KALAU menulis atau menyebut martabak, maka ingatan saya adalah Kota Bogor, salah satu tempat saya belajar “mencangkul”. Mengapa? Karena di kota inilah, saya tidak hanya pernah, tetapi seringkali menikmati penganan “martabak”. Dan salah satu tempat yang sangat terkenal di Kota Hujan kala itu adalah Martabak Air Mancur, karena lokasinya dekat taman air mancur. Betapa tidak, saking terkenal dan larisnya, antrian pembeli nyaris tak pernah berhenti meskipun pada hari biasa. Beragam varian martabak dijual di sini. Mulai dari martabak manis sampai martabak telur dengan berbagai “aksesoris”-nya.
Namun, dalam postingan kali ini bukan Martabak Air Mancur Bogor yang hendak saya tulis. Dalam beberapa hari terakhir, kata “Martabak” cukup populer di sosmed. Gegaranya, kicauan ibu dosen dengan akun @mahsina_se yang mengatakan pada anak presiden, Kaesang, yang menggunakan logika tolol dan kampungan karena bangga dengan profesi kakak kandungnya, Gibran Raka Buming Raka, yang menjadi pengusaha martabak di Solo.
Mahsina mengatakan bahwa berjualan martabak tersebut merendahkan harkat dan martabat orangtuanya sebagai presiden, dan sama sekali profesi pengusaha kuliner martabak tersebut tidak layak dibangga-banggakan. Bahkan Mahsina mengatakan umpatan 'Logika Pekok' dalam kicauan di akunnya (akun twitternya telah ditutup).
Entah logika apa yang melatarbelakangi ibu dosen berkicau seperti itu. Terlepas dari siapa yang di-twitt dan dikomentari, tak pantas seseorang menghina atau meremehkan profesi orang lain selama profesi itu baik, halal, dan tak merugikan orang lain. Apalagi Ibu Mahsina ini profesinya sangat mulia, sebagai dosen ekonomi, di sebuah universitas swasta yang tentu tak asing dengan dunia ekonomi ataupun ekonomi dunia dengan segala pernak-perniknya.
Lalu menurutnya, profesi apa yang kira bermartabat dan tidak kampungan itu? Apa jualan proyek atau minta saham pada perusahaan-perusahaan negara dengan cara menerengek-rengek ke bapaknya yang pejabat untuk “memberi jalan” dengan berbagai kebijakan? Kalau jualan martabak dengan omzet yang besar saja dianggap tidak bermartabat dan kampungan, apalagi profesi "kaki lima" lain atau bahkan pencangkul kayak saya, mungkin di mata ibu dosen ini sangat tidak bermartabat dan lebih kampungan lagi. Salam martabak!
5 Komentar
Jualan apa saja yang penting halal mah, itu lebih bermartabat dibandingkan dengan para koruptor :)
BalasHapusudah cobain martabak di gg aut belum? ;)
BalasHapusSalam martabak !
BalasHapusKalau kata Pak Dosen saya, orang Indonesia itu umumnya suka "merasakan" orang lain. Ini dikarenakan budaya orang Indonesia yang tidak individualis. Apa-apa bareng-bareng. Tapi efek samping negatifnya ya "merasakan" seperti itu...
BalasHapusSolusinya? Ya, cobalah untuk mulai memupuk sifat individualis...
kerennnnnn,, hasil dari martabak bisa buat kulyah ke singapore.. tak kusangka ternyata menguntungkan juga ya.. terimakasih atas idenya ya :)
BalasHapusThanks for your visiting and comments!