SELAMA bulan Ramadan ini, masyarakat masih saja dihadapkan pada harga-harga kebutuhan pokok yang tinggi. Tampaknya, harga yang sudah tinggi itu pun masih akan naik.
Rentetan melambungnya harga kebutuhan pokok, terutama pangan, pada tahun 2013 ini sangat menghebohkan perekonomian. Diawali dengan kenaikan harga daging, kemudian harga bawang merah, bawang putih, cabai, bahkan disusul kemudian dengan kenaikan harga jengkol dan petai. Kemudian, di akhir bulan Juni, ditambah lagi dengan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Puncaknya terakumulasi pada beberapa hari menjelang Lebaran.
Rentetan melambungnya harga kebutuhan pokok, terutama pangan, pada tahun 2013 ini sangat menghebohkan perekonomian. Diawali dengan kenaikan harga daging, kemudian harga bawang merah, bawang putih, cabai, bahkan disusul kemudian dengan kenaikan harga jengkol dan petai. Kemudian, di akhir bulan Juni, ditambah lagi dengan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Puncaknya terakumulasi pada beberapa hari menjelang Lebaran.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, menjelang hari-hari besar seperti Ramadan dan Idul Fitri selalu diiringi dengan kenaikan harga-harga barang kebutuhan pokok. Entah ini karena mengikuti hukum ekonomi bahwa permintaan yang tinggi terhadap suatu barang menjelang hari-hari besar akan selalu diikuti kenaikan harga atau antisipasi pemerintah yang lamban dalam penyediaan kebutuhan. Padahal ini merupakan fenomena musiman yang rutin mengiringi momentum hari-hari besar yang seharusnya bisa diantisipasi lebih dini.
Hal tersebut menunjukkan bahwa pemerintah kurang optimal dalam bekerja untuk meredam lonjakan harga barang. Lihat saja tarik ulur yang terjadi terkait dengan impor kebutuhan pokok dan operasi pasar. Itu dilakukan secara sporadis dan terkesan hanya meredam riak-riak ekonomi daripada membendung gelombang ekonomi yang lebih besar.
Mestinya impor dan operasi pasar sudah dilakukan jauh-jauh hari sebelum bulan Ramadan dan para spekulan telanjur bermain-main menciptakan riak-riak dan gelombang ekonomi yang membahayakan perekonomian bangsa.
Kondisi melambungnya harga-harga kebutuhan pokok tersebut tentu saja menyebabkan masyarakat, terutama kalangan menengah dan bawah, semakin limbung. Mau tidak mau, mereka pasti merevisi anggaran belanja hariannya. Dan meskipun bulan puasa seperti saat ini, kebiasaan yang umum terjadi pada masyarakat bukannya mengurangi konsumsi, tetapi justru konsumsi semakin meningkat, sebuah fenomena yang kontradiktif.
Inflasi
Kenaikan harga bahan kebutuhan pokok secara serempak seperti itu tentu juga menimbulkan gelombang ekonomi yang lebih besar, setidaknya tingkat inflasi semakin tinggi. Bank Indonesia (BI) merilis bahwa inflasi pada bulan Juni 2013 berada pada angka 1,03 persen dengan sumbangan bahan makanan, makanan jadi, transportasi, dan komunikasi. Ini tentu belum ada andil yang signifikan dari kenaikan harga BBM karena baru dinaikkan pada akhir Juni.
Ada sesuatu yang luar biasa dan "tidak biasanya" dalam angka-angka inflasi tersebut. Beras, cabai, bawang merah, dan daging biasanya memberi andil terhadap inflasi, ternyata menurut Badan Pusat Statistik, petai juga menyumbang inflasi 0,02 persen. Ini di luar dugaan. Petai yang selama ini dianggap inferior ternyata sudah mulai bisa menjadi teror perekonomian.
Selanjutnya, BI juga memprediksi bahwa inflasi Juli-Agustus bisa sampai 2,3 persen karena dampak kenaikan harga BBM dan kebutuhan pokok semakin besar. Jika benar inflasinya sebesar itu, tentu sangat mengkawatirkan. Sebab perhitungan inflasi tahunan yang juga dilakukan BI sudah tinggi.
