KITA hidup di negeri yang kaya, baik dari sisi alam maupun sejarah agrarisnya. Namun ada satu ironi besar yang terus kita telan setiap tahun: Indonesia masih mengimpor kapas dalam jumlah besar, padahal kita dikenal sebagai negara agraris. Apa yang salah? Mengapa komoditas yang dulu begitu akrab di ladang-ladang petani kita kini justru jadi beban impor belasan triliun rupiah?
Sepanjang 2024, nilai impor kapas Indonesia masih menembus angka Rp13,38 triliun. Volume yang masuk sekitar 405 ribu ton. Meskipun angka ini turun dibanding tahun 2022 yang sempat melonjak hingga hampir Rp22 triliun, tren ini tetap menunjukkan satu kenyataan pahit: kita masih sangat bergantung pada kapas dari luar negeri. Brasil, Argentina, hingga Mali dan Yunani, menjadi pemasok utama kebutuhan bahan baku industri tekstil kita.
Padahal, kalau kita tengok potensi dalam negeri, sebenarnya tidak ada alasan bagi kita untuk terus tergantung pada impor. Kita punya lahan, kita punya varietas unggul, bahkan kita punya sejarah panjang dalam budidaya kapas sejak masa kolonial. Di masa Hindia Belanda, kapas adalah salah satu komoditas penting yang ditanam di banyak wilayah. Kita pernah punya tradisi menenun dari benang yang dipintal dari kapas lokal. Tapi kini, kapas hanya menjadi cerita masa lalu yang nyaris terlupakan.
Produksi kapas nasional saat ini sangat memprihatinkan. Data dari Kementerian Pertanian mencatat, tahun 2020 produksi kita hanya mencapai 127 ton dari luas lahan sekitar 703 hektar. Itu artinya, produktivitasnya hanya 180 kg per hektar. Jauh di bawah potensi ideal 1,5 hingga 2,8 ton per hektar seperti yang bisa dicapai di Sulawesi Selatan atau NTB. Ada sesuatu yang sangat salah ketika tanah yang subur dan petani yang tangguh tak bisa memproduksi kapas secukupnya.
Alih fungsi lahan menjadi penyebab utama. Banyak lahan yang dulunya ditanami kapas kini beralih menjadi ladang jagung, kedelai, atau bahkan perumahan dan industri. Petani lebih memilih tanaman pangan karena dianggap lebih cepat menghasilkan dan lebih mudah dipasarkan. Kapas, yang butuh perawatan khusus dan pasar yang tidak jelas, makin ditinggalkan.
Padahal, kita sudah punya varietas unggul hasil pemuliaan, seperti Kanesia 8 dan Kanesia 9. Panjang seratnya 29–30 mm, cocok untuk industri tekstil, dan tahan terhadap iklim tropis. Sayangnya, adopsi di lapangan sangat rendah. Banyak petani enggan menanam karena minim informasi dan tak ada pendampingan teknologi yang memadai. Mereka takut gagal, dan tidak punya jaminan pasar.
Kita juga menghadapi masalah kelembagaan. Tak banyak petani yang berminat pada kapas karena dianggap kurang menguntungkan. Kemitraan dengan industri tekstil pun masih minim. Padahal, seandainya ada jembatan yang baik antara petani dan pabrik, kita bisa membangun rantai pasok kapas lokal yang kokoh dan efisien.
Pemerintah sebenarnya pernah mencoba mengangkat komoditas ini. Pada masa pandemi, subsidi benih dan pupuk sempat digelontorkan, ada program padat karya, tapi semua itu tidak berkelanjutan. Setelah program selesai, petani kembali bingung: menanam kapas, lalu menjual ke mana?
Kita tak bisa terus begini. Ketergantungan terhadap impor kapas bukan hanya soal ekonomi, tapi juga soal kedaulatan. Indonesia harus menyusun strategi jangka panjang. Mulai dari pemetaan lahan-lahan potensial di NTB, NTT, Jawa Tengah, hingga Sulawesi Selatan untuk difokuskan sebagai kawasan pengembangan kapas tropis. Kita bisa mengembangkan varietas lokal yang sesuai dengan karakter tanah dan iklim, bahkan membuka jalan bagi penggunaan teknologi seperti kapas transgenik yang terbukti lebih adaptif.
Infrastruktur juga perlu dibenahi. Petani butuh irigasi yang efisien, teknologi budidaya modern, serta digitalisasi yang memudahkan distribusi hasil panen. Yang tak kalah penting, kita butuh insentif dan jaminan harga. Selama petani merasa lebih untung menanam jagung, maka kapas akan tetap jadi pilihan terakhir. Tapi jika kita berani memberi kebijakan subsidi yang adil dan insentif menarik, kapas bisa kembali hidup di ladang-ladang kita.
Semua ini butuh kolaborasi. Pemerintah, swasta, akademisi, dan tentu saja petani harus duduk bersama. Industri tekstil lokal harus mulai membuka diri untuk menyerap kapas lokal. Kita perlu membangun ekosistem kapas yang saling menguatkan. Dari benih hingga benang, dari ladang hingga pabrik, semua harus terhubung dalam satu visi: Indonesia mandiri kapas.
Kita tidak kekurangan varietas, tidak kekurangan lahan, bahkan tidak kekurangan semangat. Yang kita butuhkan hanyalah sinergi dan komitmen. Kalau kita mau bergerak bersama, membangun dari desa, memberi ruang bagi petani untuk berkembang, maka kapas tak akan lagi jadi beban impor. Sebaliknya, ia bisa menjadi komoditas ekspor yang membanggakan, sekaligus membuka lembaran baru bagi kedaulatan tekstil Indonesia. Semoga!
0 Komentar
Thanks for your visiting and comments!