SEBENARNYA membuat blog saya mulai pada sekitar tahun 2004 yang lalu. Namun karena sering lupa password maka sering pula meninggalkan blog yang telah saya buat. Itu terjadi sampai awal tahun 2007 dan kemudian di tahun 2007 itu pula saya membuat blog lagi yang sampai sekarang masih (sok) eksis ini. Sampai saat ini pun postingan saya jumlahnya juga masih bisa dihitung dengan jari dan dengan “genre” yang tak jelas. Masalah kualitaspun sepertinya bisa ditebak, jauh dari kaidah menulis yang baik dan benar, apalagi tema yang saya tulispun umumnya hal-hal sepele dan sederhana saja.
Pun demikian yang terkait dengan tulisan jalan-jalan, travel, wisata, atau kuliner. Saya merasa tak ada yang istimewa, baik dengan tulisan atau pun obyek yang saya kunjungi. Namun, setidaknya ada jejak belasan artikel yang telah saya posting di blog pencangkul ini yang terkait dengan jalan-jalan ataupun kuliner. Semuanya ke tempat-tempat sederhana dan belum begitu banyak dikenal. Dan alasan jalan-jalan atau travel itu pun bukan karena semata-mata jalan-jalan atau travel, tetapi hanya “efek samping” dari pekerjaan yang mengharuskan jalan-jalan ke tempat-tempat sederhana. Namun demikian, meski ke tempat-tempat sederhana, entah mengapa saya selalu dibuat terpana dan ternganga dengan tempat-tempat sederhana tersebut.
Lihat saja misalnya dengan tulisan jalan-jalan yang saya posting ini. “Sensasi Diskotik Berjalan”, begitu judul postingan yang saya buat. Bagi saya ini pengalaman sederhana menikmati kesederhanaan di awal saya berdomisili di kawasan Nusa Tenggara Timur (NTT) ketika menaiki angkot yang layaknya diskotik berjalan dengan dentuman musik yang menghentak gendang telinga. Atau misalnya ketika saya “Menyusuri Desa Sikka”, desa yang menjadi cikal-bakal nama Kabupaten Sikka di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Desa ini berada cukup jauh dari ibukota Kabupaten Sikka, Maumere. Perjalanan bisa ditempuh sekitar 1 jam 30 menit dari Maumere dengan kondisi jalan beraspal menanjak-menurun-menukik dan berliku-liku. Namun demikian, sepanjang perjalanan kita akan disuguhi dengan keindahan alam Flores. Padang ilalang yang mulai menguning keemasan, puncak gunung Egon, dan tentu saja rimbunnya kebun coklat, jambu mete, dan ribuan kelapa yang menancap di lereng-lereng gunung hingga tepian pantai, adalah pesona yang dianugerahkan Tuhan. Tulisan di Desa Sikka itu saya buat menjadi dua postingan dengan judul tulisan kedua adalah “Sikka, Desa Tua yang Terlupa!”. Pada tulisan ini saya lebih terpesona dengan “kerentaan” rumah raja sikka yang nyaris tak ada perawatan. Padahal rumah ini pernah menjadi saksi kedatangan bangsa Portugis ke Sikka dan Flores, juga menjadi saksi hubungan dengan Majapahit. Berikutnya yang menarik di sini adalah kerajinan kain ikat tenun yang dibuat secara tradisional oleh tangan-tangan terampil masyarakat Sikka.
Masih di sekitar Maumere, Kabupaten Sikka, saya juga dibuat terpana dengan kehidupan masyarakat suku Bajo di Kampung Wuring. Kampung Wuring adalah sebuah perkampungan nelayan di pinggiran Kota Maumere, kurang lebih 5 Km dari pusat kota. Kampung yang mayoritas penghuninya adalah suku Bajo, suku yang lebih dikenal sebagai pelaut-pelaut ulung. Bahkan rumah yang dibangun pun persis di atas laut, dengan struktur yang sangat kuat. Apabila petang menjelang, air pasang datang yang ketinggiannya nyaris menyentuh lantai rumah. Sementara untuk menghubungkan rumah ke rumah, warga hanya memakai bambu 2-3 batang saja sebagai jembatannya. Apabila tak hati-hati, bisa-bisa tercebur masuk ke air laut.
Pada suatu hari ketika melintasi pemukiman ini, saya sempat berjumpa dengan beberapa peneliti dari Jepang dan Amerika, yang kata orang-orang sekitar, mereka sedang menganalisis struktur bangunan rumah orang-orang Bajo ini. Demikian juga, kami bertemu dengan beberapa pasang turis bule yang menginap di rumah orang Bajo ini.
