Ad Code

Usia 30-an dan Selera Musik yang Terjebak Nostalgia

Lagu yang terekam dalam kaset [Sumber: FB kasetku kasetmu]

BARANGKALI ada yang merasakan saat usia 30-an, ada sesuatu yang aneh tapi menarik dalam menikmati musik. Seolah-olah waktu berhenti, dan kita terjebak dalam nostalgia nada lama. Bagi banyak orang, usia ini menjadi momen refleksi, dan musik memainkan peran penting di dalamnya. Lagu-lagu yang dulu akrab di telinga kini menjadi semacam pengingat akan masa muda yang penuh gairah. Ketika Power Metal dengan "Angkara"-nya, Kla Project,  Dewa 19, Gombloh, Iwan Fals, atau Frangky Sahilatua terdengar, pikiran kita melompat kembali ke era kaset dan CD, ketika setiap lagu terasa lebih bermakna karena sering kali harus kita dengarkan dari awal hingga akhir. Seperti dalam Enricopasini, kita bisa mengulang masa lalu melalui musik.

Bagi mereka yang tumbuh besar pada 1990-an dan awal 2000-an, nama-nama seperti Base Jam, Sheila on 7, atau Peterpan adalah bagian tak terpisahkan dari perjalanan hidup. Musik mereka bukan hanya hiburan, melainkan teman di setiap fase kehidupan—dari patah hati, jatuh cinta, hingga perjuangan menemukan diri sendiri. Misalnya, ketika Base Jam melantunkan "Bukan Pujangga," siapa yang tidak pernah merasa lagunya seperti cerminan kehidupan cinta mereka? Atau Sheila on 7 dengan "Dan," yang melukiskan harapan sederhana tentang cinta sejati.  

Namun, ada yang menarik dari usia 30-an: selera musik kita cenderung berhenti berkembang. Kita mungkin masih mendengarkan lagu-lagu baru, tetapi hati kita selalu kembali pada lagu-lagu lama. Iwan Fals dengan syair-syair protesnya, Gombloh dengan kehangatan lagunya, atau Ebiet G. Ade yang selalu membawa renungan mendalam—semuanya menawarkan rasa nyaman yang sulit digantikan. Begitu pula dengan suara merdu Franky Sahilatua atau lagu-lagu penuh makna dari Kantata Taqwa yang membawa perasaan nostalgia akan zaman yang lebih sederhana.  

Beberapa studi menyebutkan bahwa usia 30-an sering menjadi "puncak nostalgia" dalam selera musik. Di usia ini, kita mulai mencari kenangan lama yang membawa kebahagiaan atau rasa aman. Ketika Jamrud menggemuruhkan "Selamat Ulang Tahun," atau Dewa 19 dengan melodi magis "Kangen," kita merasa seperti kembali ke momen ketika dunia terasa lebih sederhana. Musik bukan hanya hiburan; ia adalah mesin waktu yang membawa kita ke masa-masa penting dalam hidup.  

Ketika MLTR (Michael Learns to Rock) menjadi populer di Indonesia, banyak dari kita yang mulai merasakan nuansa romantis Barat yang berbeda. Lagu-lagu mereka menjadi favorit di radio, menemani malam panjang, atau bahkan menjadi soundtrack momen cinta pertama. Begitu pula dengan Five Minutes, Base Jam, Ada Band, atau bahkan Peterpan yang hadir di awal 2000-an dengan lagu-lagu penuh emosi khas remaja, membuat masa remaja kita terasa lengkap.  

Menariknya, usia 30-an juga menjadi waktu ketika kita lebih menghargai artis-artis dengan lirik mendalam dan komposisi yang "abadi." Franky Sahilatua, Ebiet G. Ade, hingga Kantata Taqwa adalah contoh musisi yang liriknya terus relevan di berbagai zaman. Di sisi lain, ada juga yang tidak pernah melupakan sensasi mendengar Gigi dengan "Janji" dan "11 Januari" atau nostalgia dengan melodi-melodi lembut dari Kla Project yaang memperkenalkan "Dinda" dan mengajak sampai ke "Yogjakarta. Demikian juga dengan Jikustik yang membuat kita selalu "Untuk Dikenang" dan "Setia". Lagu-lagu mereka tidak hanya menyenangkan, tetapi juga menjadi teman setia di setiap perjalanan. 

Namun, mengapa selera musik di usia ini terasa "terhenti"? Jawabannya mungkin terletak pada kenyamanan. Lagu-lagu lama memberikan perasaan aman, seperti selimut hangat yang melindungi kita dari dinginnya kenyataan. Di tengah kesibukan pekerjaan dan tanggung jawab keluarga, kita sering tidak punya waktu atau energi untuk mencari musik baru. Akhirnya, kita kembali pada koleksi lama, yang sudah kita kenal dan cintai. 

Meski demikian, bukan berarti kita benar-benar menutup diri dari musik baru. Ada saatnya kita mencoba mendengarkan artis atau genre baru, tetapi daya tariknya sering tidak bertahan lama. Kita akan kembali ke momen-momen yang membentuk kita. Ketika Power Metal, Dewa 19, Iwan Fals, Aebiet G. Ade, Frangky Sahilatua, Jamrud, atau Gombloh kembali mengisi telinga kita, kita sadar bahwa meskipun dunia terus berubah, ada hal-hal yang tetap "abadi". Musik adalah salah satunya, menjadi saksi bisu perjalanan hidup kita yang penuh warna.

Posting Komentar

0 Komentar

Ad Code