Ad Code

Bagaimana Pola Belanja Konsumen di Bulan Ramadan 2025?

BANYAK yang memperkirakan bahwa Ramadan 2025 kali ini akan menghadirkan perubahan besar dalam pola belanja konsumen pada suatu produk atau merek. Konsumen semakin cerdas, tidak lagi semata-mata didorong oleh euforia konsumsi, melainkan oleh utilitas atau nilai guna dan relevansi terhadap kebutuhannya. Produsen yang gagal memahami pergeseran ini akan tertinggal, sementara produsen yang mampu beradaptasi dengan tren baru, produknya akan tetap relevan di pasar yang semakin selektif.

Dalam beberapa tahun terakhir, kita melihat bagaimana Ramadan bukan lagi tentang belanja impulsif. Konsumen tidak lagi mudah tergiur oleh diskon besar-besaran tanpa memahami kualitas produk yang ditawarkan. Mastercard-CrescentRating dalam laporan "Unlocking Consumer Trust and Brand Engagement Across Key Segments in Indonesia’s Muslim Market" menunjukkan bahwa 90% konsumen lebih memilih produk yang selaras dengan nilai dan prinsip berbasis keimanan. Bukan hanya sekadar halal, tetapi juga kualitas dan harga yang wajar atau masuk akal.

Hal ini semakin diperkuat oleh temuan Moonfolks dalam laporannya "The Ramadan Reset", yang mengungkap bahwa semakin banyak konsumen yang skeptis terhadap strategi pemasaran berbasis promosi besar. Konsumen ingin tahu apakah produk yang dibeli benar-benar memiliki nilai lebih, bukan sekadar gimmick pemasaran yang menipu.

Lebih lanjut, media sosial kini juga menjadi tempat utama bagi konsumen dalam menemukan dan menilai produk. TikTok dan Instagram menjadi pilihan utama untuk mencari informasi tentang produk. Sebanyak 40% dari konsumen mengandalkan platform ini sebagai sumber utama penemuan produk. Konsumen lebih percaya pada review pengguna, ulasan dari influencer, serta transparansi produk dalam menjelaskan komitmennya terhadap kualitas dan nilai-nilai yang dipegang. 

Ramadan 2025 juga mencerminkan pergeseran dari konsumsi impulsif ke konsumsi strategis. Masih mengacu pada laporan Moonfolks yang menunjukkan bahwa 64% keluarga kelas menengah Indonesia telah merencanakan pengurangan belanja non-esensial, lebih mengutamakan efisiensi dan pemanfaatan anggaran dengan bijak. Konsumen tidak lagi membeli sesuatu hanya karena ada diskon, tetapi benar-benar mempertimbangkan manfaat jangka panjang dari setiap pembelian.

Konsumen juga semakin cermat dalam mencari harga terbaik. Aplikasi perbandingan harga, strategi pembelian dalam jumlah besar, serta penggunaan layanan Buy Now, Pay Later (BNPL) menjadi cara yang semakin umum. Bahkan, 34% dari konsumen telah mulai memanfaatkan BNPL untuk mengatur arus kas selama Ramadan. Hal ini menunjukkan bahwa konsumen semakin pintar dalam mengelola pengeluaran, tidak sekadar membelanjakan uang tanpa perhitungan.

Di sektor makanan dan minuman, konsumen tidak lagi sekadar mencari label halal. Kini, konsumen lebih memperhatikan standar etika, keberlanjutan, dan kualitas produk yang dikonsumsi. Konsumen ingin tahu dari mana bahan bakunya berasal, bagaimana proses produksinya, dan apakah merek tersebut memiliki kepedulian terhadap lingkungan serta kesejahteraan pekerja.

Yang menarik, tren boikot terhadap merek global yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir telah berdampak pada pola konsumsi masyarakat. Laporan Moonfolks juga mencatat bahwa dalam kategori fashion dan alas kaki, 38% dari konsumen kini lebih memilih merek atau produk lokal, sementara dalam kategori perawatan kulit dan tubuh, angkanya mencapai 50%. Hal ini menunjukkan bahwa konsumen semakin peduli terhadap produk-produk yang tidak hanya mendukung ekonomi lokal, tetapi juga lebih dekat dengan nilai budaya dan komunitas konsumen.

Namun demikian produk merek-merek global tidak serta-merta kehilangan daya saing. Mereka yang mampu beradaptasi dengan konteks lokal masih bisa bertahan. Promosi yang memasukkan unsur budaya lokal, kolaborasi dengan influencer lokal, serta penyesuaian produk yang lebih relevan dengan kebutuhan konsumen terbukti bisa meningkatkan penjualan sampai 30%. Ini menjadi bukti bahwa konsumen tidak sekadar membeli produk, tetapi membeli produk yang memiliki kedekatan emosional dan budaya.

Jadi, apa yang harus dilakukan produsen dengan mereknya agar tetap relevan bagi konsumen? Pertama, transparansi adalah kunci. Kita semakin kritis terhadap klaim halal, keberlanjutan, dan etika bisnis. Produsen harus lebih terbuka dalam menunjukkan sertifikasi halal, sumber bahan baku, serta standar produksi mereka. 

Kedua, strategi pemasaran harus berubah. Konsumen tidak lagi tertarik pada diskon besar-besaran yang tidak jelas manfaatnya. Produsean harus menawarkan atau promosi berbasis nilai guna dan manfaat nyata bagi konsumen.

Ketiga, identitas lokal menjadi daya tarik tersendiri. Merek lokal memiliki momentum untuk memperkuat posisinya, sementara merek global harus bisa menyesuaikan diri dengan elemen budaya konsumen. 

Keempat, kehadiran di media sosial harus lebih dari sekadar iklan. Konsumen ingin interaksi yang lebih autentik, ulasan pengguna yang jujur, sesi live yang edukatif, dan konten yang benar-benar relevan dengan kehidupan konsumen.

Jadi, Ramadan 2025 kali ini bukan lagi sekadar momentum belanja, tetapi sebuah ujian bagi produsen untuk membuktikan komitmennya terhadap nilai dan kebutuhan konsumen. Produsen yang bisa memahami perubahan ini dan menyesuaikan strateginya akan terus tumbuh dan memimpin pasar. Sedangkan mereka yang tetap mengandalkan strategi lama tanpa inovasi akan kehilangan tempat di hati konsumen.

Posting Komentar

0 Komentar

Ad Code