Ad Code

Ramadan dan Kebiasaan Berhutang


BULAN Ramadan memang selalu membawa nuansa berbeda dalam kehidupan kita. Ada kedamaian dalam ibadah, kebersamaan dalam berbuka, dan harapan akan pengampunan serta keberkahan. Namun, di balik nuansa religius itu, ada sisi lain yang juga menjadi perhatian: fenomena meningkatnya konsumsi dan kebiasaan berhutang. Momen menjelang Idul Fitri kerap kali membuat kita terdorong untuk belanja lebih, berbagi lebih, dan terkadang memaksakan diri untuk tampil lebih, meski dana belum mencukupi.

Fenomena ini bukanlah hal baru. Kita sering mendengar ungkapan, “Yang penting bisa lebaran,” sebagai pembenaran untuk berhutang demi memenuhi kebutuhan saat Idul Fitri. Mulai dari baju baru, kue-kue khas, parsel, hingga mudik yang memakan ongkos cukup besar. Bahkan, tak jarang kita melihat antrean pinjaman di koperasi, pinjaman online, hingga meminjam ke saudara hanya demi bisa ikut dalam "standar kebahagiaan lebaran".

Kita tentu memahami bahwa berhutang bukanlah suatu dosa atau hal yang harus dihindari sepenuhnya. Dalam kondisi darurat, berhutang bisa jadi solusi untuk kebutuhan yang mendesak. Namun, yang menjadi persoalan adalah ketika hutang dilakukan bukan karena kebutuhan, melainkan demi gengsi atau demi mengikuti tradisi yang sebenarnya bisa disesuaikan dengan kondisi ekonomi masing-masing.

Salah satu penyebab utama mengapa kita cenderung berhutang saat Ramadan adalah budaya konsumtif yang meningkat tajam. Ramadan yang seharusnya menjadi bulan pengendalian diri, justru sering menjadi momen di mana konsumsi kita meningkat drastis. Kita tergoda untuk membeli makanan berbuka yang beraneka ragam, padahal ujung-ujungnya tidak habis dimakan. Kita juga merasa perlu membeli pakaian baru untuk semua anggota keluarga, padahal pakaian lama masih layak pakai.

Apalagi, menjelang lebaran, ada budaya memberikan "kesan" tertentu kepada tetangga, keluarga, atau kerabat. Kita merasa harus menunjukkan bahwa kita sukses, kita mampu, dan kita juga bisa ikut merayakan dengan megah. Akibatnya, keinginan-keinginan itu mendorong kita untuk berhutang—baik secara formal lewat lembaga keuangan, atau informal melalui teman dan keluarga.

Dari sisi ekonomi, berhutang memang bisa membantu melunakkan kebutuhan jangka pendek. Namun, jika tidak direncanakan dengan matang, hutang bisa menjadi beban pasca lebaran yang merugikan kita sendiri. Setelah euforia Idul Fitri selesai, kita masih harus menanggung cicilan atau membayar pinjaman yang sempat kita buat. Sering kali, beban itu membuat kita stres dan justru mengganggu ketenangan setelah Ramadan.

Lebih jauh lagi, kebiasaan berhutang ini juga bisa menciptakan siklus hidup yang tidak sehat. Kita terbiasa memaksakan gaya hidup mewah saat lebaran, lalu menanggung akibatnya selama bulan-bulan berikutnya. Bahkan ada yang harus menambal hutang lama dengan hutang baru, yang pada akhirnya menyeret kita dalam jerat kredit yang tak berkesudahan.

Selain itu, kita juga perlu memikirkan aspek spiritual dalam kebiasaan berhutang. Ramadan adalah bulan suci yang mengajarkan kita nilai-nilai kesederhanaan, keikhlasan, dan pengendalian diri. Lalu, apakah pantas jika semangat itu kita balas dengan perilaku konsumtif dan memaksakan sesuatu yang sebenarnya tidak perlu? Bukankah seharusnya kita belajar untuk hidup sesuai kemampuan dan lebih peduli pada substansi dibanding penampilan?

Di sisi lain, tidak bisa dipungkiri bahwa sebagian dari kita benar-benar membutuhkan tambahan dana untuk merayakan lebaran. Misalnya, bagi mereka yang harus mudik ke kampung halaman demi bertemu keluarga. Atau bagi orang tua yang ingin memberikan kebahagiaan sederhana untuk anak-anaknya. Dalam konteks ini, berhutang bisa jadi pilihan, asalkan dilakukan secara bijak.

Bijak berarti kita memiliki perencanaan pengembalian yang jelas. Bijak juga berarti kita tahu batas kemampuan kita dan tidak meminjam lebih dari yang bisa kita bayar. Dan yang paling penting, bijak berarti kita tetap menjunjung nilai-nilai kejujuran, tidak lari dari tanggung jawab, dan tetap menjaga hubungan baik dengan orang yang kita pinjami.

Salah satu solusi agar kita tidak terjebak dalam kebiasaan berhutang saat Ramadan adalah dengan merencanakan keuangan sejak jauh hari. Kita bisa menyisihkan sebagian pendapatan bulanan untuk dana Ramadan dan Lebaran. Meskipun jumlahnya tidak besar, akumulasi selama setahun bisa membantu meringankan beban pengeluaran saat momen penting itu tiba.

Selain itu, kita juga perlu membangun budaya hidup sederhana. Tidak perlu malu jika tidak bisa membeli baju baru, tidak perlu gengsi jika tidak mampu mengirim parsel atau mengadakan pesta besar. Yang terpenting adalah kita tetap bisa merayakan Idul Fitri dengan penuh kehangatan, kebersamaan, dan rasa syukur. Kebahagiaan sejati bukan datang dari barang-barang mahal, melainkan dari hati yang damai dan keluarga yang utuh.

Kita juga bisa lebih kreatif dan hemat dalam menyambut Ramadan dan Idul Fitri. Misalnya, membuat kue lebaran sendiri bersama keluarga, menggunakan kembali baju yang masih bagus, atau bahkan berbagi makanan sederhana dengan tetangga sekitar. Justru dalam kesederhanaan itulah, nilai Ramadan dan Idul Fitri bisa terasa lebih mendalam.

Sekali lagi, kebiasaan berhutang saat Ramadan dan Idul Fitri bukanlah hal yang sepenuhnya buruk, tapi perlu dikaji kembali dengan bijak. Apakah kita berhutang karena benar-benar butuh, atau hanya karena ingin ikut-ikutan tren? Mari kita jadikan Ramadan sebagai momen refleksi, bukan hanya untuk spiritualitas kita, tapi juga untuk kesehatan finansial dan sosial kita. 

Posting Komentar

0 Komentar

Ad Code