INI adalah salah satu buku puisi yang sangat saya sukai. Buku yang mengingatkan saya kalau buku ini pernah saya beli di Surabaya pada 22 November 2000 (tertulis di sudut atas halaman dalam). Buku puisi yang ditulis oleh penyair yang sampai sekarang hilang entah kemana sejak orde baru. Dalam buku ini, ada satu puisinya yang sangat berkesan dan memberi spirit tersendiri, setidaknya bagi saya yang berjudul "Peringatan":
jika rakyat harus pergi
ketika penguasa pidato
kita harus hati-hati
barangkali mereka putus asa
kalau rakyat sembunyi
dan berbisik-bisik
ketika membicarakan masalahnya sendiri
penguasa harus waspada dan belajar mendengar
bila rakyat tidak berani mengeluh
itu artinya sudah gawat
dan bila omongan penguasa
tidak boleh dibantah
kebenaran pasti terancam
apabila usul ditolak tanpa ditimbang
suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
dituduh subversive dan mengganggu keamanan
maka hanya ada satu kata: lawan!
“Hanya ada satu kata, lawan!” yang saya yakin kalimat ini lebih kita kenal dari pada sang penyairnya sendiri. Kalimat ini semacam “kalimat api” yang menjadi simbol perlawanan orang-orang kecil yang tertindas. Buku terbitan tahun 2000, isinya hampir semuanya berupa puisi “kerakyatan” dengan bahasa yang lugas, apa adanya dengan pemaknaan yang tanpa bercabang atau beranak-pinak. Buku dengan kata pengantar almarhum Munir dengan ketebalan 176 ini, seolah mengetengahkan kehidupan sang penyair. Ia adalah penyair yang gigih dalam memperjuangkan hidup dan gagasan-gagasannya yang diyakininya. Ia juga dengan tepat menggambarkan keterwakilan kelas sosialnya.Simak saja salah satu puisinya berjudul Darman berikut ini:
desa yang tandus ditinggalkannya
kota yang ganas mendupak nasibnya
tetapi dia lelaki perkasa
kota keras
hatinya pun karang
bergulat siang malam
Darman kini lelaki perkasa
masa remaja belum habis direguknya
Tukini setia terlanjur jadi bininya
kini Darman digantungi lima nyawa
Darman yang perkasa
kota yang culas tidak akan melampus hidupnya
tetapi kepada tangis anak-anaknya
tidak bisa menulikan telinga
lelaki, ya Darman kini adalah lelaki perkasa
ketika ia dijebloskan ke dalam penjara
Tukini setia menangisi keperkasaannya
ya merataplah Tukini
di dalam rumah yang belum lunas sewanya
di amben bambu wanita itu tersedu
sulungnya terbaring diserang kolera
Tukini yang hamil buncit perutnya
nyawa di kandungan anak kelima
Pilihannya untuk bergabung dengan kalangan kecil seperti petani, kaum buruh dan masyarakat miskin lainnya semakin meneguhkan keyakinannya bahwa keadaan miskin bukanlah semata-mata karena takdir Tuhan, tetapi karena keserakahan kekuasaan politik dan modal yang melahap habis semuanya.
Judul : Aku Ingin Jadi Peluru
Penulis : Wiji Thukul
Cetakan : I, Juni 2000
Penerbit : IndonesiaTera, Magelang.
Tebal : xix + 176 halaman
BUKUKU# Ini adalah catatan sederhana dari buku-buku yang saya miliki dan saya baca yang jauh dari kaidah resensi buku sebenarnya, karena hanya terbatas 3-5 paragraf. Untuk resensi buku yang 'sedikit serius' biasanya saya unggah DI SINI.
1 Komentar
karyanya bagus sekali kak, sukses dan sehat selalu ya :D
BalasHapusThanks for your visiting and comments!