Ad Code

Idul Fitri 2025 dan Anomali Ekonomi (Konsumsi) Kita

MENJELANG Idul Fitri 2025, kita dihadapkan pada realitas ekonomi yang tak biasa. Alih-alih merasakan lonjakan konsumsi seperti tahun-tahun sebelumnya, justru ada indikasi kuat bahwa daya beli masyarakat tengah mengalami tekanan berat. Laporan terbaru dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, mengungkap fakta-fakta mencengangkan yang patut menjadi perhatian kita semua.  

Dalam ekonomi Indonesia, konsumsi rumah tangga menyumbang lebih dari 54% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Biasanya, menjelang Ramadan dan Idulfitri, konsumsi meningkat drastis seiring dengan meningkatnya pengeluaran untuk kebutuhan makanan, minuman, pakaian, hingga transportasi mudik. Namun, tahun ini berbeda.  

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat deflasi pada Februari 2025, dengan angka tahunan -0,09%, bulanan -0,48%, dan year to date -1,24%. Deflasi memang terjadi akibat insentif tarif listrik 50% dari pemerintah untuk rumah tangga menengah sejak Januari 2025. Namun, yang mengejutkan, bukan hanya sektor perumahan yang mengalami penurunan harga, tetapi juga sektor makanan, minuman, dan tembakau. Padahal, biasanya menjelang Ramadan, sektor ini justru mengalami inflasi akibat lonjakan permintaan.  

Data dari CORE juga menunjukkan bahwa pada 2024, sektor makanan, minuman, dan tembakau menyumbang inflasi 0,29% pada Februari dan 0,41% pada Maret. Tahun 2023 juga menunjukkan pola serupa, yakni 0,13% (Februari) dan 0,09% (Maret). Namun, pada 2025, sektor ini justru mengalami deflasi dengan andil -0,12%. Hal ini menandakan permintaan masyarakat turun signifikan, yang bisa jadi disebabkan oleh lemahnya daya beli.  

Selain itu, Indeks Penjualan Riil (IPR) yang dirilis oleh Bank Indonesia menunjukkan tren penurunan sebesar 0,5% (year on year) pada Februari 2025, dipicu oleh merosotnya penjualan di sektor makanan, minuman, dan tembakau (-1,7%). Jika kita melihat tren lebih jauh, pertumbuhan IPR sejak 2017 memang sudah melambat, berlawanan dengan tren sebelumnya yang selalu mencapai dua digit.  

Tak hanya di pasar umum, pelemahan daya beli juga tercermin dari perlambatan pertumbuhan ritel modern. Indomaret, misalnya, yang sempat tumbuh pesat 44,7% pada 2022-2023, kini hanya mampu mencatat pertumbuhan 4% pada 2024. Alfamart mengalami penurunan dari 13,9% (2022) menjadi 10% (2024). Ramayana lebih parah lagi, dari 8,1% (2022) menjadi hanya 0,1% (2024). Ritel kelas menengah atas pun tak luput dari dampak ini. Hypermarket hanya tumbuh 2,3% pada 2024, jauh di bawah 4,8% pada 2022. Sementara itu, Matahari bahkan mengalami penurunan penjualan -2,6% pada tahun yang sama.  

Sinyal lain dari lemahnya konsumsi dapat kita lihat dari data impor barang konsumsi yang anjlok. Pada Februari 2025, impor barang konsumsi hanya mencapai 1,47 miliar dolar AS, turun 10,61% dibandingkan Januari 2025 dan turun lebih dalam sebesar 21,05% dibandingkan Februari 2024.  

Fenomena lainnya yang menarik perhatian adalah penurunan jumlah pemudik. Biasanya, menjelang Lebaran, masyarakat berbondong-bondong pulang ke kampung halaman, yang tentunya mendorong konsumsi di sektor transportasi, pariwisata, hingga kuliner. Namun, data Kementerian Perhubungan menunjukkan bahwa jumlah pemudik 2025 hanya mencapai 146,48 juta orang, jauh lebih sedikit dibandingkan 193,6 juta pemudik pada 2024, atau turun 24%.  

Penurunan jumlah pemudik ini menjadi indikator tambahan bahwa banyak keluarga yang mengurangi pengeluaran Lebaran akibat keterbatasan finansial. CORE menyebutkan bahwa fenomena ini tidak lepas dari maraknya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) serta sulitnya mencari pekerjaan di sektor formal. Dampak deindustrialisasi dini yang telah berlangsung selama beberapa tahun terakhir mulai terasa, menyebabkan semakin banyak masyarakat yang kesulitan mendapatkan penghasilan layak.  

Jika situasi ini terus berlanjut, CORE mengingatkan bahwa anomali konsumsi ini bisa berdampak lebih besar terhadap perekonomian nasional. Melemahnya daya beli rumah tangga tidak hanya menekan sektor ritel dan konsumsi, tetapi juga berpotensi mengurangi kualitas hidup masyarakat secara keseluruhan. Dalam jangka panjang, rendahnya pendapatan juga bisa memicu ketegangan sosial akibat meningkatnya kesenjangan ekonomi di tengah lonjakan biaya hidup.  

Idul Fitri 2025 seharusnya menjadi momen kebahagiaan, tetapi data-data ekonomi justru menunjukkan bahwa banyak dari kita sedang berjuang menghadapi situasi sulit. Pertanyaannya, apakah pemerintah dan pemangku kebijakan bisa segera mengambil langkah konkret untuk mengatasi anomali ini? Ataukah kita akan terus terjebak dalam lingkaran pelemahan ekonomi yang tak berkesudahan?

Posting Komentar

0 Komentar

Ad Code