Ad Code

Lebaran Tak Lagi Gemerlap, Ekonomi Indonesia Gelap?

SETIAP tahun, Lebaran selalu menjadi momen yang dinanti. Tak hanya sebagai hari kemenangan umat Muslim, tetapi juga sebagai puncak aktivitas ekonomi rakyat. Jalan-jalan padat, stasiun dan bandara sesak, pusat perbelanjaan ramai, serta warung-warung hingga toko kelontong ikut panen rezeki. Namun, tahun 2025 ini, ada kabar yang sedikit mengejutkan: perputaran uang selama momen Lebaran diprediksi mengalami penurunan cukup signifikan. Dari angka tahun lalu yang sempat mencapai Rp 157 triliun, kini diperkirakan hanya akan menyentuh Rp 137 triliun. Penurunan sekitar Rp 20 triliun bukan angka kecil.

Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah ini pertanda daya beli masyarakat makin melemah? Ataukah masyarakat mulai berubah dalam membelanjakan uangnya? Kita perlu menelaah fenomena ini secara mendalam dan tidak hanya melihatnya sebagai angka semata. Lebaran bukan sekadar soal tradisi pulang kampung dan membeli baju baru. Lebaran adalah cermin ekonomi rakyat.

Salah satu penyebab utama dari merosotnya perputaran uang adalah berkurangnya jumlah pemudik. Tahun ini, jumlah pemudik diperkirakan menurun drastis dibanding tahun lalu. Bila sebelumnya lebih dari 190 juta orang pulang kampung, kini hanya sekitar 146 juta. Ini berarti jutaan orang yang dulu turut menyemarakkan geliat ekonomi daerah kini memilih bertahan di kota. Imbasnya, roda ekonomi di daerah yang biasanya bergeliat karena arus uang dari para pemudik menjadi lebih lesu.

Ada beberapa alasan yang membuat orang enggan mudik. Pertama, jarak antara libur Natal dan Tahun Baru (Nataru) dengan Lebaran tahun ini relatif dekat. Banyak dari kita yang sudah menghabiskan anggaran dan cuti untuk liburan akhir tahun, sehingga tidak lagi memiliki cukup dana untuk pulang kampung saat Lebaran. Kedua, kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih. Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) masih terjadi di beberapa sektor, dan ini membuat banyak dari kita memilih menahan pengeluaran. Lebaran tak lagi menjadi momen untuk foya-foya, melainkan saat untuk hemat dan menabung.

Lebih dari itu, kita juga menghadapi tantangan dalam bentuk pengeluaran yang semakin tinggi. Tahun ajaran baru sekolah biasanya berlangsung tidak lama setelah Lebaran. Biaya pendidikan anak menjadi prioritas utama bagi banyak keluarga. Jadi, alih-alih membelanjakan uang untuk baju baru atau tiket mudik, sebagian dari kita lebih memilih menabung demi biaya sekolah anak-anak.

Namun demikian, kita tak boleh hanya melihat penurunan ini sebagai sesuatu yang negatif. Justru, ini bisa menjadi momen refleksi: apakah selama ini kita terlalu konsumtif saat Lebaran? Apakah tradisi belanja besar-besaran menjelang Lebaran memang sesuatu yang perlu dilestarikan? Kita mungkin sedang memasuki era baru, di mana gaya hidup konsumtif mulai dikoreksi oleh realitas ekonomi.

Di sisi lain, potensi ekonomi selama Lebaran tetap besar. Perputaran uang yang mencapai Rp 137 triliun tetaplah angka yang sangat besar. Dana sebesar itu menyebar ke berbagai sektor — dari makanan dan minuman, baju muslim, ritel, hingga sektor pariwisata dan transportasi. Ini adalah kesempatan emas bagi pelaku usaha, terutama UMKM lokal, untuk meraup keuntungan. Produk lokal seperti makanan khas, batik, kain tradisional, hingga kerajinan tangan bisa menjadi andalan. Oleh karena itu, pemerintah daerah dan pelaku usaha harus mampu membaca peluang ini, bahkan dalam situasi yang tidak seideal tahun sebelumnya.

Kita juga melihat bahwa Pulau Jawa masih akan menjadi pusat utama perputaran uang, dengan sekitar 60% dari total perputaran terjadi di wilayah ini. Artinya, daerah-daerah di luar Jawa masih memiliki ruang yang luas untuk tumbuh dan berkembang. Jika infrastruktur, promosi wisata, dan produk unggulan lokal bisa dikembangkan lebih baik, bukan tidak mungkin arus ekonomi akan lebih merata di masa depan.

Di balik semua ini, ada hal yang lebih penting: bagaimana kita memaknai Lebaran. Mungkin memang saatnya kita lebih mengedepankan makna spiritual dan sosial ketimbang material. Lebaran adalah tentang silaturahmi, saling memaafkan, dan berbagi. Nilai-nilai ini tetap bisa kita jaga meskipun tanpa baju baru atau pesta makanan berlebihan. Bahkan, dengan kondisi ekonomi yang menantang, semangat saling bantu dan gotong royong harus diperkuat. Ini saatnya kita saling menguatkan, bukan saling pamer.

Kita juga tak bisa menutup mata bahwa ekonomi Indonesia masih sangat bergantung pada momen-momen tertentu seperti Lebaran. Ini menunjukkan perlunya penguatan ekonomi secara menyeluruh dan berkelanjutan. Jangan sampai kita hanya bergantung pada satu momentum untuk menggerakkan roda ekonomi rakyat. Kita perlu memastikan bahwa masyarakat memiliki penghasilan yang stabil sepanjang tahun, bukan hanya saat momen liburan.

Bank Indonesia sendiri sudah menyiapkan uang layak edar dalam jumlah besar untuk menyambut Ramadan dan Idul Fitri. Tapi bila tak seluruhnya terserap, ini juga menjadi tanda bahwa perilaku konsumsi masyarakat sedang berubah. Bisa jadi masyarakat lebih selektif, lebih rasional, dan lebih bijak dalam membelanjakan uang.

Akhirnya, penurunan perputaran uang saat Lebaran 2025 ini bisa menjadi peringatan bagi kita semua. Bahwa perekonomian kita masih rentan, bahwa banyak masyarakat yang belum pulih dari dampak ekonomi yang melanda, dan bahwa kita perlu memperkuat fondasi ekonomi keluarga. Saatnya kita tidak hanya berharap dari momen-momen besar, tapi mulai menata kesejahteraan secara berkelanjutan.

Lebaran tetaplah hari kemenangan. Tapi kemenangan sejati adalah ketika kita mampu menjalani hidup dengan bijak, tangguh, dan tetap peduli satu sama lain — tak peduli seberapa besar atau kecil uang yang berputar di saku kita.

Posting Komentar

0 Komentar

Ad Code