Sumber foto: resepkoki.id |
Namun demikian, terlepas dari perbedaan angka tersebut, yang perlu digarisbawahi bahwa tingkat konsumsi daging kambing di Indonesia secara umum masih rendah dengan kuantitas yang relatif tidak berubah dari waktu ke waktu. Hal ini disebabkan karena setidaknya oleh dua hal yaitu: pertama, daging kambing bukanlah bahan makanan dari ternak sekelas dengan daging sapi dan daging ayam karena daging kambing lebih banyak dikonsumsi sebagai ‘makanan penghibur’ terutama bagi kalangan muda dan orang dewasa. Banyak orang mengonsumsi daging kambing karena tergiur dengan taburan ‘bumbu-bumbu’ mitos yang berkembang misalnya terkait dengan upaya mendongkrak stamina dan libido atau gairah seksual.
Kedua, yang tak kalah ‘tragis’ adalah adanya stigma negatif di masyarakat yang menganggap daging kambing sebagai pemicu munculnya masalah kolesterol dan tekanan darah tinggi. Padahal kalau kita cermati nutrisi yang terkandung dalam daging kambing cukup baik bahkan jika dibandingkan dengan daging sapi. Menurut United States Department of Agriculture (USDA) dibandingkan dengan daging sapi, daging kambing mengandung lemak yang rendah, baik lemak total maupun lemak jenuhnya, serta memiliki kandungan kolesterol yang juga lebih rendah. Selain itu, daging kambing memiliki kandungan zat besi yang lebih tinggi, yaitu sebesar 3,2 miligram sedangkan daging sapi hanya 2,9 miligram.
Ternak Potensial
Melihat data tersebut, dimana secara umum tingkat konsumsi daging kambing masih rendah, maka upaya untuk meningkatkan jumlah konsumsi maupun segmentasi konsumsi harus terus dilakukan. Apalagi ternak kambing selain sebagai penyuplai protein hewani untuk masyarakat dan pengganti sumber protein daging sapi, ternak kambing sangat potensial dikembangkan di Indonesia.
Secara ekonomi, produktivitas ternak kambing, yang meskipun memiliki ukuran lebih kecil dibandingkan ternak sapi, mempunyai kemampuan berproduksi yang lebih tinggi, waktu yang singkat dan berbiaya lebih murah. Selain itu daya adaptasi yang tinggi terhadap berbagai kondisi lingkungan, menjadikan kambing mudah dipelihara dan dikembangbiakan. Wilson (1995) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa ternak kambing mampu berkembang dan bertahan di semua zona agroekologi dan hampir tidak terpisahkan dari sistem usaha tani masyarakat.
Selain itu kambing juga menjadi rajabrana atau kekayaan yang relatif lebih liquid dibandingkan dengan sapi sehingga ketika ada kebutuhan dana cepat dan mendesak, kambing dapat dengan mudah dijual atau diuangkan. Lembaga-lembaga internasional pun menjadikan kambing sebagai komoditas strategis dan instrumen pengentasan kemiskinan (poverty alleviation). Food and Agriculture Organization (FAO) pada 1995 menyebutkan bahwa ternak kambing sangat strategis bagi kehidupan masyarakat perdesaan dan berkembang di hampir seluruh kawasan Indonesia sehingga ternak kambing memainkan peran penting, baik sebagai sumber pendapatan maupun upaya mengurangi kemiskinan.
Stigma Negatif
Sesungguhnya munculnya stigma negatif terhadap daging kambing sebagai penyebab masalah kesehatan adalah hal yang tidak benar. Sebenarnya masalah yang memunculkan stigma negatif itu lebih ke persoalan salah mengolah. Umumnya masyarakat kita dalam mengolah daging, khususnya daging kambing yang dikenal dengan bau prengus itu seringkali tanpa ‘manajemen’ pengolahan yang baik.
Di mulai dari awal memilih daging kambing misalnya, nyaris seluruh bagian dari kambing bagi sebagian besar masyarakat Indonesia dimanfaatkan dan diolah menjadi bebagai macam menu. Di satu sisi, ini bisa jadi kelemahan masyarakat kita terutama dalam kemampuan untuk mengakses lean meat atau daging tanpa lemak yang karena harganya relatif lebih mahal. Namun, di sisi lain hal ini juga menunjuklan kelebihan masyarakat kita, yaitu kemampuan dalam meramu dan menciptakan kuliner baru dengan memanfaatkan daging selain lean meat. Kita bisa mencermati bagaimana di masyarakat kita begitu banyak masakan berbahan dasar daging kambing seperti gulai, soto babat, kikil, sop buntut, dan sebagainya yang dihasilkan dengan memanfaatkan jeroan dan produk non lean meat lainnya.
Sementara dalam hal proses pengolahan juga demikian. Masyarakat lebih menyukai perasa yang kuat dengan jumlah yang banyak, seperti garam, yang tentu saja garam yang berlebihan bisa memicu hipertensi. Juga penambahan bahan yang mengandung lemak seperti minyak, kecap, santan, atau seperti sate yang dibumbui dengan kacang-kacangan. Hal ini tentu saja akan meningkatkan jumlah kalori maupun lemak dan kolesterol daging kambing yang dikonsumsi. Belum lagi dengan kebiasaan masayarakat yang suka memanaskan ulang atau menghangatkan masakan yang tidak habis dalam sehari. Kebiasaan ini memang mungkin bisa menambah daya tahan masakan dan membuatnya lebih lezat tetapi juga bisa meningkatkan kadar lemak jenuh yang berbahaya bagi kesehatan.
Untuk mengatasi hal tersebut, banyak para ahli kesehatan maupun kuliner yang menyarankan memasak daging kambing secara sehat, yaitu hanya mengolah bagian lean meat-nya saja. Kalaupun terpaksa non lean meat, diusahakan merebus dan membuang air rebusan pertama untuk menggelontorkan kandungan lemaknya. Demikian juga dengan prosesnya, disarankan dengan memanggang dan tanpa banyak menggunakan garam dan minyak atau sejenisnya. Sementara juga diperlukan bumbu-bumbu rempah yang banyak tersedia di Indonesia (lada, pala, cengkeh, ragam empon-empon dan sebagainya) yang efektif untuk menetralisir aroma khas daging kambing sekaligus kandungan lemak dan kolesterolnya.
Dan yang terpenting dalam hal konsumsi daging kambing adalah jumlah yang kita konsumsi harus tetap dibatasi. Apapun yang dikonsumsi berlebihan, pasti akan berdampak negatif, termasuk daging kambing. Dengan demikian, kita tetap bisa menikmati daging kambing sebagai sumber protein hewani secara sehat, tanpa ketakutan yang berlebihan. Semoga!
Artikel ini terbit pertama kali pada Sariagri.id: https://gagasan.sariagri.id/107/sepotong-potret-konsumsi-daging-kambing
0 Komentar
Thanks for your visiting and comments!