Foto: Pixabay |
“Baju baru alhamdulillah, tuk dipakai di hari raya, tak punya pun tak apa-apa, masih ada baju yang lama .............“ Baju Baru, Dea Ananda (1997).
BARANGKALI generasi 80 atau 90-an yang sedang bertumbuh ketika itu tak asing lagi dengan lagu “Baju Baru” yang dinyanyikan penyanyi cilik pada masanya, Dea Ananda personel Trio Kwek-Kwek,, yang kerap diperdengarkan menjelang Lebaran. Lagu 'Baju Baru' sendiri menceritakan tentang tradisi memakai baju atau pakaian baru etika merayakan Lebaran. Baju baru menjadi bagian penting dari tradisi perayaan Lebaran di Indonesia.
Sejak kapan ada tradisi ini? Kalau kita telusuri, sejarah pembelian baju baru menjelang lebaran ini di mulai dari masa kolonial Belanda di Indonesia.
Pada awal abad 20, Belanda menetapkan bahwa setiap keluarga pribumi harus membeli baju baru untuk dipakai pada hari raya Idul Fitri. Tujuan dari kebijakan ini adalah untuk mendorong masyarakat pribumi untuk meningkatkan konsumsi sekaligus mengadopsi budaya Barat dan meninggalkan tradisi mereka sendiri.
Namun, seiring berjalannya waktu, pasca kemerdekaan 1945, tradisi membeli baju baru menjelang Lebaran tetap dipertahankan oleh masyarakat Indonesia. Baju baru dianggap sebagai simbol kesuksesan dan kemakmuran, dan menjadi cara untuk merayakan akhir bulan Ramadan. Masyarakat beranggapan bahwa dengan memakai baju baru, dapat menyambut hari raya dengan lebih meriah dan percaya diri.
Sampai saat ini, tradisi membeli baju baru menjelang Lebaran masih sangat populer di Indonesia, bahkan menjadi salah satu momen belanja terbesar dalam setahun. Banyak toko pakaian dan pusat perbelanjaan menyediakan diskon dan promosi khusus untuk menarik konsumen yang ingin membeli baju baru untuk Lebaran.
Namun, seiring dengan semakin berkembangnya kesadaran akan dampak finansial, lingkungan dan masalah sosial, beberapa orang mulai mempertanyakan tradisi ini. Banyak dari kita sering kali membeli baju baru hanya karena ingin ikut-ikutan atau agar terlihat keren, padahal baju yang kita miliki masih bisa dipakai kembali.
Dari segi finansial, membeli baju baru secara berlebihan bisa menyebabkan pengeluaran yang tidak terkontrol dan menimbulkan beban keuangan yang berat. Padahal, setelah Lebaran usai, baju-baju tersebut mungkin tidak akan dipakai lagi, sehingga bisa dianggap sebagai pemborosan. Ini tidak akan menjadi masalah jika kita memiliki uang yang berlapis-lapis dan nyaris tak bisa habis.
Dari segi lingkungan, membeli baju baru secara berlebihan juga akan berdampak pada produksi sampah yang semakin meningkat. Industri fashion merupakan salah satu industri yang paling berkontribusi pada polusi lingkungan, dan membeli baju baru yang tidak terlalu dibutuhkan hanya akan menambah masalah lingkungan. Penelitian yang dilakukan YouGov mencatat bahwa 66% masyarakat dewasa di Indonesia membuang sedikitnya satu pakaiannya dan 25% membuang lebih dari 10 pakaiannya dalam setahun. Ditambah lagi, 41% kaum milenial Indonesia menjadi konsumen produk fast fashion terbesar.
Dari sisi kehidupan sosial, banyak orang yang tidak mampu membeli baju baru setiap tahunnya, sehingga tradisi memakai baju baru saat lebaran ini bisa menambah tekanan sosial bagi mereka. Belum lagi perilaku flexing kita dengan baju baru, dengan sadar atau tidak disadari. Flexing baju baru saat lebaran adalah perilaku yang kurang etis, terutama jika bertujuan untuk membuat orang lain iri, cemburu, atau merasa kalah. Selain itu, flexing baju baru juga bisa menciptakan tekanan sosial pada orang lain untuk ikut-ikutan membeli baju baru.
Alih-alih memperlihatkan baju baru yang kita beli untuk mendapatkan perhatian, kita sebaiknya fokus pada makna sebenarnya dari lebaran, yaitu merayakan kebahagiaan bersama keluarga dan teman-teman.
Kita bisa memilih untuk memakai baju yang sederhana namun tetap terlihat sopan dan rapi. Selain itu, kita juga bisa memilih untuk memberikan perhatian pada orang-orang di sekitar kita dan menjalin hubungan yang baik dengan mereka, membanguan kohesi sosial dengan tetangga, dari pada hanya flexing dan fokus pada penampilan fisik.
Oleh karena itu, tanpa mengurangi penghargaan terhadap tradisi dan budaya, sekali lagi kita juga perlu mengedepankan kesadaran finansial, lingkungan dan sosial. Kita bisa memilih untuk membeli baju baru hanya jika memang diperlukan, atau memilih untuk memakai baju lama yang masih layak pakai. Dengan begitu, kita dapat merayakan lebaran dengan lebih meriah, tanpa perlu memaksa kondisi keuangan yang terkadang tak mendukung, juga turut berkontribusi pada upaya pelestarian lingkungan dan menjaga harmoni kehidupan sosial. Selamat berlebaran, minal aidin wal faizin, mohon maaf lahir dan batin!
Wonosalam, 19 April 2023
0 Komentar
Thanks for your visiting and comments!