SELEPAS perayaan Idul Fitri isu yang muncul dan menjadi persoalan pelik dan klasik adalah persoalan urbanisasi. Tingginya tingkat urbanisasi memang menjadi salah satu permasalahan yang muncul di negera berkembang seperti Indonesia. Data tahun lalu menunjukan bahwa tingkat urbanisasi di Indonesia melebihi India dan China yaitu mencapai 4,1 persen, sementara India dan China masing-masing hanya 3,8 persen. Diperkirakan pada 2025 nanti sekitar 65 persen penduduk perdesaan akan berpindah ke perkotaan dan pada 2050 mencapai sekitar 85 persen.
Dalam tataran konsep, idealnya urbanisasi ini bisa memberikan dampak positif dan signifikan terhadap pertumbuhan Product Domestic Bruto (PDB). Namun sayangnya, urbanisasi di Indonesia hanya memberikan dampak pertumbuhan PDB yang relatif kecil yaitu baru mencapai 4 persen untuk setiap 1 persen pertumbuhan urbanisasi. Sangat jauh jika dibandingkan dengan beberapa negara lainnya, misalnya di India sebesar 13 persen, China mencapai 10 persen dan Thailand sebesar 7 persen. Justru yang terjadi di Indonesia adalah sekadar memindahkan persoalan kemiskinan di perdesaan menuju perkotaan dengan segala kompleksitasnya.
Penyebab laju urbanisasi salah satunya adalah karena faktor ekonomi, dimana tingkat kesejahteraan masyarakat perdesaan yang mayoritas berprofesi sebagai petani relatif lebih rendah dan nilai tukarnya juga rendah (Junaedi, 2014). Akibat kesejahteraan ekonomi yang rendah, mereka tak punya banyak pilihan dalam usahatani maupun usaha ekonomi lainnya. Hal tersebut menjadi daya pendorong yang kuat bagi masyarakat perdesaan untuk keluar daerah atau merantau ke perkotaan mencari penghidupan yang dianggap lebih baik.
Selain itu, kota juga mempunyai daya tarik yang kuat bagi masyarakat perdesaan. Melalui beragam media, kota seringkali digambarkan dan dikesankan dengan kemewahan dan keglamoran. Secara ekonomi pun kota dianggap dapat memberikan kemudahan dalam mencari penghidupan. Padahal sesungguhnya kota juga menyimpan beragam persoalan yang lebih kompleks dan untuk bisa hidup layak memerlukan keterampilan dan keahlian yang memadai juga adanya persaingan yang lebih ketat.
Oleh karena itu, meningkatnya laju urbanisasi harus segera diredam karena kalau tidak akan berdampak negatif pada kota tujuan, juga tak kalah mengerikan yaitu hilangnya tenaga-tenaga muda terampil-produktif di desa dan ini tentu akan mengganggu sistem produksi pertanian khususnya terkait dengan produksi pangan.
Optimalisasi Dana Desa
Dalam kurun lima tahun terakhir, desa mendapatkan transfer keuangan berupa dana desa dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang tentu hal ini akan meningkatkan kemampuan fiskal di desa. Belum lagi tambahan alokasi dana desa (ADD) yang disisihkan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBD.
Jumlah dana desa yang digelontorkan ke desa dari tahun 2015 sampai dengan tahun 2019 ini mencapai angka Rp. 257 triliun, dimana setiap tahun jumlahnya terus mengalami peningkatan. Diawal program atau pada tahun 2015 besarannya mencapai Rp 20,7 triliun, sedangka tahun 2019 ini meningkat menjadi Rp 73 triliun. Dana desa yang diprogramkan pemerintah ini tentu bisa menjadi kunci untuk peningkatan pembangunan ekonomi di kawasan perdesaan sekaligus sebagai upaya meredam arus urbanisasi.
Pemanfaatan dana desa yang baik harus dapat meningkatkan efisiensi perekonomian di desa dengan fokus pada percepatan perputaran ekonomi dan mengembangkan potensi ekonomi serta perluasan kesempatan kerja. Dampaknya selain kesejahteraan meningkat, arus perputaran uang tidak hanya terpusat di kota dan masyarakat desa juga tidak harus pergi merantau ke kota untuk mencari penghidupan yang lebih baik.
