyarakat desa ketika itu: ”Syukurlah mereka mati, nggak ada yang bikin ribut di kampung, kita juga nggak perlu repot-repot mengingatkan”.
Yang ketiga, yang lebih heboh hingga saat ini, berita yang dirilis Majalah Tempo, edisi 15 Agustus 1987. Isinya tentang (lagi-lagi) secuil sengketa tanah dan perpajakan di kampung. Dulu saya memang sudah mendengar karut-marut masalah pertanahan dan perpajakan di kampung yang melibatkan banyak pejabat, termasuk (katanya) banyak jenderal dan pejabat negara di tingkat kabupaten maupun provinsi. Mereka memperebutkan tanah terlantar bekas perkebunan Belanda, juga memperebutkan untuk menjualnya. Tak salah jika saat itu terjadi perang bintang yang efeknya bisa dilihat sampai sekarang. Di kampung saya saat ini banyak tanah yang dikuasai oleh orang-orang luar daerah, termasuk bekas bupati, bekas sekda, pensiunan pemilik ”bintang” dan sebagainya.
Sementara penduduk biasa kebanyakan hanya menjadi penyaksi dan buruh-buruh perkebunan. Bukannya menyalahkan pembeli dari luar daerah, tapi lebih –kata-kata orang tua di kampung— karena tanah-tanah itu dijual murah oleh kepala desa dan carik (sekdes) waktu itu yang sekaligus berperan sebagai makelar. Tak hanya itu, mereka juga melakukan berbagai intimidasi kepada warga yang tak mau menjual tanahnya, termasuk distempel PKI!
Kebetulan, beberapa hari yang lalu saya bertemu bekas pejabat yang asli dari Jombang selatan. Saya tak tahu kalau dia ini tetangga kampung saya, saya hanya pernah mendengar namanya saja, dan ternyata dia itu bapaknya kawan sekolah saya waktu SMP. Banyak sekali dia bercerita tentang awal-mula kasus pertanahan di Jombang selatan ini yang melibatkan banyak jenderal dan pejabat termasuk perusahaan yang satu grup dengan perusahaan-perusahaan yang dimiliki anak bekas presiden. Kebenaran ceritanya saya tak tahu, tapi dari ceritanya itu tak jauh berbeda dengan cerita dari orang-orang tua di kampung. Pun orang-orang yang diceritakan saya tahu dan sekarang banyak yang masih hidup.
Kembali ke soal berita lama dari TEMPO, kasus perpajakan perkebunan yang melibatkan kades dan salah satu pemilik kebun cengkih. Pihak yang masuk berita ini saya kenal namanya, bahkan Sastrowidjoyo, villa mewahnya tak jauh dari rumah orang tua saya, sekitar seratus meter. Sejak kecil saya terbiasa bermain-main ke lokasi ini dan menikmati keindahan koleksi aneka bunga dan ratusan merpatinya. Pun saya terbiasa kalau pergi ke sekolah menumpang dan nggandol truk perkebunannya yang searah dengan arah SD saya jaraknya 2 km dan berada di dekat kaki gunung.
Dulu sebelum ada listrik masuk desa, bangunan ini sangat mentereng, terang-benderang dengan nyala lampu-lampu taman yang indah yang didukung genset dengan kapasitas yang cukup besar. Lampu-lampu tak hanya di pasang di rumah, tetapi juga dipasang di penjuru kebun yang dijadikan basecamp (luasnya kurang lebih sehektar, sementara di tempat lainnya yang masih satu desa hampir seratus hektar. Villa ini biasanya dikunjungi setiap hari sabtu dan minggu atau ketika musim panen cengkih (Juni-September). Ada penjaga kebunnya satu keluarga, ada juga 2 wanita yang kata orang kampung saya namanya senuk,yang istilah ini baru saya sadari beberapa tahun terakhir, yaitu sebutan untuk wanita simpanan atau gundik. Dalam bahasa orang Jombang, senuk kepanjangannya seneng manuk atau yang suka burung, entah apa arti sebenarnya :)
Inilah salah satu berita ”Kades Vs Sastrowidjoyo” yang saya nukil dari TEMPO, 15 Agustus 1987:
KEPUTUSAN yang diambil dalam rapat lembaga musyawarah desa (LMD) itu tegas: Sastrowidjojo, pemilik 100 hektar kebun cengkih di Desa Carangwulung, Kecamatan Wonosalam, Jombang, Jatim, itu dilarang bertani dan sekaligus diusir dari Carangwulung. Hasil rapat desa itu, 10 Mei lalu, dikirimkan kepala desa kepada Bupati Jombang, disertai ultimatum: bila Bupati tak mengabulkan permintaan mereka, kepala desa berikut 22 stafnya akan mengundurkan diri. Apa pasal?