Dalam membuat tulisan dengan judul “Sepenggal Surga yang Terpenggal di Teluk Maumere” itu, saya sempatkan bertanya pada beberapa orang yang menyebutkan bahwa asal-usul suku Bajo dari Sulawesi yang semuanya adalah pelaut-pelaut ulung yang sulit jika hidup atau tinggal di gunung. Kata “bajo” sendiri berarti mendayung perahu dengan alat yang disebut bajo. Mereka bisa dikatakan telah menjadikan laut sebagai “nyawa” mereka. Mereka seolah menyatu dengan laut. Dan tak perlu heran jika anak-anak kecil usia 4-5 tahun sudah mahir berenang dan menyelam. Barangkali mereka telah “diajarkan” berenang sejak dalam kandungan badan ibundanya. Dsn di Maumere pulalah saya mengenal dan menjadi penikmat salah satu makanan khas Sulawesi, yaitu Kasuami yang merupakan makanan khas suku Bajo dan Buton yang ada di Maumere. Tulisan ini saya buat dalam bentuk opini dengan judul “Kasuami, Pangan Lokal yang Layak meng-Indonesia”, dan merupakan kekaguman saya atas nilai-nilai kuliner lokal.
Kemudian “Menapak di Pulau Sumba, 1” dan "Menapak di Pulau Sumba, 2", masih di NTT. Di sini juga tak kalah eksotisnya. Pulau yang terik tetapi sangat menarik dengan berjuta pesona yang sangat unik. Bila musim kemarau datang, padang sabana yang luas terbentang, ladang-ladang jagung dan ilalang menguning keemasan terhampar menawarkan kegairahan untuk selalu mengaguminya. Pulau ini juga menjadi salah satu daerah penghasil kuda-kuda tunggangan dan aduan nan tangguh. Dan yang tak kalah menariknya, juga menyuguhkan tradisi pasola dan makan kinang bagi tetamu.
Dari NTT meloncat dan jalan-jalan ke kawasan Jawa bagian barat untuk mengambil “Pelajaran Bertani dari Baduy“. Tulisan ini saya buat dalam bentuk opini untuk menyingkap rahasia bertani mereka. Ada banyak nilai-nilai dan kearifan lokal yang mengagumkan dalam sistem pertanian yang dianut mereka yang patut disebarkan. Meskipun dalam bidang pertanian mereka tidak mengenal sarana dan pra sarana pertanian yang modern serta hanya mengenal sistem perladangan, dimana sistem perladangan adalah sistem pertanian yang paling purba, namun mereka memiliki kearifan lokal yang sangat mengagumkan. Mereka sangat menghormati lingkungannya dengan tetap menjaga keseimbangan ekosistemnya. Mereka berprinsip bahwa jika keseimbangan tak terjaga, maka malapetaka akan datang dan akan menimpa mereka pula. Untuk lebih mengabadikan tulisan, tulisan ini saya jadikan pelengkap atau saya ikutkan dalam buku bunga rampai yang bertajuk “Petani Tanpa Tapal Batas” yang merupakan kumpulan tulisan saya yang sudah dimuat di media cetak (sekitar 40 % telah dimuat Kompas, 30 % koran lainnya, dan 30 % dari tulisan di blog).
Selepas jalan-jalan ke Baduy, saya kembali ke kampung halaman. Ada beberapa hal menarik (menurut saya) dari kampung halaman saya. Salah satunya adalah tentang buah durian dengan varian khusus, yaitu Durian Bido, yang menjadai andalan kampung halaman kami untuk menarik wisatawan. Keunikan buah ini adalah bukan saja menjadi buah endemic di Wonosalam Jombang, tetapi juga telah dilepas sebagai Varietas Unggul yang ditandai dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 340/Kpts/SR.120/5/2006. Selain itu, secara tampilan durian bido ini dagingnya lembut dan tebal, tidak terlalu garing ataupun lembek, rasanya legit dan sedikit ada rasa pahitnya. Nah, rasa pahit inilah yang membuat “kecanduan” para pelancong untuk terus menikmati durian asli Wonosalam ini. Pertama kali membuat tulisan tentang durian ini dengan judul “Durian Wonosalam, Mengapa Lebih Mahal?”
Dengan komoditas durian ini pula, di Wonosalam setiap tahun diadakan acara bertajuk “Kenduri Durian” yang diadakan setiap panen raya durian (bulan desember-maret). Tujuan utamanya tentu saja untuk memperkenalkan produk unggulannya dan pariwisatanya yang jelas tertera dalam tema-tema yang diangkat, misalnya tema pada Kenduri Durian 2012, yaitu Exibition, Tourism, Conservation, dan Education. Dua tulisan repostase pada Kenduri Durian 2012 dan 2013, dengan judul Ken-Duren Wonosalam, Semarak Kenduri Durian di Jombang dan Festival Kenduri Durian Wonosalam: Seru, Unik, dan Fantastik! menjadi cara saya untuk mengenalkan dan menggobalkan potensi lokal desa saya. Kalau mau berkunjung dan berburu durian Wonosalam bisa mengikuti rute yang telah posting di sini.
Selain dari kampung halaman sendiri, tetapi masih di Jombang, event tahunan “Unduh-Unduh” juga menjadi perhatian saya. Event ini unik dan menarik sekaligus menjadi jujugan banyak wisatawan. “Unduh-Unduh, Tradisi Kristen di Kota Santri” ini biasanya diadakan pada bulan mei untuk menyambut datangnya musim panen. Unduh-unduh merupakan puncak dari rangkaian kegiatan pertanian masyarakat (Kristen) wilayah Kecamatan Mojowarno. Tradisi ini dilaksanakan sejak tahun 1881 atau sudah lebih dari 130-an tahun yang lalu dan dipusatkan di GKJW Mojowarno, yang merupakan salah satu gereja tertua di Pulau Jawa.