Februari sampai Juni, inflasi tahunan berada pada kisaran 5,31 persen sampai 5,9 persen. Jika ditambah lagi dengan 2,.3 persen, berarti besaran inflasi yang menjadi target pemerintah sebesar 7,2 persen akan terlewati. Sekali lagi, ini tingkat inflasi yang sangat merisaukan.
Inflasi memang tak selamanya buruk jika diringi dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang proporsional. Namun, yang paling sering terjadi dan kasat mata terlihat, inflasi justru membuat masyarakat semakin miskin. Ini bisa membuat pemerintah kelimpungan karena daya beli masyarakat semakin limbung. Sementara kebutuhan lambung atau pangan tak bisa dibendung dan sangat berisiko, bahkan bisa merontokkan sebuah pemerintahan.
Pertanian
Maka, pemerintah seharusnya sesegera mungkin mengambil tindakan. Bukan hanya jangka pendek untuk sekadar mengatasi kenaikan harga-harga kebutuhan pokok. Lebih dari itu, dicari formula dalam jangka panjang untuk meredam gelombang ekonomi seperti itu. Kenaikan harga-harga sering kali diredam dengan impor dan operasi pasar yang sifatnya sporadis dan tak menyeluruh. Ini sama saja mengoleskan balsem pereda nyeri yang sebentar menghilangkan rasa sakit tanpa menyentuh pusat sakitnya.
Bukannya "mengharamkan" impor dan operasi pasar, tetapi kalau terus-terusan, sampai kapan jika tak mandiri berproduksi. Pemerintah harus mampu mengatasi masalah distribusi dan jaringan kartel yang dimainkan para spekulan. Sebagai negara agraris, sudah selayaknya Indonesia mandiri dari sisi pangan.
Sangat ironis jika kebutuhan pokok semacam pangan saja harus impor, sementara Indonesia sebenarnya mampu berproduksi. Secara ekonomi dan politik, kondisi seperti ini jelas memosisikan bangsa menjadi semakin rentan serta berpotensi menimbulkan ancaman kedaulatan negara.
Intinya, pemerintah harus mampu membangun kemandirian pangan dan berani keluar dari jeratan impor kebutuhan pokok dengan cara merevitaliasi sektor pertanian-peternakan. Sebagai negara agraris dengan sumber daya yang melimpah dan tradisi pertanian panjang, sudah waktunya pemerintah kembali bertani dengan lembaran-lembaran baru. Di antaranya melalui program-program terencana yang lebih terarah dan perbaikan sistem produksi, distribusi, maupun target pasar. Kebutuhan pasar harus menjadi acuan sebelum menentukan komoditas yang harus diproduksi sehingga tidak terjadi fluktuasi yang bisa berdampak pada stabilitas harga sehingga merugikan petani.
Dengan terbangunnya pertanian, bukan saja untuk menghasilkan pangan, tetapi juga memberdayakan petani dalam negeri dengan segala potensi yang dimilikinya. Selain itu, jika kebutuhan pokok seperti ini terpenuhi dari dalam negeri, tentu akan memotong mata rantai perdagangan barang-barang kebutuhan pokok dari pasar internasional. Impor selama ini dikuasai kelompok-kelompok tertentu yang membentuk gerombolan-gerombolan jahat semacam kartel-kartel perdagangan kebutuhan pokok.
*Artikel ini telah dimuat di Harian Koran Jakarta, Rabu, 24 Juli 2013
2 Komentar
kapan ya petani bisa maju kalo pemerintah setengah setengah untuk mengembangkan pertanian
BalasHapusjepang yang tanahnya tidak subur saja ingin mengembangkan pertanian, dan indonesia malah kebalikannya
sipp saya sepakat dengan tulisannya...
BalasHapussemacam sayur2an tidak seharusnyalah mahal, dan bawang itu tidak perlu import,, karena kita pun punya banyak petani bawang, eks. di daerah saya...
Thanks for your visiting and comments!