RAMADAN dan Idulfitri selama ini menjadi momen krusial dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Tradisi belanja kebutuhan pokok, pakaian baru, hingga arus mudik yang menggeliat telah lama menjadi penggerak konsumsi rumah tangga di Indonesia. Namun, tahun ini, suasana menjelang Ramadan terasa berbeda. Suasana pasar tidak semeriah biasanya, pusat perbelanjaan tak lagi dipenuhi pengunjung yang antre belanja, dan banyak dari kita yang lebih memilih menyimpan uang ketimbang membelanjakannya.
Fenomena ini mencerminkan kekhawatiran ekonomi yang membayangi masyarakat. Pemutusan hubungan kerja massal di sektor manufaktur, lonjakan harga komoditas, serta lemahnya daya beli membuat masyarakat bersikap lebih hati-hati dalam berbelanja. Bahkan, konsumsi rumah tangga yang selama ini menyumbang lebih dari setengah produk domestik bruto (PDB) Indonesia, diperkirakan tak mampu memberikan dorongan signifikan bagi pertumbuhan ekonomi pada kuartal pertama 2025.
Kondisi ini makin diperburuk oleh tren deflasi yang terjadi pada awal tahun. Kita mencatat adanya deflasi bulanan pada Januari dan Februari 2025, dengan angka tahunan mencatat deflasi sebesar 0,09 persen—yang merupakan pertama kali sejak 25 tahun terakhir. Sekilas, deflasi mungkin terdengar baik karena harga turun. Namun kenyataannya, deflasi juga bisa menjadi sinyal bahwa permintaan masyarakat melemah. Orang enggan belanja, dan roda ekonomi pun melambat.
Indikator lain yang patut diperhatikan adalah turunnya Indeks Keyakinan Konsumen. Penurunan ini menandakan kekhawatiran masyarakat terhadap kondisi ekonomi saat ini dan masa depan. Bukan hanya karena harga-harga yang tak menentu, tetapi juga karena banyak di antara kita yang kehilangan pekerjaan atau mengalami ketidakpastian penghasilan. Di sektor industri, ribuan pekerja telah dirumahkan. Perusahaan besar pun mulai gulung tikar. Kondisi ini membuat kita ragu untuk membelanjakan uang, bahkan ketika momen lebaran biasanya jadi waktu istimewa untuk berbelanja dan berbagi.
Bergesernya pola konsumsi masyarakat terlihat dari keinginan untuk menabung daripada membelanjakan uang tunjangan hari raya. Jika biasanya bonus lebaran digunakan untuk membeli pakaian baru, memperbaiki rumah, atau mudik dengan penuh semangat, kini banyak yang lebih memilih menyimpannya untuk kebutuhan mendesak yang belum jelas waktunya. Keputusan ini merupakan bentuk kewaspadaan menghadapi masa depan ekonomi yang tak pasti.
Padahal, semarak Ramadan dan Idulfitri bukan hanya soal spiritualitas, tetapi juga memberikan dampak ekonomi yang besar, terutama bagi pelaku usaha kecil dan menengah, pedagang pasar, hingga sektor pariwisata. Ketika aktivitas belanja dan perjalanan mudik menurun, maka sektor-sektor tersebut juga ikut terdampak. Tahun ini, jumlah pemudik diperkirakan turun drastis hingga 24 persen dibanding tahun lalu. Itu artinya, perputaran uang di daerah juga akan lebih rendah, dan perekonomian lokal akan kehilangan momentum penting untuk tumbuh.
Meskipun pemerintah telah meluncurkan berbagai program untuk menstimulasi konsumsi—dari bantuan sosial, diskon tiket pesawat dan tol, hingga promosi belanja di pusat perbelanjaan—namun dampaknya belum mampu mengembalikan gairah konsumsi seperti sebelumnya. Upaya seperti penyaluran bantuan Program Keluarga Harapan, operasi pasar murah, dan disbursement tunjangan hari raya bagi PNS memang perlu diapresiasi. Namun, akar persoalan tetap terletak pada rendahnya daya beli dan ketidakpastian ekonomi yang masih membayangi.
Kita perlu menyadari bahwa pemulihan ekonomi tidak bisa hanya bergantung pada momentum musiman. Perlu ada strategi jangka menengah dan panjang yang berfokus pada penciptaan lapangan kerja, peningkatan pendapatan, dan stabilisasi harga kebutuhan pokok. Jika harga bahan pangan tidak terjangkau, maka bantuan sekalipun akan cepat habis, dan konsumsi tetap tertahan.
Dalam jangka pendek, stabilisasi harga menjadi kunci. Kita butuh kepastian bahwa harga beras, minyak, daging, dan bahan pokok lainnya tidak melonjak menjelang lebaran. Jika harga-harga ini bisa dikendalikan, masyarakat akan lebih percaya diri untuk membelanjakan uangnya. Kepercayaan konsumen adalah fondasi utama bagi ekonomi berbasis konsumsi seperti Indonesia.
Ramadan seharusnya menjadi waktu penuh berkah, tidak hanya secara spiritual tetapi juga ekonomi. Sayangnya, tahun ini kita harus menjalani bulan suci dengan kehati-hatian ekstra. Banyak dari kita yang harus menunda keinginan dan mengencangkan ikat pinggang. Ini adalah gambaran nyata bahwa ekonomi belum sepenuhnya pulih.
Oleh karena itu, kita tidak bisa hanya mengandalkan stimulus sesaat. Pemerintah perlu bergerak cepat dan menyeluruh dalam menciptakan rasa aman ekonomi bagi masyarakat. Kita semua ingin merayakan Idulfitri dengan sukacita, tetapi sukacita itu hanya akan hadir jika perut kenyang, dompet tidak kosong, dan masa depan terlihat lebih pasti.
Semoga bulan suci ini menjadi momen refleksi, tidak hanya secara spiritual, tetapi juga dalam melihat arah kebijakan ekonomi kita. Karena ketika Ramadan tak lagi menggairahkan ekonomi, itu pertanda bahwa ada yang perlu dibenahi lebih dalam.
0 Komentar
Thanks for your visiting and comments!