Setelah lebih dari empat tahun berjalan dan banyak dilakukan perubahan kesamaan pendapat mengenai timbulnya krisis di Asia, kebijakan yang dilakukan serta reaksi pasar yang terjadi lebih tampak. Perbedaan pendapat mengenai bagaimana terjadinya krisis yang masih ada lebih disebabkan oleh adanya perbedaan sudut pandang yang tampaknya memang tak bisa dipertemukan. Perbedaan tersebut akhirnya bersumber pada kenyataan yang dipegang, sebagaimana berbagai aliran teori ekonomi mempunyai analisis dan konklusi yang berbeda mengenai berbagai hal.
Ada dua kelompok analisis mengenai krisis yang melanda Asia, pertama krisis disebabkan karena unsur eksternal yaitu perubahan pasar uang yang secara cepat menimbulkan panik finansial. Panik finansial ini dengan proses penularan (contagion) menjadi krisis. Kedua adalah krisis disebabkan karena lemahnya struktural di dalam perekonomian nasional, di dalam sistem keuangan atau perbankan dan praktek kapitalisme.
Itu awal krisis secara umum, namun berbeda dengan Indonesia, masalahnya lebih kompeks dan parah. Krisis ekonomi menjalar menjadi krisis sosial, politik dan budaya sehingga sulit sekali proses recovery-nya, disebabkan karena kelemahan struktural pada kehidupan sosial-politik serta lemahnya berbagi nilai budaya di masyarakat. Hal ini merupakan akibat dari penekanan pendekatan kemanan dengan penciptaan kestabilan sosial politik secara paksa dalam era kepemimpinan orde baru, maka yang terjadi hanyalah kestabilan semu.
BUKU dengan judul Gagalnya Pembangunan: Kajian Ekonomi Politik terhadap Akar Krisis Indonesia karya Andrinof A. Chaniago ini adalah sketsa lengkap ekonomi orde baru sejak berdiri hingga keruntuhannya. Kita akan diajak menjelajahi bangunan ekonomi orde baru dan melihat-lihat kelemahan, kekuatan, hambatan dan tantangannya yang dihadapi Indonesia saat ini dan yang akan datang. Dan yang menarik adalah tentang latar belakang dan asal muasal perubahan dramatis yang menimbulkan krisis ekonomi-politik sejak tahun 1997, dan sekaligus kemungkinan tantangan ke depan serta agenda-agenda ekonomi yang mendesak untuk dituntaskan. Dengan latar belakang sebagai seorang peneliti dan politikus, ia mengungkap penyebab kegagalan pembangunan yang dipaparkan secara lugas dengan disertai data-data empiris dan analisis tajam yang menggunakan metode pendekatan ekonomi politik.
Buku ini terdiri atas enam bagian. Di awal bagian penulis menguraikan tentang kegagalan pembangunan yang diawali dengan pengapdosian konsep-konsep pembagunan dalam penerapan strategi pembangunan. Dimana konsep tersebut diterapkan secara mentah-mentah tanpa penyesuaian struktural. Orientasi dari konsep tersebut adalah pertumbuhan ekonomi tanpa mewaspadai ancaman rezim modal internasional semacam IMF dan Bank Dunia, akibatnya Indonesia berada pada posisi terdikte. Kondisi ini juga didukung dengan keterlenaan para pembuat kebijakan dengan struktur ekonomi yang semakin rapuh, karena Indonesia adalah negara yang paling tidak siap menghadapi perubahan sruktural yang terjadi sejak awal tahun 1980-an (Hal. 3), mereka terlalu taat dengan nasehat lembaga internasional. Akibatnya, perekonomian Indonesia semakin terpuruk dalam jurang krisis.
Pada bagian kedua dijelaskan sejarah gagalnya pembangunan orde baru dengan tujuan untuk membuka dialog tentang hubungan kebijakan ekonomi, perkembangan struktur ekonomi orde baru dan pengaruhnya terhadap krisis ekonomi tahun 1997. Persoalan pokok penyebabnya adalah sikap pemerintah dan pelaku bisnis nasional yang menganggap sederhana fundamental ekonomi, karena mereka lebih asyik dengan berbagai kalkulasi laju pertumbuhan ekonomi, laju penerimaan pajak, laju pertumbuhan sektor-sektor modern, dan sebagainya. Rezim Soeharto semakin hyperpragmatis dalam membuat kebijakan ekonomi. Begitu jugan dengan kroni-kroni ekonominya semakin oportunistik ketika roda perekonomian nasional mulai sangat panas ketika memasuki paruh kedua 1990-an (hal. 73).
