Judul bukunya sangat menentang dan menantang arus yang selama ini, setidaknya oleh saya, saya pegang erat-erat. Ya, selama ini saya memaknai cinta secara dangkal, cenderung “nakal” dan “brutal” serta membabi buta.
Bukan Cinta yang Buta, Engkaulah yang Buta, begitulah judul buku yang beliau tampilkan dengan tagline Kidung Cinta Pencerah Jiwa. Buku setebal 101 halaman dan terbit pada bulan maret 2013 lalu, merupakan kompilasi tulisan-tulisan beliau yang pernah ditayangkan di blog kompasiana.com. Dari tampilan cover-nya saja sudah mengarah dan mengajak untuk merenungkan kembali makna kehidupan (cinta) agar lebih mencerahkan. Sekali lagi, baru dari tampilan covernya!
Selanjutnya, membaca tulisan-tulisan dalam buku ini seolah kita diajak dalam perjalanan cinta menuju kesejatian cinta. Dalam liku-liku perjalanan (membaca dan merenung), kita dipaksa untuk memaknai cinta dengan se-obyektif mungkin dan dengan rasionalitas tinggi langit. Dengan kata-kata yang puitis (meskipun penulisnya sendiri tidak mengakui kalau itu puisi), kejadian-kejadian kehidupan cinta yang “sadis” dan “dramatis” tetap bisa dituangkan dengan kritis dan penuh nilai filosofis. Simak saja tulisan beliau dengan judul yang juga dijadikan judul dalam buku ini, Bukan Cinta yang Buta, Engkaulah yang Buta, pada halaman 52, paragraf atau bait ke 2 sampai 5:
Ketika cinta itu membutakan hatimu, sesungguhnya kau membawa cinta dengan cahaya yang remang-remang. Engkau hanya mengenali sebagian wajah orang yang kau cintai, dengan keterbatasan penglihatanmu. Engkau masukkan ia kedalam hatimu, menjadi bayang-bayang dalam lamunanmu. Suaranya menjadi kidung yang terindah yang pernah kau dengar. Sosoknya menjadi pemandangan yang paling menakjubkan yang pernah kau lihat. Bahasa tubuhnya menjadi tarian yang menawan yang pernah kau saksikan. Apa pun yang berhubungan dengannya nyaris tak ada yang cacat. Kau sebut-sebut namanya setiap saat, dalam igauan sekali pun.
Kau tahu, kesempurnaan kekasihmu hanyalah imajinasimu. Kau tahu, kesempurnaan kekasihmu hanyalah ilusimu. Cintalah yang menyempurnakannya, bukan penglihatan dan perasaanmu.
Ketika cintamu buta, yang berkata adalah nafsu. Keinginan memiliki yang tercinta untuk kepentinganmu lah yang membimbingmu. Kau pilih dia untuk kepentingan ego-mu. Dengan caramu mencintainya, engkau meminta dengan halus agar yang tercinta pasrah dan menyerah dalam pelukanmu, dan memuaskan hasratmu.
Setiap cinta yang menggebu-gebu lekas berlalu. Sementara cinta seperti sebuah aliran sungai yang tenang dan bening yang melewati kedua tepinya, membasahi akar bunga-bunga, pohon dan perdu yang memberi kehidupan bagi yang dilewatinya. Cinta tak menutup mata terhadap keajaiban semesta di sekelilingnya. Cinta adalah sungai kehidupan yang mengalir ke samudera kasih sayang tanpa batas dan tanpa tepi.
Kritis dan penuh nilai filosifis, itu yang saya tangkap. Dari tulisan itu, sepertinya penulis ingin melakukan “audit” makna cinta yang selama ini seringkali salah kaprah dimaknai –setidaknya oleh saya. Paling-paling saya memaknai cinta hanya sebatas sebagai tukang cangkul, yang tak romantis, yang tak kritis, yang tak bernilai filosifis. Cinta seorang pencangkul, sederhana saja, hanya bisa memanifestasikan dengan tetap menjaga harmoni cinta dengan tanah, air, tanaman dan lingkungan sekitar bahkan lingkungan global. “Menyayangi” tanah dengan mengolah sebaik-baiknya, menjaga kesuburannya, serta tidak mengeksploitasinya. Itu saja, tak kurang tak lebih.
Buku ini sangat kaya dengan dengan rujukan dari orang-orang hebat seperti Rumi, Ghazali, Mario Teguh, Gandhi, dan bahkan mungkin (karena tak tertulis) untuk tulisan Pengemis Cinta, Bebaskan Jiwamu (hanya ada di blognya) ada pengaruh dari penyanyi masa lalu Jhony Iskandar :)
Sungguh membaca buku ini, saya yang tak romantis menjadi sedikit melankolis, meski sedikit meringis dalam “mengais-ngais” nilai-nilai filosofisnya!
4 Komentar
suka sama yang satu ini : Kau tahu, kesempurnaan kekasihmu hanyalah imajinasimu. Kau tahu, kesempurnaan kekasihmu hanyalah ilusimu. Cintalah yang menyempurnakannya, bukan penglihatan dan perasaanmu.
BalasHapusKenyataannya kita emang egois berharap diterima apa adanya tapi menuntut lebih. *sigh*
Salam kenal :)
Penggalan isi buku yang mas Jun kutip itu memang sungguh indah maknanya, dalam sekali kalau dihayati.
BalasHapusBlogwalking ...
BalasHapusMas Jun, terima kasih...
HapusThanks for your visiting and comments!