Ad Code

Mengungkap 'Money Illusion' dalam Kehidupan Kita


BAYANGKAN  kita merasa senang karena mendapatkan kenaikan gaji sebesar 5 persen tahun ini. Namun, saat pergi ke pasar atau membayar tagihan bulanan, ternyata semua harga juga naik. Rasanya seperti tetap saja, bahkan mungkin lebih sulit dari sebelumnya. Inilah yang disebut dengan money illusion atau ilusi uang—sebuah fenomena ekonomi yang membuat kita cenderung melihat pendapatan dan kekayaan dalam istilah nominal, bukan dalam istilah riil.

Konsep ini sebenarnya sudah lama dibahas oleh ekonom ternama Irving Fisher dalam bukunya The Money Illusion pada tahun 1928. Fisher menggambarkan seorang penjaga toko di Jerman yang merasa dirinya mendapatkan keuntungan karena berhasil menjual barang lebih mahal daripada harga belinya. Namun, di tengah krisis hiperinflasi Jerman pasca Perang Dunia I, keuntungan nominal itu ternyata menyesatkan. Kenyataannya, penjaga toko tersebut justru kehilangan daya beli karena nilai uangnya menurun drastis akibat inflasi. Ia merasa kaya, padahal sebenarnya miskin secara riil.

Ilusi uang terjadi karena kita cenderung mengabaikan inflasi dalam menilai kekayaan kita. Ketika kita menyimpan uang Rp100 juta di bank selama setahun dan melihatnya tetap utuh di akhir tahun, kita merasa tidak kehilangan apa pun. Tapi jika inflasi tahun itu mencapai 5 persen, maka uang kita sebenarnya hanya bernilai Rp95 juta secara riil. Ini artinya, dengan jumlah uang yang sama, kita hanya bisa membeli lebih sedikit barang dan jasa dibanding tahun sebelumnya.

Mengapa kita begitu mudah tertipu oleh angka-angka nominal ini? Salah satu alasannya adalah kurangnya pemahaman finansial. Tidak semua orang terbiasa memperhitungkan inflasi atau mengetahui bahwa nilai uang bisa menurun meskipun jumlahnya tetap. Selain itu, ada fenomena yang disebut sebagai *price stickiness* atau kekakuan harga, di mana harga barang dan jasa tidak langsung berubah walaupun kondisi ekonomi menuntut perubahan. Hal ini menciptakan kesan seolah-olah semuanya baik-baik saja.

Ilusi uang juga memengaruhi cara kita memandang kenaikan gaji. Jika kita menerima kenaikan upah 2 persen saat inflasi 4 persen, kita cenderung merasa puas, padahal daya beli kita menurun. Sebaliknya, jika upah kita dipotong 2 persen tanpa ada inflasi, kita merasa dirugikan. Kedua situasi ini memberikan hasil yang sama, yaitu kerugian 2 persen dalam daya beli, tetapi secara psikologis kita menanggapinya dengan cara yang sangat berbeda.

Ekonom Milton Friedman bahkan menggunakan konsep ini dalam versi teorinya tentang Phillips Curve, yang menjelaskan hubungan antara inflasi dan pengangguran. Friedman menunjukkan bahwa karena pekerja melihat gaji mereka dalam istilah nominal, mereka cenderung tidak menuntut kenaikan upah yang sesuai dengan inflasi. Ini memungkinkan perusahaan untuk mempekerjakan lebih banyak orang dengan upah relatif murah secara riil, sehingga menurunkan tingkat pengangguran—setidaknya untuk sementara. Ketika para pekerja akhirnya menyadari bahwa daya beli mereka menurun, mereka mulai menuntut kenaikan upah riil, dan tingkat pengangguran pun kembali ke angka alami.

Contoh sederhana bisa memperjelas fenomena ini. Misalnya, seseorang memiliki kekayaan sebesar Rp600 juta dan pendapatan bersih tahunan Rp100 juta. Jika inflasi 2 persen, kekayaan tersebut akan tergerus menjadi sekitar Rp588 juta di akhir tahun. Namun, banyak orang akan menganggap total kekayaan mereka naik menjadi Rp700 juta karena menambahkan pendapatan Rp100 juta tanpa memperhitungkan inflasi. Padahal secara riil, kekayaan mereka hanya Rp688 juta—lebih rendah Rp12 juta dari yang dibayangkan.

Ilusi uang ini tidak hanya berlaku bagi individu, tapi juga bisa memengaruhi kebijakan pemerintah, hubungan industrial, dan perilaku pasar secara umum. Ketika pemerintah menetapkan kebijakan berdasarkan data nominal tanpa mempertimbangkan data riil, keputusan yang diambil bisa keliru dan menyesatkan. Demikian pula dalam hubungan kerja, ketidakseimbangan informasi antara pengusaha dan karyawan soal nilai riil upah bisa menimbulkan ketimpangan.

Maka dari itu, kita harus membiasakan diri melihat segala hal dalam perspektif riil. Kita perlu menyadari bahwa angka yang terlihat besar belum tentu berarti kekayaan yang sesungguhnya. Memahami inflasi dan bagaimana pengaruhnya terhadap kehidupan sehari-hari adalah bagian penting dari literasi keuangan. Dengan begitu, kita tidak akan mudah terjebak dalam ilusi uang yang bisa memberikan rasa aman palsu.

Di dunia yang penuh angka dan statistik, memahami realitas di balik angka sangatlah penting. Jangan sampai kita menjadi seperti penjaga toko dalam kisah Irving Fisher—merasa untung padahal sebenarnya rugi. Dalam hidup dan dalam keuangan, melihat lebih dalam dan berpikir secara kritis bisa membuat kita mengambil keputusan yang lebih bijak dan realistis.

Posting Komentar

0 Komentar

Ad Code