Dibagian ini pula penulis mulai mengetengahkan argumen yang berseberangan dengan para ekonom pada umumnya dalam memandang penyebab krisis ekonomi. Andrinof mengungkapkan bahwa kurang tepat jika krisis ekonomi Indonesia diakibatkan oleh krisis yang melanda Asia. Meskipun faktor ini ada, tetapi krisis Asia tidak dapat dideduksikan menjadi krisis Indonesia dan krisis Indonesia tidak bisa digeneralisasikan ke krisis Asia.
Selanjutnya pada bagian ketiga diungkap beberapa pergeseran model sektoral maupun regional pembangunan ekonomi yang sebelumnya ditujukan untuk memperkuat sistem perekonomian melalui aglomerasi industri manufaktur menjadi aglomerasi industri properti di Jabotabek dengan mengkomersialkan lahan yang berakibat buruk terhadap perekonomian nasional (hal. 94). Dikupas pula mengenai pebangunan jalan tol sebagai ajang bisnis yang mengabaikan hak-hak publik dan pemerataan pembangunan. Pembangunan jalan tol sebenarnya hanya sebagai pemenuhan kepentingan ekonomi sempit dan pragmatis antara pihak swasta dan pemerintah (Hal. 188).
Disamping itu juga dibahas masalah pembangunan perumahan serta dorongan untuk bersifat konsumtif terhadap barang-barang mewah dan impor yang sengaja diciptakan oleh pemerintah. Bagi pemerintah, meningkatnya konsumsi dan konsumtifisme masyarakat terhadap barang dan jasa berfungsi seperti mesin-mesin produksi untuk meningkatkan penerimaan melalui pungutan pajak dan retribusi (hal. 95).
Kemudian pada bagian berikutnya, penulis menyoroti jalannya pembangunan yang tidak seimbang yang berdampak pada rapuhnya sistem perekonomian dan sistem politik. Perekonomian Indonesia yang mudah terkoyak pada tahun 1997 bersumber pada timpangnya struktur sosial-ekonomi dan kemerosotan modal sosial selama sepuluh tahun terakhir rezim orde baru. Ketimpangan tersebut meliputi ketimpangan penyebaran aset di kalangan swasta, antarsektor ekonomi, antarwilayah, antarsub-wilayah, antargolongan sosial-ekonomi, desa-kota, dan ketimpangan pembangunan diri sebagian besar manusia Indonesia. Ini merupakan bentuk divestasi pembangunan yang tidak pernah dihitung sebagai pengeluaran pembangunan selama pemerintahan menjalankan roda pembangunan sejak paruh tahun 1980-an. Akhirnya ketimpangan tersebut berpengaruh terhadap sistem politik dan hukum yang menyalahgunakan fungsi birokrasi dan institusi militer untuk mempertahankan sistem politik yang sentralistis, otorier, dan tertutup demi eksistensi status quo. Hal ini dicontohkan oleh penulis dengan kasus-kasus di Riau. Rakyat Riau adalah salah satu contoh korban dari sistem politik dimana rakyat kecil pemilik tanah harus mengalah pada kalangan birokrasi (Camat dan Lurah) yang mendapat dukungan dari militer (Babinsa dan Koramil). Implikasi dari penggunaan kekuasaan seperti ini bukan saja pada masalah ekonomi tetapi juga pada hilangnya hak-hak politik. (hal. 251-252).
Selanjutnya pada bagian kelima penulis menyorot berbagai peristiwa sosial sebagai dampak kegagalan pembangunan ekonomi, politik dan hukum yang diterapkan rezim di masa orde baru. Para pembuat kebijakan dan para elit Indonesia telah menciptakan terjadinya polarisasi sosial dalam masyarakat, akibatnya pula terjadi polarisasi konflik yang dihasilkan oleh kombinasi polarisasi sikap politik dan polarisasi ekonomi. Berbagai kerusuhanpun terjadi dimana-mana. Puncaknya pada peristiwa 13-14 Mei 1998. Sedangkan peristiwa demi peristiwa yang mendahului, yang bersifat lokal, bagaikan titik-titik perjalanan peristiwa tersebut.
