PERNAH mendengar istilah doom spending? Doom spending adalah kebiasaan belanja yang tidak terkendali dan lebih disebabkan karena emosi negatif semata, seperti stres, kecemasan, atau ketidakpastian tentang kondisi masa depan. Ketika dihadapkan pada situasi emosional yang sulit seperti itu, kita dan banyak orang lain yang memilih belanja sebagai cara untuk melarikan diri dari kekalutan itu. "Shopping is healing" begitu kira-kira istilahnya. Namun demikian, meskipun doom spending bisa memberikan kepuasan, sifatnya hanya sementara, justru ke depannya bisa lebih memperburuk kondisi keuangan kita.
Doom spending semakin menjadi-jadi akhir-akhir ini dan terutama "menyerang" generasi milenial dan Gen Z. Mengutip Psychology Today dalam surveinya menemukan bahwa pengeluaran untuk membeli barang-barang yang tidak berguna lebih umum terjadi, dan terjadi pada kelompok orang yang mungkin tidak menghasilkan uang selama bertahun-tahun atau uanggnya belum mencukupi. Dan doom spending tersebut, sebesar 43 persen terjadi di kalangan generasi milenial dan sebesar 35 persen terjadi pada Gen Z.
Memang di era media sosial yang serba visual seperti saat ini, tekanan untuk menampilkan gaya hidup tertentu semakin tinggi. Platform seperti Facebook, Instagram, TikTok dan berbagai marketplace mengaburkan batas antara keinginan dan kebutuhan, mendorong kita untuk terus mengikuti tren dan gaya hidup yang serba "wah" dan "wow" yang terlihat di layar. Ketika kita melihat orang lain menikmati hidup yang terlihat “sempurna” di media sosial, dorongan untuk meniru dan membandingkan diri pun tak terelakkan. Akibatnya, kita mungkin tergoda untuk membeli barang-barang yang tidak perlu, meskipun kondisi keuangan kita sebenarnya tidak mendukung.
Doom spending semakin menjadi-jadi karena didorong misalnya dengan kemudahan penggunaan kartu kredit ataupun fasilitas paylater yang memungkinkan kita lebih mudah berbelanja tanpa langsung mengeluarkan uang. Laporan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), mencatat bahwa nilai penyaluran fintech lending mencapai Rp20,53 triliun per Agustus 2023, dan 60 persen penggunanya berasal dari generasi milenial dan Gen Z. Akses yang mudah ini menciptakan lingkaran utang yang terus membesar jika tidak diimbangi dengan kemampuan kita untuk membayar dan melunasinya.
Selain itu, doom spending juga terkait dengan rendahnya tingkat literasi finansial di kalangan anak muda. Tanpa pemahaman yang cukup mengenai konsep dasar keuangan seperti pengelolaan utang, bunga kredit, atau pentingnya penganggaran, banyak generasi muda yang membuat keputusan finansial yang kurang bijaksana. Oleh karena itu, edukasi terkait finansial sangat diperlukan untuk membantu kita bisa memahami dampak jangka panjang dari setiap keputusan yang kita ambil, termasuk keputusan untuk berbelanja.
Untuk mencegah doom spending, kita juga perlu belajar mengendalikan diri dan mengatasi emosi dengan cara yang lebih sehat. Menghadapi stres atau kecemasan sebaiknya dilakukan dengan aktivitas positif, seperti berolahraga dan melakukan hobi yang menyenangkan. Selain itu, membiasakan diri menunda mendapatkan kepuasan dengan menahan dorongan impulsif saat ingin berbelanja. Menunda pembelian impulsif memberi kesempatan untuk mempertimbangkan dengan matang apakah barang tersebut benar-benar dibutuhkan atau hanya keinginan sesaat.
Demikian juga dengan membuat anggaran belanja. Dengan anggaran belanja yang jelas, kita dapat lebih bijaksana dalam mengelola pengeluaran dan memastikan bahwa belanja yang kita lakukan benar-benar sesuai kebutuhan. Menetapkan batas pengeluaran dan mengontrol diri sendiri akan membantu membangun stabilitas keuangan yang lebih kuat. Kebiasaan ini, meskipun sederhana, akan berdampak besar dalam jangka panjang. Demikian!
0 Komentar
Thanks for your visiting and comments!