"Sastrowidjojo itu memang keterlaluan," kata Soetarwi, kepala desa.
Menurut dia, Sastro itu terlalu pelit: tak mau membayar PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) yang besarnya sekitar Rp 150.000/tahun atas rumah dan kebun cengkih yang sudah menghasilkan itu. Jangankan PBB, "sumbangan kerja bakti cuma Rp 2.000 saja dia tak pernah mau membayar," kata Soetarwo, 55 tahun, carik desa.
Setiap petugas yang datang ke gedungnya malah didamprat Pak Sastro. Merasa habis daya, akhirnya LMD membuat rapat tadi. Tapi bolehkah mengusir orang dari desa? "Kami yakin, Pak Bupati memahami keinginan warganya. Jika tidak, apakah kepentingan semua warga bisa dikalahkan oleh kepentingan seorang Sastrowidjojo?" kata Soetarwi yang sudah 19 tahun memimpin desa itu.
Sastrowidjojo sebenarnya sudah membayar sebagian PBB (dulu Ipeda) sebesar Rp 282.000 untuk tahun 1976 sampai 1982. Setelah itu, dia selalu menampik, hingga selama empat tahun sampai tahun lalu, PBB itu dilunasi oleh kepala desa. "Saya bayari dulu sampai Rp 600.000," ujar Soetarwi, sembari menunjukkan tanda pembayaran PBB kebun itu.
Sejak rapat desa 10 Mei itu, Sastrowidjojo tak pernah terlihat menjenguk gedung dan kebunnya di kaki gunung itu. Ia diketahui tinggal di Surabaya. Ditemui di sana, Sastro, 49 tahun, terus terang menyatakan tak bersedia melunasi PBB itu. Alasannya, semua tanah itu bukan atas namanya, sedangkan tanaman cengkih itu milik orang Jakarta. Siapa? "Itu rahasia," katanya.
Tanah itu sampai sekarang memang masih atas nama sejumlah penduduk desa. Di sinilah tampaknya kasus berpangkal. Sastro datang ke Carangwulung dan membuka kebun cengkih pada 1976. Untuk mengusahakan tanah sebegitu luas yang diperolehnya dengan mengganti rugi kepada penggarap sebesar Rp 3 juta lebih -- tanpa Hak Guna Usaha (HGU) -- dia memakai nama 80 penduduk. Areal itu dulunya konon bekas perkebunan Belanda, yang sudah lama telantar dan digarap penduduk. Setelah cengkih mulai berbunga, 1981 Sastro cekcok dengan 80 penduduk tadi, karena mereka merasa tak memperoleh keuntungan seperti yang dijanjikan. Akibatnya, pembayaran PBB pun macet. Sastro tak mau membayar karena merasa bukan pemilik tanah, dan 80 penduduk juga menolak karena tak merasa mengutip hasil kebun. "Soal hasilnya dibagi bersama itu 'kan cuma janji Sastro," kata Darman, 46 tahun, yang namanya dipakai sebagai pemilik tanah itu.
Tampaknya, Soetarwi dan 22 aparat desa, bila mereka konsekuen, mungkin harus mengundurkan diri. Soalnya, Bupati Jombang, Noeroel Koesman, pekan lalu menegaskan, tidak akan menuruti tuntutan itu. "Mana boleh main usir begitu saja? Kalau ada orang tak bayar PBB, 'kan mestinya diadakan pendekatan yang baik. Kalau masih tak mau bayar, 'kan ada sanksinya," ujar Noeroel pada Budiono Darsono dari TEMPO.
"Apalagi, dalam memungut PBB kepala desa sifatnya hanya membantu," ujar Noeroel. Namun, ia berjanji akan meneliti kasus ini. Mengapa kepala desa mau membayar dulu PBB Sastro? Tampaknya, karena kepala desa memang yang selalu dituding bila pembayaran PBB di wilayahnya tidak beres. Lagi pula, "Kalau penduduk desa itu yang disuruh membayar, mereka mau makan apa?" ujar Soetarwi.