Dengan adanya dana desa, menurut data kementerian desa tertinggal sampai dengan akhir 2018 lalu telah terbangun sarana dan prasarana penunjang kegiatan ekonomi. Di antaranya adalah 1.140.378 meter jembatan, 191.600 km jalan desa, 8.983 unit pasar desa, 37.830 unit kegiatan Badan Usaha Milik Desa atau BUMDes, 4.175 unit embung desa, 58.931 unit sarana irigasi, dan sebagainya. Penggunaan dana desa memang tidak hanya untuk membangun infrastruktur fisik, tetapi juga untuk pemberdayaan perekonomian masyarakat dan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
Pada tahap awal, dana desa ini bertujuan untuk meningkatkan dan mendorong kemajuan desa dan memaksimalkan potensi-potensi yang dimilikinya sehingga pembangunan ekonominya bertumbuh dan berkembang. Jika perekonomian di desa berkembang dan kesejahteraan masyarakat meningkat, pemerintahpun akan diuntungkan dengan misalnya pembayaran pajak dari masyarakat lebih lancar, desa bisa mendapatkan Pendapatan Asli Desa (PADes) yang lebih besar, juga secara mandiri bisa membiayai dan menata desanya.
Berhasil atau tidaknya program dana desa ini tentu sangat tergantung dengan implementasinya dan bisa dilihat dari pemanfaatan dana desa apakah benar-benar dapat memajukan desa atau tidak. Meski ada beberapa kasus penyalahgunaan dana desa dan/atau ketidakmampuan pemerintah desa dalam memanfaatkan dana desa tetapi banyak juga contoh sukses desa yang mampu mengoptimalkan dana desa dalam membangun desanya.
Salah satu contoh adalah Desa Ponggok yang berada di Kecamatan Polanharjo, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah yang berhasil mengoptimalkan dana desa. Hasilnya kini Desa Ponggok dapat mengubah kondisi desanya yang awalnya dikenal miskin menjadi desa dengan perekonomian yang tumbuh pesat dan menghasilkan PADes yang sangat fantastik, mencapai belasan milyar per tahunnya. Dana desa yang digelontorkan pemerintah, oleh pemerintahan Desa Ponggok salah satunya dialokasikan untuk mengembangkan BUMDes. Dengan BUMDes inilah mereka mampu mengelola potensi-potensi sumberdaya alam yang ada sehingga bisa menjadi sumber perekonomian masyarakatnya.
Demikian juga dengan Desa Pujon Kidul di Kabupaten Malang berhasil memanfaatkan dana desa sehingga mampu menjadikan desanya sebagai destinasi wisata yang unik dan menarik. Desa yang sebelumnya merupakan desa biasa saja dan kurang dikenal yang kemudian setelah mendapatkan dana desa dibenahi menjadi desa berkonsep agrowisata. Melalui pengembangan BUMDes, selain meningkatkan PADes, BUMDes-nya juga mampu meningkatkan dan mengembangkan aktivitas ekonominya seperti jasa pariwisata, kerajinan, olahan makanan dari produk pertanian dan peternakan desa, wisata berkuda, kolam renang, kafe sawah, jasa penginapan atau home stay, dan sebagainya. Upaya ini pun berhasil meningkatkan PADes tahun 2018 lalu yang mencapai lebih dari Rp. 1,3 Miliar.
Contoh sukses penggunaan dana desa di dua desa tersebut kiranya dapat memicu dan memacu desa-desa lain untuk lebih optimal memanfaatkan dana desa. Dengan demikian, sekali lagi jika dana desa ini dimanfaatkan dengan baik dan benar, maka pembangunan ekonomi di kawasan perdesaan akan lebih pesat dan lapangan kerja pun akan bertambah banyak. Desa-desa akan menjadi “lebih ramai” dan akan terus mampu “bersolek” sehingga membuat betah warganya untuk tinggal dan berusaha di desa. Semoga!
Ref:
Junaedi. 2014. Petani Tanpa Tapal Batas. UB Press, Malang.
0 Komentar
Thanks for your visiting and comments!