Pada bagian akhir buku ini, penulis memberikan alternatif untuk keluar dari krisis, dengan beberapa syarat yang dikemukakan. Pertama adalah mengklarifikasi krisis apa yang sebenarnya terjadi di Indonesia, karena persepsi yang berbeda memunculkan konsep yang berbeda pula dalam mencari jalan keluar. Kemudian berikutnya mencari pernyataan dan rumusan definisi yang paling komprehensif dan mengakomodasi substansi permasalahan.
Dikupas pula tentang reformasi tata ruang nasional sebagai salah satu skenario pemulihan krisis. Karena bila mengabaikan format ruang yang ada sekarang akan membuat dinamika demokratisasi yang berjalan sejak 1998 akan tetap mengandung gejala dikotomi. Kemudian tentang perbaikan sistem politik dimana sistem politik harus benar-benar ikut menjadikan setiap program pembangunan di berbagai bidang menjadi efektikf, serta diperlukan langkah agak radikal dan strategis bagi kalangan elit dalam memulai kembali pembangunan (hal 329).
BUKU ini nampak memprovokasi jika hanya dibaca permukaannya. Tetapi jika kita selami lebih dalam, —seperti uraian awal penulis— buku ini punya acuan yang jelas sebagai dasar argumentasi. Dengan penjelasan tersebut kiranya layak buku ini dijadikan bahan bacaan dan diskusi bagi kalangan birokrat, ekonom, politikus maupun akademisi. Sebagai sarana menyamakan persepsi, bahan renungan dan koreksi dalam menghadapi krisis yang berkepanjangan ini.
Ada dua kelompok analisis mengenai krisis yang melanda Asia, pertama krisis disebabkan karena unsur eksternal yaitu perubahan pasar uang yang secara cepat menimbulkan panik finansial. Panik finansial ini dengan proses penularan (contagion) menjadi krisis. Kedua adalah krisis disebabkan karena lemahnya struktural di dalam perekonomian nasional, di dalam sistem keuangan atau perbankan dan praktek kapitalisme.
Itu awal krisis secara umum, namun berbeda dengan Indonesia, masalahnya lebih kompeks dan parah. Krisis ekonomi menjalar menjadi krisis sosial, politik dan budaya sehingga sulit sekali proses recovery-nya, disebabkan karena kelemahan struktural pada kehidupan sosial-politik serta lemahnya berbagi nilai budaya di masyarakat. Hal ini merupakan akibat dari penekanan pendekatan kemanan dengan penciptaan kestabilan sosial politik secara paksa dalam era kepemimpinan orde baru, maka yang terjadi hanyalah kestabilan semu.
***
BUKU dengan judul Gagalnya Pembangunan: Kajian Ekonomi Politik terhadap Akar Krisis Indonesia karya Andrinof A. Chaniago ini adalah sketsa lengkap ekonomi orde baru sejak berdiri hingga keruntuhannya. Kita akan diajak menjelajahi bangunan ekonomi orde baru dan melihat-lihat kelemahan, kekuatan, hambatan dan tantangannya yang dihadapi Indonesia saat ini dan yang akan datang. Dan yang menarik adalah tentang latar belakang dan asal muasal perubahan dramatis yang menimbulkan krisis ekonomi-politik sejak tahun 1997, dan sekaligus kemungkinan tantangan ke depan serta agenda-agenda ekonomi yang mendesak untuk dituntaskan. Dengan latar belakang sebagai seorang peneliti dan politikus, ia mengungkap penyebab kegagalan pembangunan yang dipaparkan secara lugas dengan disertai data-data empiris dan analisis tajam yang menggunakan metode pendekatan ekonomi politik.
Buku ini terdiri atas enam bagian. Di awal bagian penulis menguraikan tentang kegagalan pembangunan yang diawali dengan pengapdosian konsep-konsep pembagunan dalam penerapan strategi pembangunan. Dimana konsep tersebut diterapkan secara mentah-mentah tanpa penyesuaian struktural. Orientasi dari konsep tersebut adalah pertumbuhan ekonomi tanpa mewaspadai ancaman rezim modal internasional semacam IMF dan Bank Dunia, akibatnya Indonesia berada pada posisi terdikte. Kondisi ini juga didukung dengan keterlenaan para pembuat kebijakan dengan struktur ekonomi yang semakin rapuh, karena Indonesia adalah negara yang paling tidak siap menghadapi perubahan sruktural yang terjadi sejak awal tahun 1980-an (Hal. 3), mereka terlalu taat dengan nasehat lembaga internasional. Akibatnya, perekonomian Indonesia semakin terpuruk dalam jurang krisis.