Tak hanya umat Kristen (Protestan) yang menyaksikan acara ini, banyak warga non-kristiani juga menyaksikan acara ini. Bahkan, sejak seminggu sebelum acara ini digelar, juga diadakan pameran atau bazar di lapangan sebelah bangunan gereja, yang pesertanya dari masyarakat umum, bahkan didominasi dari para pelaku UMKM muslim yang ada di Jombang. Tentu ini sebuah “dialog ekonomi” dan “dialog sosial” yang baik di antara pemeluk agama yang berbeda yang patu diapresiasi dan disebarluaskan.
Selain itu ada beberapa lokasi wisata dan kuliner khas yang sempat saya tulis di kawasan Jombang ini. Mulai dari wisata religi seperti Gereja Tua Mojowarno, atau Makam Gus Dur yang tak pernah sepi dari pengunjung atau peziarah, Nasi Kikil Mojosongo, Soto Dok yang telah menjadi makanan khas daerah, Pecel Rengkek yang sederhana tapi mempesona, Bakso Nuklir yang legendaris, sampai bakso dengan nama-nama unik senjata militer. Kuliner khas di beberapa kota sekitar Jombang, saya juga sempat mengabadikannya. Sebut saja sajian penganan Ayam Kampus di Malang yang murah meriah, atau Bakso Cak Kar yang rasanya mencakar-cakar dan meledak dengan bakso merconnya. Atau bagaimana sajian Pecel Madiun langganan SBY di Madiun yang flamboyan sampai menjadi jujugan mantan Presiden SBY kala pulang kampung atau kunjungan ke Jawa Timur. Dan tak ketinggalan salah satu sajian dari Sulawesi yang mempunyai nilai sejarah menarik, Bubur Manado, “Menu Krisis” yang Menabur Cita Rasa Eksotis.
Menariknya, dengan tulisan-tulisan itu saya seringkali mendapat respon atau tanggapan dari orang-orang yang ingin tahu lebih jauh atau sekadar mengucap terima kasih karena saya telah berkunjung dan mengapresiasi daerahnya dengan tulisan. Mereka mengirim pesan itu lewat email dan inbox. Bahkan ada yang lebih “seru” lagi dan membuat saya terkaget-kaget (awalnya), gegara tulisan di blog, saya sempat dihubungi dan dimintai pertanggungjawaban oleh seorang lelaki yang istrinya sedang hamil. Kisah ini saya abadikan dalam postingan dengan judul “Gara-gara Ngeblog, Saya Dimintai Pertanggungjawaban oleh Seorang Laki-Laki yang Istrinya sedang Hamil!”
Demikianlah saya dan tulisan seputar jalan-jalan atau kuliner saya di blog pencangkul. Sebenarnya ada beberapa perjalanan sederhana ke desa-desa dan menikmati makanan sederhana di nusantara yang unik dan ingin saya tuliskan. Sayangnya sebagian hanya sebatas draft dan angan-angan belaka akibat (sok) sibuk dengan aktivitas lain.
Sekali lagi entah mengapa desa seringkali menjadi menjadi obyek tulisan saya dan perjalanan saya. Mungkin saya yang dari desa, lahir dan bertumbuh di desa, maka desa menjadi salah satu sumber inspirasi, inspirasi sikap hidup dalam kesederhanaan dan kebersahajaan, termasuk juga inspirasi dalam menulis. Pun demikian, ada belasan tulisan saya yang pernah nangkring di Harian Kompas dan media cetak lainnya dengan fokus dan lokus desa. Tak ada maksud lain dalam menuliskan tentang desa, kecuali sebagai salah satu cara “berkhidmat” pada desa, cara menumpahkan kerinduan pada desa, sekaligus (mungkin) cara untuk mengglobalkan nilai-nilai lokal desa, mengglobalkan wisata desa dengan kelokalannya. Siapa lagi yang berkhidmat pada desa, siapa lagi yang merindu desa, jika bukan para penghuninya sendiri.
Terakhir saya percaya bahwa dengan ngeblog, bisa menjadi sarana yang efektif untuk mengglobalkan nilai-nilai lokal desa, mengglobalkan wisata desa, memperkenalkan desa pada dunia. Semoga!
Terakhir saya percaya bahwa dengan ngeblog, bisa menjadi sarana yang efektif untuk mengglobalkan nilai-nilai lokal desa, mengglobalkan wisata desa, memperkenalkan desa pada dunia. Semoga!
2 Komentar
tulisannya keren
BalasHapusharus banyk belajar ni dari blog ini
salam kenal yaa
Banyak hal-hal yang luput dari pemberitaan media. Blog adalah media yang bisa memberitahukan kepada publik.
BalasHapusThanks for your visiting and comments!