“Performance” dari Bubur Manado ini sangat berbeda dengan jenir bubur lain yang ada, setidaknya dengan bubur yang pernah saya nikmati. Warnanya "menyala" dan sangat mencolok, serta bahan-bahan yang penataannya “tumpang tindih”. Wajar saja, Bubur Manado ini terbuat dari ragam bahan seperti beras, umbi-umbian, labu, jagung, bermacam sayuran, aneka rempah, dan ikan sebagai lauknya. Selain ikan sebagai pendamping atau pelengkapnya, Bubur Manado biasa dihidangkan dengan sambal tomat, sambal roa dan perkedel yang berbanan dasar jagung. Adapun bumbu-bumbu yang umum digunakan diantaranya cabai, bawang, daun salam, garam, serai, jahe, dan bermacam rempah-rempah lainnya yang menghasilkan cita rasa yang eksotis dan “garis rasa” yang kuat.
Dari bahan-bahan itu tampak sekali menu ini saling melengkapi dalam kandungan nutrisinya. Ada bahan yang mengandung karbohidrat sebagai sumber kalori, ada yang mengandung vitamin dan mineral, dan bahan lainnya mengandung protein yang bisa menopang kebutuhan tubuh untuk aktivitas sehari-hari. Bahkan untuk bahan sumber karbohidrat tak hanya satu, ada banyak bahannya. Ada beras, jagung, labu, dan umbi-umbian. Tentu ini sangat baik dan menarik karena tidak bergantung pada satu jenis bahan saja.
Demikian halnya dengan ikan, tak terbatas pada satu jenis ikan. Seorang kawan dari Manado bahkan pernah memasak dan mengatakan bahwa ikan yang dipakai bisa ikan teri, tak harus ikan dabu-dabu atau cakalang yang harganya relatif mahal. Sementara untuk sayuran juga beragam. Setidaknya ada kangkung, bayam, kemangi, dan gedi. Gedi merupakan sayuran khas Sulawesi Utara. Sementara kemangi bisa didapati di hampir penjuru negeri. Kemangi selain memberikan rasa yang eksotis, juga mampu menghadirkan aroma Bubur Manado yang khas.
Awalnya “Menu Krisis”
Sejak kapan bubur manado ini ada? Belum ada literatur yang jelas yang membahas sejarah terciptanya bubur manado ini. Hanya beberapa cerita yang mengalir dari mulut ke mulut dan versinya pun beragam. Ada yang mengisahkan kisah seorang petani yang kemalaman di ladang yang kehabisan bekal makanan kemudian mencipakan Bubur Manado dari bahan-bahan atau tanaman yang ada di ladangnya.
Ada juga yang mengisahkan karena akibat kemiskinan yang mendera di jaman kolonial sehingga memaksa masyarakat mencari alternatif selain pangan utama (beras/nasi) yang harganya relatif lebih murah dan mudah didapat. Sementara versi lain menyebutkan kisah para pejuang/prajurit yang sedang bertempur membutuhkan logistik yang instan atau cepat saji serta mudah didapat. Dari kisah-kisah itu kemudian memunculkan menu Bubur Manado ini.
Terlepas dari kebenaran cerita itu, ada hal yang menarik yang bisa dijadikan dasar “penyimpulan sementara” dari cerita-cerita itu. Bahwa Bubur Manado awalnya adalah “menu krisis” ketika masyarakat dihadapkan pada persoalan yang terkait dengan pangan. Entah itu terkait dengan keadaan ekonomi maupun kondisi darurat (perang). Keadaan ekonomi (krisis) dan perang memang seringkali menghadirkan banyak kesulitan dalam kehidupan, termasuk urusan pangan ini.
Memanfaatkan Ragam Potensi Alam
Hal yang menarik lainnya dari Bubur Manado ini adalah adanya pemanfaatan sumber daya alam yang beragam untuk membuat menu sehat dan kaya nutrisi serta tidak tergantung pada satu komoditas pangan utama (beras) saja. Dengan kata lain, sesungguhnya makanan ini tercipta karena daya adaptasi masyarakat dengan kondisi lingkungan geografis dan sumberdaya alam yang tersedia, termasuk juga aspek kultur dan lingkungan soial masyarakatnya.
Sulawesi Utara memiliki kondisi geografis dan kekayaan alam yang subur sebagai penghasil jagung, ketela atau umbi-umbian, sayuran, dan rempah-rempah yang jenisnya sangat beragam. Sementera itu bentangan garis pantai yang sangat panjang juga memungkinkan keberlimpahan produksi ikan. Sementara secara kultur dan kehidupan sosial, menu ini juga dikenal sebagai perekat kehidupan sosial karena bisa “diterima” semua masyarakat. Selama ini kita mengenal Sulawesi Utara yang masyarakatnya heterogen, baik terkait suku dan agama, mempunyai banyak kuliner yang sedikit “ekstrim”, yang tidak semua masyarakatnya yang heterogen itu, bisa menikmatinya karena terkait masalah sosial, budaya, dan terutama keyakinan. Bubur Manado bisa diterima karena tak ada unsur daging (merah) dari jenis tertentu yang untuk sebagian masyarakat tidak diperbolehkan untuk mengonsumsinya.
Kemudian dalam konteks membangun ketahanan pangan (nasional), hal inilah yang harusnya mendapat perhatian kita bersama. Kita (Indonesia) ini sesungguhnya kaya akan bahan pangan yang beragam, tidak hanya beras. Masih banyak bahan-bahan pangan lain yang bisa menjadi pangan utama kita. Bubur Manado dan mungkin penganan lain yang ada di seluruh penjuru negeri sudah selayaknya kita angkat, kita kenalkan dan kita globalkan.
Dengan demikian tingkat ketergantungan pada satu sumber pangan bisa kita kurangi, sekaligus kita mengangkat citra dan kekayaan pangan lokal kita. Semoga!
6 Komentar
Saya suka bubur Manado, karena menurut saya ini bubur paling sehat karena tercampur banyak sayuran. Kalau melihat dari tradisi Cina, tempat asalnya sajian bubur, sayur disantap terpisah dengan bubur dan itu yang sering absen dari sajian bubur yang sering kita jumpai sehari-hari.
BalasHapusdi sini belum pernah nemu makanan khas manado, apalagi buburnya. :3 jadi kayaknya harus ke manado langsung deh~
BalasHapusSaya kok belum pernah tau ya Bubur Manado. Hahaa. Kayaknya saya harus ke wilayah asalnya. Sulawesi kan.
BalasHapuswah mmng bener harusnya makan mkannan kyk gini
BalasHapusTerus terang saya belum pernah mencicipi menu Bubur Menado seperti ini. Sesekali kami hanya melahap menu Bubur Ayam. Bubur Menado menu yang spesial dan menarik. Wisata kuliner telah menjadi aktifitas sebagian masyarakat kita. Menu-menu dengan cita rasa khas dan spesial akan diburu oleh konsumennya. Salam cemerlang!
BalasHapusbubur manado itu salah satu makanan favorit saya, berasal dari kampung halaman mama.. enak dan menyehatkan.. :-D
BalasHapusternyata berawal dari krisis ya? hahaha...
Thanks for your visiting and comments!