Pada bagian kedua dijelaskan sejarah gagalnya pembangunan orde baru dengan tujuan untuk membuka dialog tentang hubungan kebijakan ekonomi, perkembangan struktur ekonomi orde baru dan pengaruhnya terhadap krisis ekonomi tahun 1997. Persoalan pokok penyebabnya adalah sikap pemerintah dan pelaku bisnis nasional yang menganggap sederhana fundamental ekonomi, karena mereka lebih asyik dengan berbagai kalkulasi laju pertumbuhan ekonomi, laju penerimaan pajak, laju pertumbuhan sektor-sektor modern, dan sebagainya. Rezim Soeharto semakin hyperpragmatis dalam membuat kebijakan ekonomi. Begitu jugan dengan kroni-kroni ekonominya semakin oportunistik ketika roda perekonomian nasional mulai sangat panas ketika memasuki paruh kedua 1990-an (hal. 73).
Dibagian ini pula penulis mulai mengetengahkan argumen yang berseberangan dengan para ekonom pada umumnya dalam memandang penyebab krisis ekonomi. Andrinof mengungkapkan bahwa kurang tepat jika krisis ekonomi Indonesia diakibatkan oleh krisis yang melanda Asia. Meskipun faktor ini ada, tetapi krisis Asia tidak dapat dideduksikan menjadi krisis Indonesia dan krisis Indonesia tidak bisa digeneralisasikan ke krisis Asia.
Selanjutnya pada bagian ketiga diungkap beberapa pergeseran model sektoral maupun regional pembangunan ekonomi yang sebelumnya ditujukan untuk memperkuat sistem perekonomian melalui aglomerasi industri manufaktur menjadi aglomerasi industri properti di Jabotabek dengan mengkomersialkan lahan yang berakibat buruk terhadap perekonomian nasional (hal. 94). Dikupas pula mengenai pebangunan jalan tol sebagai ajang bisnis yang mengabaikan hak-hak publik dan pemerataan pembangunan. Pembangunan jalan tol sebenarnya hanya sebagai pemenuhan kepentingan ekonomi sempit dan pragmatis antara pihak swasta dan pemerintah (Hal. 188).
Disamping itu juga dibahas masalah pembangunan perumahan serta dorongan untuk bersifat konsumtif terhadap barang-barang mewah dan impor yang sengaja diciptakan oleh pemerintah. Bagi pemerintah, meningkatnya konsumsi dan konsumtifisme masyarakat terhadap barang dan jasa berfungsi seperti mesin-mesin produksi untuk meningkatkan penerimaan melalui pungutan pajak dan retribusi (hal. 95).
Kemudian pada bagian berikutnya, penulis menyoroti jalannya pembangunan yang tidak seimbang yang berdampak pada rapuhnya sistem perekonomian dan sistem politik. Perekonomian Indonesia yang mudah terkoyak pada tahun 1997 bersumber pada timpangnya struktur sosial-ekonomi dan kemerosotan modal sosial selama sepuluh tahun terakhir rezim orde baru. Ketimpangan tersebut meliputi ketimpangan penyebaran aset di kalangan swasta, antarsektor ekonomi, antarwilayah, antarsub-wilayah, antargolongan sosial-ekonomi, desa-kota, dan ketimpangan pembangunan diri sebagian besar manusia Indonesia. Ini merupakan bentuk divestasi pembangunan yang tidak pernah dihitung sebagai pengeluaran pembangunan selama pemerintahan menjalankan roda pembangunan sejak paruh tahun 1980-an. Akhirnya ketimpangan tersebut berpengaruh terhadap sistem politik dan hukum yang menyalahgunakan fungsi birokrasi dan institusi militer untuk mempertahankan sistem politik yang sentralistis, otorier, dan tertutup demi eksistensi status quo. Hal ini dicontohkan oleh penulis dengan kasus-kasus di Riau. Rakyat Riau adalah salah satu contoh korban dari sistem politik dimana rakyat kecil pemilik tanah harus mengalah pada kalangan birokrasi (Camat dan Lurah) yang mendapat dukungan dari militer (Babinsa dan Koramil). Implikasi dari penggunaan kekuasaan seperti ini bukan saja pada masalah ekonomi tetapi juga pada hilangnya hak-hak politik. (hal. 251-252).
