Ad Code

Tradisi Ngabuburit: Dari Senja ke Meja Makan

Suasana senja di bulan Ramadan [Foto: Antara]

BULAN Ramadan selalu membawa nuansa khas yang sulit ditemukan di bulan lainnya. Selain suasana spiritual yang kental, kita juga disuguhkan beragam kebiasaan yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas budaya kita. Salah satu tradisi yang paling akrab di telinga dan hati adalah ngabuburit. Aktivitas ini tak sekadar menjadi pengisi waktu menjelang berbuka puasa, tetapi juga menjadi jembatan sosial, budaya, bahkan ekonomi yang memperkaya Ramadan kita.

Istilah “ngabuburit” berasal dari bahasa Sunda, tepatnya dari kata "burit" yang berarti menjelang sore atau waktu senja. Kata "ngabuburit" sendiri berarti "menunggu waktu sore," yang dalam konteks Ramadan berarti menunggu waktu berbuka puasa. Meskipun berasal dari budaya Sunda, budaya ngabuburit telah menyebar luas ke seluruh pelosok negeri. Bahkan, di banyak daerah, kita menyebut waktu menjelang magrib dengan kegiatan yang bermakna serupa, meski dengan sebutan yang berbeda-beda.

Ngabuburit memiliki kekhasan tersendiri di setiap daerah. Di beberapa kota di Indonesia, misalnya, kita bisa melihat warga tumpah ruah di taman-taman kota, trotoar, atau sepanjang jalan yang dipenuhi pedagang takjil. Di beberapa daerah pesisir, tak sedikit yang ngabuburit menikmati senja di pantai sambil bercengkerama dan menikmati semilir angin, berbincang ringan sambil menunggu bedug magrib. Waktu menjelang berbuka pun terasa cepat berlalu.

Tak hanya sebagai aktivitas sosial, ngabuburit juga berdampak pada geliat ekonomi masyarakat. Banyak pelaku usaha kecil yang memanfaatkan momen ini untuk menjajakan aneka makanan dan minuman pembuka puasa. Dari kolak, gorengan, es buah, hingga makanan kekinian, semuanya meramaikan pasar Ramadan. Kita menyaksikan betapa ekonomi kerakyatan bergerak dengan dinamis selama bulan suci ini.

Selain berburu takjil, kita juga sering mengisi waktu ngabuburit dengan kegiatan keagamaan seperti tadarus Al-Qur’an, mendengarkan ceramah, atau mengikuti pengajian singkat. Di beberapa daerah, bahkan masih dijumpai tradisi memainkan permainan rakyat atau pertunjukan seni menjelang buka puasa. Ini menunjukkan bahwa ngabuburit bukan sekadar menunggu, tetapi juga bagian dari upaya mempertahankan budaya dan nilai-nilai kebersamaan.

Meski zaman terus berubah, tradisi ngabuburit tetap eksis. Bahkan di era digital saat ini, kita melihat anak muda memanfaatkan media sosial untuk membagikan momen ngabuburit mereka—baik itu dalam bentuk video, foto, atau live streaming. Beberapa komunitas juga mengadakan ngabuburit bersama dengan agenda sosial seperti berbagi makanan untuk kaum dhuafa atau membersihkan tempat ibadah. Semua ini menandakan bahwa ngabuburit telah bertransformasi menjadi kegiatan yang adaptif, namun tetap memegang ruh kebersamaan.

Sebagai bangsa yang kaya budaya, kita patut bersyukur memiliki tradisi semacam ini. Ngabuburit menjadi refleksi bagaimana masyarakat kita mampu memadukan nilai religius dan budaya dalam satu momen yang sederhana namun membahagiakan. Ngabuburit meskipun berawal dari senja sampai meja makan, namun tetap mengajarkan kepada kita bahwa menunggu bukanlah sesuatu yang membosankan, selama kita menjalani dengan rasa syukur dan kebersamaan. Selamat ngabuburit dan menunggu bedug magrib!

Posting Komentar

0 Komentar

Ad Code