![]() |
Handphone Siemens [Foto:eBay] |
BARANGKALI bagi anak-anak muda 90-an dan awal 2000-an atau generasi sebelumnya, nama Siemens Mobile punya tempat tersendiri. Bagaimana tidak, perangkat komunikasi mobile ini mempunyai desain yang unik, tangguh, dan terasa “berkelas” di zamannya. Siapa yang tidak ingat seri seperti C55, A55, atau M55 yang sempat jadi andalan banyak anak muda waktu itu? Namun, kehadiran yang sempat gemilang itu mendadak redup. Sekitar tahun 2005, Siemens Mobile resmi kehilangan tajinya dan akhirnya menghilang dari pasar. Apa yang sebenarnya terjadi?
Siemens memulai debutnya di dunia ponsel lewat seri C1 pada tahun 1985. Dengan rekam jejak yang panjang, mereka sempat menjadi salah satu pemain utama di industri ini. Pada tahun 2000, Siemens menguasai 8,6% pangsa pasar global ponsel, berada di bawah Ericsson, Motorola, dan tentu saja raja pasar saat itu, Nokia. Bahkan hingga 2003, posisi mereka masih terbilang stabil dengan market share 8,5%.
Namun, tren mulai berubah pada tahun 2004. Siemens mulai goyah, pangsa pasar turun menjadi 7,2%, dan kerugian pun tak bisa dihindari. Di awal 2005, market share mereka merosot lagi menjadi 5,6%. Penurunan ini menandai awal dari akhir perjalanan Siemens Mobile.
Salah satu upaya Siemens yang gagal adalah peluncuran lini ponsel stylish bernama Xelibri. Ponsel ini memang punya desain unik dan nyentrik, tapi tidak didukung fitur menarik. Konsumen menganggapnya “aneh” dan tidak praktis. Sementara pesaing seperti Nokia, Samsung, dan Sony Ericsson mulai memperkenalkan fitur kamera, layar warna, hingga kemampuan multimedia, Siemens tampak tertinggal.
Sampai akhirnya, Siemens menderita kerugian hingga USD 530 juta. Langkah cepat pun diambil yaitu menjual divisi ponsel ke perusahaan Taiwan, BenQ, pada pertengahan 2005. Sayangnya, alih-alih bangkit, kolaborasi ini justru mempercepat kehancuran. Hanya dalam waktu satu tahun, BenQ Mobile bangkrut. Ratusan karyawan di Jerman kehilangan pekerjaan. Kita pun menyaksikan lenyapnya merek Siemens dari industri ponsel.
Mengapa Siemens gagal? Jawabannya sederhana tapi menyakitkan, yaitu mereka telat bahkan berhenti berinovasi. Sementara kompetitor sibuk menanamkan teknologi kamera, meningkatkan kualitas layar, hingga membangun sistem operasi yang lebih pintar, Siemens tampak nyaman dengan desain lama dan fitur standar. Dunia berubah, tapi Siemens terlambat menyesuaikan diri.
Lebih menyedihkan lagi, Siemens punya modal besar untuk bersaing. Teknologi mereka solid, sumber daya manusia mereka mumpuni, dan jaringan distribusi mereka luas. Tapi tanpa visi jangka panjang dan kemampuan membaca tren, semua itu jadi tak berguna.
Kini, pelajaran dari Siemens menjadi refleksi penting. Di dunia teknologi, inovasi bukan sekadar opsi, tapi keharusan. Ketika kita lambat membaca arah angin, maka kita akan tergilas. Pasar ponsel tidak menunggu mereka yang santai. Dalam era digital seperti sekarang, mereka yang tidak berlari akan ditinggalkan. Kita, sebagai pengguna atau konsumen, bisa belajar banyak dari kisah ini. Bahwa dalam dunia yang bergerak cepat, hanya mereka yang terus berinovasi yang bisa bertahan dan menang.
0 Komentar
Thanks for your visiting and comments!