Hari Pangan Sedunia [Foto: iStock]. |
TEPAT hari ini, 16 Oktober, dunia memperingati Hari Pangan Sedunia (HPS), yang merupakan momentum untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya ketahanan pangan global. Dengan tema yang berbeda setiap tahun, perayaan ini berfokus pada berbagai isu krusial terkait pangan, mulai dari kelaparan, malnutrisi, hingga inovasi teknologi pertanian yang berkelanjutan. Namun, meski perayaan HPS sudah ada sejak tahun 1981, tantangan yang dihadapi sektor pangan global semakin kompleks seiring dengan perkembangan zaman.
Salah satu tantangan terbesar adalah krisis pangan yang semakin terasa di banyak negara, terutama di kawasan berkembang. Menurut laporan FAO (Organisasi Pangan dan Pertanian PBB), sekitar 828 juta orang di seluruh dunia masih mengalami kelaparan pada 2023 lalu, angka ini meningkat dari tahun-tahun sebelumnya. Kondisi ini diperparah dengan perubahan iklim yang mengganggu pola tanam, meningkatkan frekuensi bencana alam, dan menurunkan produktivitas pertanian.
Di Indonesia, ketahanan pangan juga menjadi isu yang mendesak. Sebagai negara agraris, Indonesia seharusnya mampu memenuhi kebutuhan pangan penduduknya. Namun, kenyataannya, Indonesia masih bergantung pada impor untuk beberapa komoditas strategis seperti beras, gula, daging dan kedelai. Hal ini mengindikasikan adanya ketimpangan antara potensi dan realitas yang ada di lapangan. Ketergantungan pada impor tentu saja membuat Indonesia rentan terhadap fluktuasi harga pasar internasional dan gangguan rantai pasok global.
Lalu, mengapa permasalahan pangan ini masih terjadi? Salah satu faktor utamanya adalah ketimpangan akses terhadap sumber daya. Meskipun sektor pertanian masih menjadi mata pencaharian utama bagi sebagian besar penduduk Indonesia, banyak petani yang masih kesulitan mengakses lahan, modal, serta teknologi. Pola kepemilikan lahan yang timpang membuat mayoritas petani bekerja di lahan yang sangat sempit, sehingga produktivitas mereka terbatas. Di sisi lain, ketergantungan pada teknik pertanian konvensional yang kurang efisien juga menambah beban para petani kecil.
Inovasi di bidang teknologi pertanian sebenarnya dapat menjadi solusi untuk meningkatkan produktivitas pangan. Di banyak negara maju, praktik pertanian presisi telah diterapkan dengan menggunakan teknologi modern seperti sensor tanah, drone, dan kecerdasan buatan untuk memantau dan mengelola lahan pertanian secara lebih efektif. Sayangnya, adopsi teknologi ini di Indonesia masih sangat terbatas karena biaya yang tinggi dan kurangnya pelatihan bagi para petani.
Selain itu, tantangan lainnya adalah perubahan pola konsumsi masyarakat. Globalisasi telah mengubah cara pandang banyak orang terhadap makanan. Semakin banyak orang yang mengonsumsi makanan olahan yang tinggi gula, garam, dan lemak, yang berkontribusi pada meningkatnya angka obesitas dan penyakit tidak menular. Di sisi lain, masyarakat perkotaan yang semakin sibuk cenderung mengabaikan keberlanjutan sistem pangan. Konsumsi pangan yang berlebihan, pemborosan makanan, dan penggunaan plastik sekali pakai dalam distribusi pangan semakin memperburuk kondisi lingkungan.
Oleh karena itu, masyarakat perlu diberikan edukasi mengenai pentingnya pola makan sehat dan berkelanjutan. Gerakan seperti pertanian organik dan slow food yang mengedepankan konsumsi makanan lokal, musiman, dan tanpa bahan kimia, harus didorong agar masyarakat lebih sadar akan dampak pilihan makanan mereka terhadap lingkungan dan kesejahteraan petani lokal.
Meski tantangan yang dihadapi dalam mewujudkan ketahanan pangan cukup besar, harapan tetap ada. Salah satu harapan tersebut terletak pada peran generasi muda. Generasi milenial dan generasi Z yang lebih melek teknologi dan inovasi diharapkan mampu membawa perubahan dalam sektor pertanian. Mereka dapat memanfaatkan platform digital untuk menciptakan model bisnis baru yang lebih berkelanjutan, seperti agropreneurship yang menggabungkan antara pertanian dengan teknologi digital.
Selain itu, kolaborasi lintas sektor juga menjadi kunci penting dalam menciptakan ketahanan pangan global. Pemerintah, sektor swasta, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat umum harus bersinergi untuk mewujudkan sistem pangan yang adil dan berkelanjutan.
Dengan memperingati HPS, kita diajak untuk refleksi tentang pentingnya pangan dalam kehidupan sehari-hari. Pangan bukan hanya sekedar kebutuhan dasar manusia, tetapi juga mencerminkan keseimbangan ekosistem, keadilan sosial, dan kelestarian lingkungan. Untuk itu, setiap orang memiliki peran dalam menjaga ketahanan pangan, mulai dari produsen hingga konsumen.
0 Komentar
Thanks for your visiting and comments!