Baca juga:
Jejak Wallace di Jombang
Durian Wonosalam, Mengapa Lebih Mahal?
Yang ketiga, yang lebih heboh hingga saat ini, berita yang dirilis Majalah Tempo, edisi 15 Agustus 1987. Isinya tentang (lagi-lagi) secuil sengketa tanah dan perpajakan di kampung. Dulu saya memang sudah mendengar karut-marut masalah pertanahan dan perpajakan di kampung yang melibatkan banyak pejabat, termasuk (katanya) banyak jenderal dan pejabat negara di tingkat kabupaten maupun provinsi. Mereka memperebutkan tanah terlantar bekas perkebunan Belanda, juga memperebutkan untuk menjualnya. Tak salah jika saat itu terjadi perang bintang yang efeknya bisa dilihat sampai sekarang. Di kampung saya saat ini banyak tanah yang dikuasai oleh orang-orang luar daerah, termasuk bekas bupati, bekas sekda, pensiunan pemilik ”bintang” dan sebagainya.
Sementara penduduk biasa kebanyakan hanya menjadi penyaksi dan buruh-buruh perkebunan. Bukannya menyalahkan pembeli dari luar daerah, tapi lebih –kata-kata orang tua di kampung— karena tanah-tanah itu dijual murah oleh kepala desa dan carik (sekdes) waktu itu yang sekaligus berperan sebagai makelar. Tak hanya itu, mereka juga melakukan berbagai intimidasi kepada warga yang tak mau menjual tanahnya, termasuk distempel PKI!
Kebetulan, beberapa hari yang lalu saya bertemu bekas pejabat yang asli dari Jombang selatan. Saya tak tahu kalau dia ini tetangga kampung saya, saya hanya pernah mendengar namanya saja, dan ternyata dia itu bapaknya kawan sekolah saya waktu SMP. Banyak sekali dia bercerita tentang awal-mula kasus pertanahan di Jombang selatan ini yang melibatkan banyak jenderal dan pejabat termasuk perusahaan yang satu grup dengan perusahaan-perusahaan yang dimiliki anak bekas presiden. Kebenaran ceritanya saya tak tahu, tapi dari ceritanya itu tak jauh berbeda dengan cerita dari orang-orang tua di kampung. Pun orang-orang yang diceritakan saya tahu dan sekarang banyak yang masih hidup.
Kembali ke soal berita lama dari TEMPO, kasus perpajakan perkebunan yang melibatkan kades dan salah satu pemilik kebun cengkih. Pihak yang masuk berita ini saya kenal namanya, bahkan Sastrowidjoyo, villa mewahnya tak jauh dari rumah orang tua saya, sekitar seratus meter. Sejak kecil saya terbiasa bermain-main ke lokasi ini dan menikmati keindahan koleksi aneka bunga dan ratusan merpatinya. Pun saya terbiasa kalau pergi ke sekolah menumpang dan nggandol truk perkebunannya yang searah dengan arah SD saya jaraknya 2 km dan berada di dekat kaki gunung.
Dulu sebelum ada listrik masuk desa, bangunan ini sangat mentereng, terang-benderang dengan nyala lampu-lampu taman yang indah yang didukung genset dengan kapasitas yang cukup besar. Lampu-lampu tak hanya di pasang di rumah, tetapi juga dipasang di penjuru kebun yang dijadikan basecamp (luasnya kurang lebih sehektar, sementara di tempat lainnya yang masih satu desa hampir seratus hektar. Villa ini biasanya dikunjungi setiap hari sabtu dan minggu atau ketika musim panen cengkih (Juni-September). Ada penjaga kebunnya satu keluarga, ada juga 2 wanita yang kata orang kampung saya namanya senuk,yang istilah ini baru saya sadari beberapa tahun terakhir, yaitu sebutan untuk wanita simpanan atau gundik. Dalam bahasa orang Jombang, senuk kepanjangannya seneng manuk atau yang suka burung, entah apa arti sebenarnya :)
Inilah salah satu berita ”Kades Vs Sastrowidjoyo” yang saya nukil dari TEMPO, 15 Agustus 1987:
KEPUTUSAN yang diambil dalam rapat lembaga musyawarah desa (LMD) itu tegas: Sastrowidjojo, pemilik 100 hektar kebun cengkih di Desa Carangwulung, Kecamatan Wonosalam, Jombang, Jatim, itu dilarang bertani dan sekaligus diusir dari Carangwulung. Hasil rapat desa itu, 10 Mei lalu, dikirimkan kepala desa kepada Bupati Jombang, disertai ultimatum: bila Bupati tak mengabulkan permintaan mereka, kepala desa berikut 22 stafnya akan mengundurkan diri. Apa pasal?
