Ad Code

Ramadan, Statistik, dan Kesunyian Dapur Kita

MENJELANG bulan suci Ramadan 2025 yang tinggal satu atau dua hari lagi, ada satu hal yang menggelitik rasa penasaran kita: mengapa masyarakat justru mengurangi belanja, padahal biasanya periode ini identik dengan lonjakan konsumsi? Data terbaru dari Mandiri Spending Index (MSI) menunjukkan bahwa nilai belanja masyarakat mengalami perlambatan ke angka 236,2 hanya satu minggu sebelum Ramadan. Ini adalah sinyal yang tidak biasa—bahkan bisa dikatakan sebagai anomali.

Jika kita menengok ke belakang, terakhir kali terjadi perlambatan belanja menjelang Ramadan adalah pada Maret 2020, tepat saat pandemi Covid-19 mulai menghantam Indonesia. Saat itu, MSI hanya menyentuh angka 58. Bandingkan dengan sekarang, meski nilainya tidak serendah 2020, kita tetap melihat tren yang mengkhawatirkan. Apakah ini berarti kondisi ekonomi kita benar-benar sedang tidak sehat?

Secara historis, Ramadan merupakan masa puncak konsumsi. Biasanya, kebutuhan makanan, minuman, pakaian, dan aktivitas hiburan melonjak tajam. Tapi tahun ini, pola itu tampaknya mulai bergeser. Kini, masyarakat Indonesia lebih memprioritaskan kebutuhan pokok. Porsi belanja untuk restoran dan supermarket mendominasi, masing-masing sebesar 20,2% dan 15,9%. Artinya, lebih dari sepertiga pengeluaran kita terkonsentrasi pada makanan dan kebutuhan rumah tangga sehari-hari.

Sementara itu, belanja untuk kategori hiburan, olahraga, dan hobi terus mengalami penurunan. Dari yang sebelumnya 7,7% kini hanya tinggal 6,5%. Ini bisa dibaca sebagai indikator bahwa kita mulai menahan diri dari konsumsi yang bersifat tersier dan lebih fokus pada yang primer. Bahkan kategori household hanya naik tipis dari 12,8% menjadi 13,1%, mencerminkan betapa hati-hatinya kita dalam membelanjakan uang.

Lebih jauh, tren perlambatan konsumsi ini sejalan dengan kondisi deflasi yang melanda Indonesia selama dua bulan berturut-turut. Pada Januari dan Februari 2025, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat deflasi sebesar -0,48% secara bulanan dan -0,09% secara tahunan. Yang mengejutkan, ini adalah deflasi tahunan pertama dalam 25 tahun terakhir. Deflasi tersebut sebagian besar disebabkan oleh adanya diskon tarif listrik, serta stabilnya harga bahan pangan seperti daging ayam, cabai merah, tomat, dan telur ayam ras.

Namun, kita tidak bisa hanya menyalahkan diskon atau harga pangan yang stabil. Data ini sejatinya menunjukkan persoalan yang lebih dalam—daya beli masyarakat sedang lesu. Ketika harga-harga turun namun kita tetap tidak berbelanja lebih banyak, itu pertanda bahwa kita mungkin sedang kehilangan kemampuan atau kepercayaan diri untuk mengeluarkan uang.

Fenomena ini tentu patut kita cermati bersama. Ramadan adalah waktu yang sakral dan penuh keberkahan. Biasanya, kita menyambutnya dengan berbagai persiapan dan belanja kebutuhan yang meningkat. Tapi jika sekarang kita justru menahan diri, itu bisa jadi sinyal bahwa ekonomi rumah tangga sedang dalam tekanan. Apalagi jika tren ini terus berlanjut setelah Ramadan, bukan tidak mungkin kita akan memasuki fase resesi konsumsi.

Saatnya kita menilik kembali prioritas dalam belanja, namun pemerintah juga perlu peka dan sigap menghadapi tanda-tanda penurunan daya beli ini. Jangan sampai kita hanya mengandalkan diskon dan stabilitas harga sesaat, tanpa membenahi akar persoalan ekonomi yang lebih besar. Sebab, Ramadan yang seharusnya membawa semangat dan keberkahan, jangan sampai justru menjadi cermin dari sulitnya kehidupan yang kita jalani.

Posting Komentar

0 Komentar

Ad Code