Ad Code

Arah Demografi Indonesia, Bonus atau Beban?

INDONESIA saat ini tengah berada di titik krusial sejarah demografinya. Fenomena yang disebut bonus demografi menjadi sorotan dalam berbagai forum ekonomi, pendidikan, hingga kebijakan publik, termasuk ketika diucapkan oleh anak presiden ke-7 republik ini. Namun di balik euforia potensi pertumbuhan ekonomi yang digadang-gadang, terselip kekhawatiran akan berubahnya bonus ini menjadi beban demografi. Lantas, ke mana sebenarnya arah demografi Indonesia?

Bonus demografi terjadi ketika proporsi penduduk usia produktif (15–64 tahun) lebih besar dibanding usia nonproduktif (di bawah 15 dan di atas 64 tahun). Saat ini, Indonesia berada pada fase tersebut, yang diperkirakan mencapai puncaknya sekitar tahun 2030. Artinya, peluang emas sedang terbuka lebar untuk memacu pertumbuhan ekonomi nasional.

Namun, sekadar memiliki jumlah penduduk usia produktif tidak serta merta menjamin kemajuan. Justru, bila tidak dikelola dengan baik, potensi ini akan berubah menjadi beban. Kita bisa membayangkan sebuah negara dengan banyak penduduk muda, tetapi sebagian besar tidak bekerja atau tidak memiliki keterampilan yang relevan dengan dunia kerja. Kondisi ini akan menciptakan ledakan pengangguran dan tekanan sosial yang besar.

Di Indonesia, tantangan itu sudah mulai tampak. Tingkat pengangguran terbuka di kalangan lulusan muda, terutama lulusan SMA dan perguruan tinggi, masih tinggi. Sementara di sisi lain, dunia usaha mengeluhkan kesenjangan antara keterampilan tenaga kerja dan kebutuhan industri. Ini menunjukkan bahwa sistem pendidikan kita belum cukup responsif terhadap kebutuhan zaman.

Selain itu, ketimpangan pembangunan antarwilayah juga berperan besar dalam potensi berubahnya bonus demografi menjadi beban. Sebagian besar lapangan kerja masih terkonsentrasi di Pulau Jawa dan wilayah perkotaan. Sementara di daerah terpencil, akses terhadap pendidikan, pelatihan vokasi, dan infrastruktur ekonomi masih sangat terbatas. Akibatnya, penduduk usia produktif di wilayah-wilayah tersebut tidak memiliki cukup peluang untuk berkontribusi secara optimal.

Yang juga perlu diperhatikan adalah kesehatan remaja dan produktivitas perempuan. Tanpa investasi serius dalam kesehatan dan gizi remaja, akan sulit mencetak generasi produktif yang benar-benar siap bersaing. Sementara itu, partisipasi angkatan kerja perempuan masih rendah, padahal ini merupakan potensi besar yang belum tergarap maksimal.

Kunci dari pengelolaan bonus demografi adalah investasi dalam sumber daya manusia. Pemerintah harus memperkuat kualitas pendidikan dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi, termasuk pendidikan vokasional. Pelatihan berbasis keterampilan industri dan kewirausahaan juga perlu diperluas. Tak kalah penting, kebijakan yang mendukung partisipasi perempuan dan pemberdayaan pemuda harus menjadi prioritas nasional.

Jika langkah-langkah tersebut dilakukan dengan konsisten dan inklusif, maka Indonesia bukan hanya bisa menghindari beban demografi, tetapi benar-benar memanen bonus yang berkelanjutan. Bonus demografi adalah peluang sekali seumur hidup. Negara-negara seperti Jepang dan Korea Selatan berhasil memanfaatkannya dengan investasi besar di pendidikan dan teknologi. Indonesia pun bisa meniru, bahkan melampaui, dengan strategi yang sesuai konteks lokal.

Namun jika kita abai, maka generasi muda yang semestinya menjadi kekuatan bangsa justru bisa menjadi titik rawan krisis. Generasi yang tak mau dan tak mampu bersaing, kecuali mengandalkan orang dalam, mengandalkan bapak, atau mengandalkan paman ketika ingin meraih sesuatu. Karena itu, pertanyaan kritis perlu terus diajukan: Apakah kita sedang menuju puncak bonus atau jurang beban? Jawabannya, ada di tangan kebijakan hari ini.

Posting Komentar

0 Komentar

Ad Code