Selanjutnya pada bagian kelima penulis menyorot berbagai peristiwa sosial sebagai dampak kegagalan pembangunan ekonomi, politik dan hukum yang diterapkan rezim di masa orde baru. Para pembuat kebijakan dan para elit Indonesia telah menciptakan terjadinya polarisasi sosial dalam masyarakat, akibatnya pula terjadi polarisasi konflik yang dihasilkan oleh kombinasi polarisasi sikap politik dan polarisasi ekonomi. Berbagai kerusuhanpun terjadi dimana-mana. Puncaknya pada peristiwa 13-14 Mei 1998. Sedangkan peristiwa demi peristiwa yang mendahului, yang bersifat lokal, bagaikan titik-titik perjalanan peristiwa tersebut.
Pada bagian akhir buku ini, penulis memberikan alternatif untuk keluar dari krisis, dengan beberapa syarat yang dikemukakan. Pertama adalah mengklarifikasi krisis apa yang sebenarnya terjadi di Indonesia, karena persepsi yang berbeda memunculkan konsep yang berbeda pula dalam mencari jalan keluar. Kemudian berikutnya mencari pernyataan dan rumusan definisi yang paling komprehensif dan mengakomodasi substansi permasalahan.
Dikupas pula tentang reformasi tata ruang nasional sebagai salah satu skenario pemulihan krisis. Karena bila mengabaikan format ruang yang ada sekarang akan membuat dinamika demokratisasi yang berjalan sejak 1998 akan tetap mengandung gejala dikotomi. Kemudian tentang perbaikan sistem politik dimana sistem politik harus benar-benar ikut menjadikan setiap program pembangunan di berbagai bidang menjadi efektikf, serta diperlukan langkah agak radikal dan strategis bagi kalangan elit dalam memulai kembali pembangunan (hal 329).
***
BUKU ini nampak memprovokasi jika hanya dibaca permukaannya. Tetapi jika kita selami lebih dalam, —seperti uraian awal penulis— buku ini punya acuan yang jelas sebagai dasar argumentasi. Dengan penjelasan tersebut kiranya layak buku ini dijadikan bahan bacaan dan diskusi bagi kalangan birokrat, ekonom, politikus maupun akademisi. Sebagai sarana menyamakan persepsi, bahan renungan dan koreksi dalam menghadapi krisis yang berkepanjangan ini.
Judul Buku: Gagalnya Pembangunan: Kajian Politik terhadap Akar Krisis Indonesia
Penulis: Andrinof A. Chaniago
Penerbit: LP3ES
Cetakan: Agustus, 2001
Tebal Buku: xxiv + 356 Halaman
#Update: Mengenang buku ini. Tulisan lama pada bulan Oktober 2001 dari buku yang sempat saya baca ketika itu. Lagi ramai-ramainya topik buku semacam ini pasca pemulihan krisis ekonomi 1997-1998. Dan buku ini pada tahun 2005 dipinjam seorang tetangga kamar kost di Bogor dan hingga kini belum dikembalikan.
3 Komentar
Pascareformasi, buku semacam ini memang lagi ramai ditulis dan dibaca. Meski demikian, saat ini pun masih penting untuk dikaji. Semoga setelah tulisan ini dimunculkan, buku tersebut dikembalikan oleh yang minjem ya, Cak, hehehe....
BalasHapusbenar pak ustadz, dengan sajian dan sudut pandang yg berbeda-beda tentunya. Sudah sy ikhlaskan kok buku itu, mudah-mudahan dibaca dan bermanfaat, cuma terkenang lucu saja, tetangga kamar kost saya itu, sorenya pinjam, padahal selepas subuh dia mau pindahan ke luar kota. Lha saya-nya ketika itu kok mau-maunya meminjami :)
HapusOw saya pikir ketinggalan amat ini tulisan, ternyata memang tulisan lama ya :)
BalasHapusWell, sy pikir buku ini tdk bisa lagi dijadikan rujukan, sekedar baca ok de. Seburuk2nya prestasi masa lampau yg di klaim org Indonesia zaman reformasi ini masih lebih baik dri kondisi skrg. Soal impor saja, hari ini kita mengimpor 200 kali lebih tinggi dari zaman orde baru. bedanya sampai 50 trilyun kerugian negara hari ini dibanding dgn ekonomi orde baru heuheu
Thanks for your visiting and comments!