DAYA beli masyarakat Indonesia pada awal 2025 mengalami tekanan hebat. Indeks Harga Konsumen (IHK) mencatat deflasi selama dua bulan berturut-turut, dengan deflasi bulanan sebesar -0,48% dan deflasi tahunan sebesar -0,09%. Ini adalah deflasi tahunan pertama dalam 25 tahun terakhir. Kondisi ini menunjukkan ada sesuatu yang mengubah pola konsumsi kita secara drastis. Fenomena precautionary saving atau menabung sebagai langkah antisipasi terhadap ketidakpastian ekonomi menjadi salah satu penyebab utama.
Precautionary saving muncul ketika masyarakat lebih memilih menyimpan uang daripada membelanjakannya, terutama untuk kebutuhan non-esensial. Data Mandiri Spending Index (MSI) menunjukkan bahwa belanja hiburan, olahraga, dan rekreasi turun dari 7,7% menjadi 6,5%, sementara belanja supermarket meningkat menjadi 15,9%. Pergeseran ini menandakan kekhawatiran yang mendalam akan masa depan ekonomi.
Ketidakpastian ini sebagian besar dipicu oleh tingginya angka Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Sepanjang tahun 2024, sebanyak 77.965 tenaga kerja kehilangan pekerjaan, dengan tambahan 3.325 orang terdampak PHK hanya dalam satu bulan pertama tahun 2025. Bahkan, lebih dari 10.000 pekerja di PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) harus kehilangan pekerjaan mereka per 1 Maret 2025. Gelombang PHK ini menciptakan rasa takut yang mendorong masyarakat untuk lebih berhati-hati dalam menggunakan uang mereka.
Kita harus menyadari bahwa konsumsi rumah tangga adalah salah satu pendorong utama pertumbuhan ekonomi. Ketika konsumsi melemah, permintaan agregat pun menurun, dan ini berdampak besar pada pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Jika keadaan ini terus berlanjut, kita bisa menghadapi risiko stagnasi ekonomi yang lebih serius.
Pemerintah memiliki peran yang sangat penting dalam mengatasi permasalahan ini. Tanpa adanya intervensi yang tepat, daya beli masyarakat akan terus tergerus dan memperburuk situasi ekonomi. Salah satu langkah yang bisa diambil adalah memberikan insentif fiskal bagi dunia usaha agar dapat menghindari gelombang PHK lebih lanjut. Dengan demikian, ketakutan masyarakat terhadap kehilangan pekerjaan bisa dikurangi, dan mereka lebih percaya diri untuk kembali berbelanja.
Selain itu, pemberian bantuan sosial bagi kelompok ekonomi rentan juga sangat diperlukan. Bantuan ini bisa menjadi jaring pengaman bagi mereka yang mengalami kesulitan ekonomi sehingga tetap mampu memenuhi kebutuhan dasar. Tak hanya itu, kebijakan yang mendorong pertumbuhan sektor ritel dan UMKM juga bisa menjadi solusi untuk menjaga stabilitas ekonomi.
Kita tidak bisa membiarkan kondisi ini terus berlanjut tanpa tindakan nyata. Jika masyarakat terus menahan pengeluaran dan lebih memilih menabung karena ketakutan akan masa depan, roda ekonomi bisa melambat lebih jauh. Perlu ada keseimbangan antara kehati-hatian dalam finansial dan peran aktif pemerintah dalam menstimulasi ekonomi. Tanpa langkah konkret, efek domino dari penurunan daya beli ini bisa lebih parah daripada yang kita bayangkan.
Saat ini, yang kita butuhkan adalah kebijakan yang dapat memberikan rasa aman dan kepercayaan kepada masyarakat. Stabilitas ekonomi tidak hanya ditentukan oleh angka-angka dalam laporan, tetapi juga oleh psikologi keuangan kita semua. Ketika ada keyakinan bahwa masa depan lebih terjamin, kita akan lebih berani untuk kembali menggerakkan roda konsumsi dan mendorong pertumbuhan ekonomi ke arah yang lebih positif.
0 Komentar
Thanks for your visiting and comments!