DALAM sebuah kelas sore ada satu pertanyaan tak terduga dan sangat menggelitik, setidaknya bagi saya, yang dilontarkan seorang mahasiswi: "Jengkol itu dibuat dari bahan apa?". Sekali lagi, bagi saya ini tentu pertanyaan yang menggelitik. Dalam benak saya, ternyata tak semua orang muda (mahasiswa/mahasiswi) saat ini mengenal komoditas jengkol. Padahal, tahun 2013 lalu jengkol menghiasi media massa akibat harganya melangit dan bersama komoditas petai menyumbang 0.02 persen terhadap besaran inflasi. Sebuah fenomena ekonomi yang "tidak elit", "tidak bonafid", inflasi yang disebabkan oleh komoditas yang selama ini sering kita pandang sebelah mata (inferior).
Pertanyaan itu tak salah kalau terlontar dari anak-anak muda jaman sekarang. Awalnya saya menduga ia hanya "bercanda" atau "menguji" saya dengan melontarkan pertanyaan seperti itu. Namun, setelah saya meyakinkan diri dengan menanyakan balik apakah dia memang benar-benar tidak tahu jengkol, saya pun menyarankannya search engine di google saja dan/atau membaca media-media yang membahas komoditas pertanian yang "eksotis" ini yang pada 2013 lalu sedikit banyak membuat heboh perekonomian Indonesia.
Saya pun menyadari, mungkin ia, yang melontarkan pertanyaan itu bukan penggemar jengkol atau memang "anak kota" yang kehidupannya sedikit "terpisah" dengan lingkungannya. Ditambah lagi dengan komoditas jengkol yang memang seringkali dipandang sebagai makanan ndeso yang layak dijauhi, meski tak sedikit pula yang menggemari, yang kadang-kadang menikmati sambil sembunyi-sembunyi takut turun gengsi.
Dan saya sendiri sebagai salah satu jengkolholic (penikmat jengkol) biasa menikmati jengkol segar tanpa pengolahan berlebih, hanya direndam sehari semalam untuk mengurangi aroma dan zat jengkolatnya kemudian dinikmati dengan sambal terasi dan ikan asin bakar, itu sudah bisa "melupakan segalanya". Selain itu, jengkol bisa juga dibuat semur jengkol, balado jengkol, jengkol goreng, ataupun dibuat sate jengkol. Nah, ragam resep dan kuliner berbahan jengkol inilah setidaknya bisa menaikan citra dan cita rasa jengkol.
Dalam berbagai literatur disebutkan bahwa jengkol merupakan tanaman khas Asia Tenggara yang termasuk suku polong-polongan dengan buah berupa polong dan gepeng, berwarna lembayung tua atau coklat kehitaman. Jengkol dapat menimbulkan bau tidak sedap pada urin setelah diolah dan diproses oleh pencernaan, terutama bila dimakan segar sebagai lalap. Jengkol diketahui dapat mencegah diabetes dan bersifat diuretik dan baik untuk kesehatan jantung. Tanaman jengkol diperkirakan juga mempunyai kemampuan menyerap air tanah yang tinggi sehingga bermanfaat dalam konservasi air di suatu tempat.
Kaya Gizi
Meskipun sering dianggap sebagai makanan kelas rendah, hasil penelitian menunjukkan bahwa jengkol juga kaya akan karbohidrat, protein, vitamin A, vitamin B, fosfor, kalsium, alkaloid, minyak atsiri, steroid, glikosida, tanin, dan saponin. Selain itu, mengutip senior.com disebutkan bahwa 100 gram jengkol mengandung vitamin C sebesar 80 mg, sedangkan angka kecukupan gizi yang dianjurkan per hari adalah 75 mg untuk wanita dewasa dan 90 mg untuk pria dewasa.
Jengkol juga merupakan sumber protein yang baik, yaitu mengandung 23,3 gram per 100 gramnya. Kadar proteinnya jauh melebihi tempe yang selama ini dikenal sebagai sumber protein nabati, yaitu hanya 18,3 gram per 100 gramnya. Sedangkan zat lainnya adalah zat besi, yaitu 4,7 g per 100 gram dan kalsium sebesar 140 mg/ 100 g yang keduanya sangat baik dalam mencegah anemia dan proses pembentukan tulang.
Dengan demikian, sesungguhnya banyak manfaat yang diperoleh dari mengonsumsi jengkol. Namun, konsumsi jengkol dapat memberikan efek bau tak sedap, baik
pada saat bernapas maupun pada saat buang air besar dan air kecil. Demikian juga jika terlalu banyak mengonsumsinya, alih-alih mendapatkan manfaat jengkol, justru menimbulkan gangguan kesehatan atau keracunan (jengkolen).
Untuk mengurangi aroma jengkol yang menyengat, ketika sebelum diolah bisa direndam dalam air, lebih baik dengan air mengalir atau sering diganti air rendamannya, bisa juga dengan cara dikecambahkan ataupun direbus. Namun demikian, tak serta merta bau jengkol hilang sama sekali, namun setidaknya ini bisa mengurangi sekaligus menurunkan zat jengkolatnya. Dan sangat dianjurkan, ketiksa selesai konsumsi jengkol juga diringi dengan konsumsi air putih yang banyak. Ini selain mengurangi "aroma eksostis" toilet atau kamar mandi, juga untuk menghindari keracunan.
3 Komentar
Ini si makanan kesukaan saya banget hehhee,,, apalagi kalau di sandikan sama ikan asin yang di baka terus ada sambelnya juga,,,, weuih mantap deh bisa bisa nambah 2 piring hehehheee
BalasHapussaya juga suka jengkol..tapi belum termasuk jengkolholic....aroma jengkol memang membuat orang jadi ragu untuk mengkonsumsi kuliner yg satu ini...tapi banyak kok kuliner jengkol yg bisa menghilangkan aroma khas jengkolnya..seperti kuliner jengkol di kalimantan selatan...malahan rasanya seperti makan daging saja...
BalasHapuskeep happy blogging always...salam dari Makassar :-)
jengkol itu baunya..... walau kalau dimasak (dengan benar) pasti empuk dagingnya. Mama jago sekali masak jengkol.
BalasHapusmungkin, jika tidak ada lagi sumber gizi yang dari sisi aroma lebih baik, jengkol dilirik semua orang :)
Thanks for your visiting and comments!