Makan Tabungan [Gambar: indografis] |
DALAM beberapa bulan terakhir, fenomena makan tabungan atau memakai tabungan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari semakin marak di kalangan masyarakat Indonesia, terutama di kalangan kelas menengah. Fenomena ini bisa dilihat dari dari data Distribusi Simpanan yang dirilis oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang menunjukkan bahwa nominal tabungan masyarakat di bawah Rp. 100 juta tumbuh paling kecil sepanjang tahun berjalan atau year to date (ytd) dibanding dengan kelompok simpanan lainnya.
Per Agustus 2024, nominal simpanan di bawah Rp 100 juta mencapai Rp 1.061,42 triliun atau setara dengan 12,2 persen dari total simpanan sebesar Rp 8.698,53 triliun, atau hanya meningkat 0,8 persen secara ytd. Sementara secara tahunan tiering simpanan ini naik 5,3% year on year (yoy), dan secara bulanan angka ini naik tipis dari bulan sebelumnya yang tumbuh 0,3 persen.
Kondisi tersebut menunjukkan bahwa banyak orang tidak lagi mengandalkan pendapatan reguler (harian atau bulanan) mereka, tetapi menarik tabungan untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya. Lalu faktor apa yang menjadi pemicunya?
Pertama adalah naiknya harga barang dan jasa secara beruntun atau inflasi. Inflasi di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir cukup fluktuatif. Kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok yang dikonsumsi sehari-hari oleh masyarakat membuat daya beli masyarakat menurun. Kelas menengah yang awalnya cukup stabil dalam memenuhi kebutuhan dengan pendapatan regulernya saat ini terpaksa menarik tabungan untuk menutup biaya hidup yang terus meningkat. Tabungan adalah pilihan yang paling liquid untuk menutup biaya hidup yang terus meningkat akbit inflasi.
Selain inflasi dan deflasi, kelas menengah menjadi kelompok yang paling terdampak dalam situasi ini. Kelompok kelas menengah biasanya memiliki penghasilan yang cukup untuk menabung, namun tidak sebesar kelas atas yang bisa memiliki investasi besar atau sumber pendapatan lainnya. Saat inflasi meningkat, pengeluaran mereka menjadi lebih besar, sedangkan pendapatan tidak mengalami peningkatan yang signifikan. Kondisi ini membuat kelompok menengah yang sebelumnya mampu menabung setiap bulan kini harus mengurangi atau bahkan berhenti menabung.
Di sisi lain, kelas menengah juga cenderung memiliki gaya hidup tertentu yang sulit untuk diubah dalam jangka pendek. Mereka sebelumnya mungkin sudah memiliki "komitmen keuangan" seperti membayar cicilan rumah, kredit kendaraan, pendidikan anak, dan gaya hidup yang sudah terpola sejak lama. Dengan inflasi yang melambung, mereka dihadapkan pada dua pilihan sulit, yaitu menurunkan standar hidup atau menguras tabungan. Sebagian besar memilih opsi kedua karena menganggap tabungan adalah "pengaman" sementara dan lebih liquid, meskipun bisa merugikan kalau dilakukan terus-menerus.
Selanjutnya, pemicu kedua adalah deflasi. Ketika deflasi, harga-harga barang memang cenderung menurun karena permintaan konsumen yang melemah. Namun, bagi sebagian orang, deflasi ini tidak selalu berdampak positif. Deflasi biasanya muncul saat kondisi ekonomi mengalami kemandekan atau stagnan dan bahkan menurun. Akibatnya, banyak perusahaan mengurangi produksi dan yang lebih jauh mengurangi pekerjanya atau pemutusa hubungan kerja (PHK) untuk menekan biaya. Dampak berikutnya tentu jumlah pengangguran akan meningkat, masyarakat tidak memiliki sumber pendapatan tetap sehingga memaksa masyarakat mengandalkan tabungan biaya hidupnya.
Selain masalah inflasi dan deflasi, kurangnya literasi keuangan juga berperan dalam fenomena makan tabungan ini. Banyak masyarakat Indonesia, termasuk kelas menengah, yang belum memiliki pemahaman mendalam tentang manajemen keuangan dan pentingnya diversifikasi aset. Mereka cenderung menyimpan tabungan di bank atau bahkan di rumah, yang nilainya akan tergerus oleh inflasi seiring waktu. Padahal, dengan literasi keuangan yang baik, kelas menengah bisa mempertimbangkan investasi di instrumen yang lebih menguntungkan dan tahan inflasi, seperti obligasi atau saham.
Fenomena makan tabungan ini seharusnya menjadi perhatian kita semua, utamanya pemerintah. Untuk pemerintah, kebijakan yang pro-rakyat perlu diterapkan untuk menjaga stabilitas harga dan daya beli masyarakat. Subsidi bahan pokok, pengaturan harga yang efektif, dan bantuan bagi usaha kecil-menengah bisa menjadi solusi agar masyarakat kelas menengah dan bawah tidak terus-menerus tertekan oleh inflasi yang tinggi. Sementara itu, di tingkat masyarakat, perlu ada kesadaran akan pentingnya literasi keuangan dan manajemen tabungan yang baik sehingga bisa membantu membangun ketahanan finansial yang lebih kuat, yang pada akhirnya fenomena makan tabungan dapat dihindari.
0 Komentar
Thanks for your visiting and comments!