"Sastrowidjojo itu memang keterlaluan," kata Soetarwi, kepala desa.
Menurut dia, Sastro itu terlalu pelit: tak mau membayar PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) yang besarnya sekitar Rp 150.000/tahun atas rumah dan kebun cengkih yang sudah menghasilkan itu. Jangankan PBB, "sumbangan kerja bakti cuma Rp 2.000 saja dia tak pernah mau membayar," kata Soetarwo, 55 tahun, carik desa.
Setiap petugas yang datang ke gedungnya malah didamprat Pak Sastro. Merasa habis daya, akhirnya LMD membuat rapat tadi. Tapi bolehkah mengusir orang dari desa? "Kami yakin, Pak Bupati memahami keinginan warganya. Jika tidak, apakah kepentingan semua warga bisa dikalahkan oleh kepentingan seorang Sastrowidjojo?" kata Soetarwi yang sudah 19 tahun memimpin desa itu.
Sastrowidjojo sebenarnya sudah membayar sebagian PBB (dulu Ipeda) sebesar Rp 282.000 untuk tahun 1976 sampai 1982. Setelah itu, dia selalu menampik, hingga selama empat tahun sampai tahun lalu, PBB itu dilunasi oleh kepala desa. "Saya bayari dulu sampai Rp 600.000," ujar Soetarwi, sembari menunjukkan tanda pembayaran PBB kebun itu.
Sejak rapat desa 10 Mei itu, Sastrowidjojo tak pernah terlihat menjenguk gedung dan kebunnya di kaki gunung itu. Ia diketahui tinggal di Surabaya. Ditemui di sana, Sastro, 49 tahun, terus terang menyatakan tak bersedia melunasi PBB itu. Alasannya, semua tanah itu bukan atas namanya, sedangkan tanaman cengkih itu milik orang Jakarta. Siapa? "Itu rahasia," katanya.
Tanah itu sampai sekarang memang masih atas nama sejumlah penduduk desa. Di sinilah tampaknya kasus berpangkal. Sastro datang ke Carangwulung dan membuka kebun cengkih pada 1976. Untuk mengusahakan tanah sebegitu luas yang diperolehnya dengan mengganti rugi kepada penggarap sebesar Rp 3 juta lebih -- tanpa Hak Guna Usaha (HGU) -- dia memakai nama 80 penduduk. Areal itu dulunya konon bekas perkebunan Belanda, yang sudah lama telantar dan digarap penduduk. Setelah cengkih mulai berbunga, 1981 Sastro cekcok dengan 80 penduduk tadi, karena mereka merasa tak memperoleh keuntungan seperti yang dijanjikan. Akibatnya, pembayaran PBB pun macet. Sastro tak mau membayar karena merasa bukan pemilik tanah, dan 80 penduduk juga menolak karena tak merasa mengutip hasil kebun. "Soal hasilnya dibagi bersama itu 'kan cuma janji Sastro," kata Darman, 46 tahun, yang namanya dipakai sebagai pemilik tanah itu.
Tampaknya, Soetarwi dan 22 aparat desa, bila mereka konsekuen, mungkin harus mengundurkan diri. Soalnya, Bupati Jombang, Noeroel Koesman, pekan lalu menegaskan, tidak akan menuruti tuntutan itu. "Mana boleh main usir begitu saja? Kalau ada orang tak bayar PBB, 'kan mestinya diadakan pendekatan yang baik. Kalau masih tak mau bayar, 'kan ada sanksinya," ujar Noeroel pada Budiono Darsono dari TEMPO.
"Apalagi, dalam memungut PBB kepala desa sifatnya hanya membantu," ujar Noeroel. Namun, ia berjanji akan meneliti kasus ini. Mengapa kepala desa mau membayar dulu PBB Sastro? Tampaknya, karena kepala desa memang yang selalu dituding bila pembayaran PBB di wilayahnya tidak beres. Lagi pula, "Kalau penduduk desa itu yang disuruh membayar, mereka mau makan apa?" ujar Soetarwi.
Baca juga:
Jejak Wallace di Jombang
Durian Wonosalam, Mengapa Lebih Mahal?
0 Komentar
Thanks for your visiting and comments!